Jalan Terjal Caleg Muda Tanpa ”Darah Biru” yang Bisa Melenggang ke Senayan
Meski ada 50 dari 87 calon DPR usia muda yang lolos terasosiasi dinasti politik, beberapa justru tidak ada sama sekali.
Pemilu 2024 memberikan kenangan manis bagi calon legislatif terpilih dari Partai Keadilan Sejahtera atau PKS, M Kholid. Dirinya hampir pasti lolos dan dilantik sebagai anggota DPR periode 2024-2029. Sebagai caleg yang berusia muda, tak memiliki modal, apalagi tanpa latar belakang keluarga pejabat, lolos ke parlemen di Senayan, Jakarta, jika tanpa perjuangan keras tentunya tidak akan mudah dicapai.
Perjalanannya politiknya sendiri bermula saat Kholid masih menjadi tenaga ahli Komisi XI DPR pada 2011. Secara perlahan-lahan, ia mulai mengumpulkan modal dan koneksi dengan elite partai politik. Pada 2013, entah kebetulan, keberuntungan, atau prestasi pribadi, Kholid pun menjadi tenaga ahli untuk Sohibul Iman yang saat itu masih menjabat Wakil Ketua DPR.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sembari melompat menjadi tenaga ahli dari komisi ke komisi, karir Kholid beranjak ke ranah politik praktis saat Sohibul Iman menjadi Presiden PKS sejak 10 Agustus 2015 hingga 5 POktober 2020. Ia menemani Sohibul sebagai Staf Khusus Presiden PKS. Sejak itu, Kholid pun aktif di lingkaran pusat kekuasaan partai yang berbasis Islam seraya tetap menjadi tenaga ahli DPR.
Meski Sohibul tak lagi menjadi Presiden PKS pada 2020, Kholid tetap dipakai dalam kepemimpinan Ahmad Syaikhu sejak 2020 sebagai Wakil Kepala Staf Presiden PKS. Kini, ia pun dipercaya lagi menjadi Juru Bicara PKS.
"Sembari melompat menjadi tenaga ahli dari komisi ke komisi, karir Kholid beranjak ke ranah politik praktis saat Sohibul Iman menjadi Presiden PKS pada 2015. Ia menemani Sohibul sebagai Staf Khusus Presiden PKS. Sejak itu, Kholid pun aktif di lingkaran pusat kekuasaan partai berbasis Islam itu sambil tetap menjadi tenaga ahli DPR"
Saat diminta maju sebagai caleg dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat VI, ia sempat tak percaya. Sebab, dirinya yang berusia muda tanpa modal finansial besar harus bersaing dengan caleg petahana dan punya keistimewaan tertentu. Namun, kepercayaan partai tidak boleh disia-siakan.
Di dapil Jawa Barat VI yang mencakup Kota Bekasi dan Kota Depok, PKS cenderung unggul dengan perolehan dua kursi pada Pemilu 2019. Namun, kali ini Kholid perlu bersaing dengan deretan artis seperti Choky Sitohang (Partai Nasdem) dan Vicky Prasetyo (Partai Perindo), Ingrid Maria Palupi Kansil (Partai Demokrat), Dedi Gumelar atau Mi’ing (Partai Gelora), dan Doadibadai Holli (PSI).
Baca juga: Optimisme Caleg Muda Menatap Parlemen
Selain artis, Kholid juga bertarung dengan caleg petahana Sukur H Nababan (PDI-P), Wenny Haryanto (Partai Golkar), Intan Fauzi (PAN), dan Nuroji (Partai Gerindra). Belum lagi ia juga perlu unggul rekan caleg petahana PKS, Mahfudz Abdurrahman dan Nur Azizah Tamhid.
Kholid mengatakan, memang sulit untuk lolos dan menang dari dapil ”neraka” Jawa Barat VI. Apalagi pertarungan diikuti tekanan besar dari caleg petahana yang kerap diunggulkan. Namun, ia tetap percaya harapan tetap akan ada.
”Caleg inkumben itu diuntungkan. Mereka punya sumber daya lebih, secara politik bisa bawa program ke dapilnya. Mereka juga ada dana reses, kunjungan dapil, yang memang ditujukan untuk merawat konstituen,” ungkapnya.
Di dapil, caleg-caleg petahana, khususnya PKS, sudah memiliki basis masing-masing. Sebagai caleg baru, Kholid harus ”mengalah” dan mencari ceruk pemilih baru. Untuk mengakalinya, ia merumuskan tiga strategi yakni mendekati anggota PKS daerah, membangun tandem dengan caleg DPRD, dan memperkuat simpul sukarelawan.
Caleg inkumben itu diuntungkan. Mereka punya sumber daya lebih, secara politik bisa bawa program ke dapilnya. Mereka juga ada dana reses, kunjungan dapil, yang memang ditujukan untuk merawat konstituen.
Gagasan anti-politik uang ternyata cukup menguntungkan bagi Kholid. Selain bernilai positif bagi publik, ia juga bisa menekan pengeluaran sehingga dana fokus digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan untuk masyarakat. Kampanye via media sosial juga menguntungkan sebagai kaum muda.
Akhirnya, merujuk hasil rekapitulasi suara tingkat nasional KPU, PKS mendapat 538.235 suara dan mengirimkan dua kadernya ke Senayan, Mahfudz (118.727 suara) dan Kholid (107.251 suara). Meski kalah dari Mahfudz, Kholid menunjukkan tajinya dengan meraih suara lebih banyak dari caleg petahana Nur Azizah.
Mendekati elite
Hal serupa turut dialami Kawendra Lukistian, caleg terpilih Partai Gerindra dari dapil Jawa Timur IV. Ia juga adalah anak muda yang tanpa modal besar maupun latar belakang keluarga pejabat politik dan membutuhkan strategi khusus agar lolos ke parlemen. Untuk bisa menang di pemilu perdananya pada 2024, ia pun meniti karir politik secara perlahan sejak 2009.
Selama belasan tahun di Gerindra, Kawendra aktif dalam tim pemenangan dari belakang layar. Waktu panjang itu dimanfaatkannya untuk membangun kedekatan dengan Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad yang dianggap sebagai mentor politiknya.
”Memang benar, (anak muda baru yang maju caleg) harus ada ’galah’. Saya masuk 2009, saat aktif di pemenangan jadi sukarelawan tim kreatif. Pemilu 2024 ini pertama kali saya nyaleg, sebelumnya hanya ikut dari belakang layar”
”Memang benar, (anak muda baru yang maju caleg) harus ada ’galah’. Saya masuk 2009, saat aktif di pemenangan jadi sukarelawan tim kreatif. Pemilu 2024 ini pertama kali saya nyaleg, sebelumnya hanya ikut dari belakang layar,” katanya.
Bagi Kawendra, politisi harus bisa melihat dan mengambil kesempatan yang ada di depan mata. Apalagi, senior di Partai Gerindra kerap membuka peluang untuk regenerasi para politisi. Ini tak hanya berlaku di tingkat nasional, tapi daerah juga.
Sementara itu, caleg terpilih dari Partai Golkar dapil Jawa Timur V, Ahmad Irawan, meniti karir politiknya lewat organisasi Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG). Berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja membuatnya harus menempuh jalan politik yang cukup terjal.
Upaya mendekati senior atau mentor politik di Golkar pun tak membuahkan hasil signifikan karena banyaknya faksi dalam tubuh partai. Mau tak mau, Irawan perlu mengumpulkan modal dan membangun basis massanya sendiri.
”Di dapil saya single fighter. Strateginya, jangan mengganggu struktur partai karena kompetisi internal sangat keras. Sudah ada basis kelompok-kelompok pemilihnya. Apalagi Golkar itu kami tak tahu mentornya ke siapa, banyak faksi. Di Golkar paling penting karya, senior beri kesempatan yang sama. Ada banyak yang punya kedekatan”
Sebelum terpilih pada Pemilu 2024, ia sempat mencalonkan diri dalam Pemilu 2019. Walaupun kalah, setidaknya telah berusaha mengenalkan diri ke publik. Kemudian, lima tahun berikutnya Irawan mengumpulkan modal lewat firma hukumnya.
”Di dapil saya single fighter. Strateginya, jangan mengganggu struktur partai karena kompetisi internal sangat keras. Sudah ada basis kelompok-kelompok pemilihnya. Apalagi Golkar itu kami tak tahu mentornya ke siapa, banyak faksi. Di Golkar paling penting karya, senior beri kesempatan yang sama. Ada banyak yang punya kedekatan,” terangnya.
Politik kekerabatan
”Teman-teman caleg umumnya mulai karier politik tak instan. Bertarung di DPR ini tak mudah, apalagi angka keterpilihan petahana meningkat. Kemudian, anak-anak muda juga bertarung dengan yang punya privilese tinggi”
Di sisi lain, Kholid, Kawendra, dan Irawan merupakan sebagian kecil dari caleg muda yang tak ”berdarah biru”, tetapi dapat lolos ke Senayan. Berdasarkan temuan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), sebanyak 50 dari 87 calon anggota DPR usia muda yang berpeluang besar lolos terasosiasi dengan dinasti politik. Artinya, anak muda yang maju dan menang dalam Pemilihan Legislatif 2024 tak terlepas dari latar belakang hubungan anak, adik, kakak, istri, suami, keponakan, dan lainnya dari pejabat politik.
Menurut Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes, fenomena dinasti politik dari anak muda yang maju dan menang dalam Pemilu Legislatif 2024 tak terlepas dari mahalnya biaya politik nasional. Caleg-caleg petahana juga berupaya mempertahankan karier politiknya yang telah dibangun sejak lama sehingga keterpilihan anak muda menjadi lebih rendah.
Baca juga: Caleg Muda Jadi Faktor Krusial Perebut Suara
”Teman-teman caleg umumnya mulai karier politik tak instan. Bertarung di DPR ini tak mudah, apalagi angka keterpilihan petahana meningkat. Kemudian, anak-anak muda juga bertarung dengan yang punya privilese tinggi,” tuturnya.
Sistem politik nasional turut menyebabkan caleg membutuhkan dana yang besar untuk melakukan kampanye secara mandiri. Dana ini umumnya dipakai untuk mendanai kegiatan, menggerakkan massa, kunjungan, dan saksi pemilu.
Bagi pendatang baru, apalagi caleg muda yang bukan siapa-siapa, tentu sulit. Mereka harus berakrobat untuk bisa mengunci satu kursi di parlemen. Jalan yang ditempuh pun beragam, mulai bertahun-tahun ”bermain” di belakang layar hingga mengumpulkan modal sendiri agar bisa menyaingi sederet calon petahana, bermodal besar ataupun figur-figur berdarah biru dan tersohor.