Setelah Rumah Mewah, Uang Rp 48,5 Miliar Disita KPK Terkait Bupati Labuhanbatu
Uang Rp 48,5 miliar disita penyidik KPK terkait dugaan korupsi Bupati Labuhanbatu, Erik Adtrada Ritonga.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah menyita rumah mewah di kota Medan, Sumatera Utara, pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK juga menyita uang Rp 48,5 miliar terkait perkara dugaan korupsi yang dilakukan oleh Bupati Labuhan Batu, Sumatera Utara, nonaktif Erik Adtrada Ritonga. Uang dan rumah diduga berasal dari orang kepercayaan Erik dan kemungkinan hasil kejahatan.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menjelaskan, penyidik KPK menyita uang tersebut untuk melengkapi berkas penyidikan dugaan penerimaan suap yang dilakukan tersangka Erik. Uang yang disita penyidik berupa uang tunai dan uang yang tersimpan dalam rekening bank.
Uang tersebut berasal dari para pihak yang menjadi orang kepercayaan Erik. ”Uang tersebut tersebar dalam berbagai rekening bank dan satu di antaranya atas nama tersangka EAR (Erik),” kata Ali melalui keterangan tertulis, Senin (29/4/2024).
KPK pun memblokir dan menyita akun rekening bank tersebut melalui koordinasi dengan pihak bank terkait. Majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi diharapkan agar uang yang disita tersebut dirampas untuk negara sebagai bentuk pengembalian aset kekayaan negara yang telah dikorupsi.
Selain menyita uang, penyidik KPK juga memanggil sembilan saksi terkait kasus ini di Polres Labuhan Batu. Mereka berasal dari swasta serta dua pejabat pembuat komitmen, yakni Muhammad Awaluddin dan Haristua Siregar.
Uang tersebut tersebar dalam berbagai rekening bank dan satu di antaranya atas nama tersangka EAR. (Erik)
Proyek pengadaan
Adapun Erik telah ditahan KPK sejak 12 Januari 2024 setelah terjaring dalam OTT sehari sebelumnya. Erik diduga mengintervensi dan aktif dalam berbagai proyek pengadaan di Labuhan Batu.
Dalam OTT tersebut, KPK menangkap 10 orang. Empat di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Selain Erik, KPK juga menahan anggota DPRD Kabupaten Labuhan Batu, Rudi Syahputra Ritonga, serta dua pihak swasta, yakni Efendy Sahputra dan Fazar Syahputra.
Pada 26 Januari, KPK kembali menahan dua tersangka baru. Mereka adalah anggota DPRD Labuhan Batu Yusrial S Pasaribu dan pihak swasta bernama Wahyu S Siregar.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengungkapkan, dalam OTT tersebut diamankan uang tunai sejumlah Rp 551,5 juta sebagai bagian dari dugaan penerimaan sementara sekitar Rp 1,7 miliar.
Ghufron menjelaskan, Labuhan Batu menganggarkan pendapatan APBD tahun anggaran 2023 sebesar Rp 1,4 triliun dan anggaran belanja sebesar Rp 1,4 triliun. Anggaran tersebut sama dengan APBD tahun anggaran 2024.
Intervensi
Dengan anggaran tersebut, Erik mengintervensi dan aktif dalam berbagai proyek pengadaan di berbagai satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu. Proyek yang menjadi atensi Erik, di antaranya Dinas Kesehatan serta Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR).
Proyek di Dinas PUPR berupa proyek lanjutan peningkatan jalan Sei Rakyat-Sei Berombang, Kecamatan Panai Tengah, dan proyek lanjutan peningkatan jalan Sei Tampang-Sidomakmur, Kecamatan Bilah Hilir/Kecamatan Panai Hulu. Nilai pekerjaan kedua proyek tersebut sebesar Rp 19,9 miliar.
Besaran uang dalam bentuk fee yang dipersyaratkan bagi para kontraktor yang akan dimenangkan, yaitu 5 persen sampai dengan 15 persen dari besaran anggaran proyek.
Rudi ditunjuk Erik sebagai orang kepercayaan untuk mengatur proyek dan menunjuk secara sepihak kontraktor yang akan dimenangkan. ”Besaran uang dalam bentuk fee yang dipersyaratkan bagi para kontraktor yang akan dimenangkan, yaitu 5 persen sampai dengan 15 persen dari besaran anggaran proyek,” kata Ghufron.
Untuk dua proyek di Dinas PUPR tersebut, kontraktor yang dimenangkan adalah Fazar dan Efendy. Sekitar Desember 2023, Erik melalui Rudi meminta agar segera disiapkan sejumlah uang yang diistilahkan dengan ”kutipan/kirahan” dari para kontraktor yang telah dikondisikan untuk dimenangkan dalam beberapa proyek di Dinas PUPR.
Penyerahan uang dari Fazar dan Efendy pada Erik dilaksanakan pada awal Januari 2024 melalui transfer rekening bank atas nama Rudi dan tunai.
Sita rumah mewah
Tim penyidik KPK pekan lalu, juga menyita rumah mewah senilai Rp 5,5 miliar di Kota Medan, Sumut, yang diduga terkait perkara tindak pidana Korupsi dengan tersangka Bupati Labuhan Batu nonaktif Erik. ”Aset berupa satu unit rumah ini diduga memiliki tautan erat dengan penerimaan suap yang dilakukan tersangka EAR,” kata Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri sebagaimana diberitakan beberapa media. Jumat lalu.
Ali menerangkan, penyitaan rumah mewah tersebut dilakukan tim penyidik KPK pada Kamis (25/4) dengan pemasangan plang sita oleh petugas. Selain itu, tim penyidik KPK sebelumnya juga memeriksa empat saksi terkait kepemilikan rumah tersebut. Pemeriksaan itu bertempat di Kantor BPKP Perwakilan Sumatera Utara.
Para saksi tersebut, yakni ibu rumah tangga Maya Hasmita, Notaris/PPAT Rosniaty Siregar, dosen Mona Hastuti, dan Kepala Lingkungan Kelurahan Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan, Rizky Kemal.
Bupati Labuhan Batu Erik Adtrada Ritonga bersama para tersangka lain yang ditangkap dalam OTT digiring menuju tempat ekspos penahanan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat (12/1/2024).
Laporan masyarakat
Seperti diberitakan sebelumnya, penetapan tersangka itu diawali dari OTT sebagai tindak lanjut atas laporan dan informasi masyarakat soal dugaan korupsi oleh penyelenggara negara, berupa pengondisian pemenangan kontraktor yang mengerjakan proyek pengadaan di Kabupaten Labuhan Batu.
Sehari sebelumnya, tim penyidik KPK mendapatkan informasi telah terjadi penyerahan sejumlah uang baik secara tunai maupun melalui transfer rekening bank ke salah satu orang kepercayaan EAR. Atas informasi tersebut, KPK langsung mengamankan para pihak di Kabupaten Labuhan Batu. Dalam OTT tersebut, KPK mengamankan uang tunai sekitar Rp 551,5 juta sebagai bagian dari dugaan penerimaan sementara sekitar Rp 1,7 miliar.
Tersangka FS dan ES, sebagai pemberi suap, disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf atau b atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Sementara itu, tersangka EAR dan RSR sebagai penerima suap disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.