Ketika Umpatan Rocky Gerung terhadap Presiden Jokowi Dibenarkan Majelis Hakim
Putusan PN Jaksel Atas Rocky Gerung dinilai menambah legitimasi kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang publik.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
“Majelis Hakim menilai frasa yang diutarakan tergugat bukan terhadap personal atau individu atau pribadi Jokowi itu sendiri, melainkan terhadap kebijakan Jokowi dalam jabatannya yang berusaha mempertahankan legacy (warisan)-nya dengan pergi ke China dan mondar-mandir dari satu koalisi ke koalisi lainnya,” demikian pertimbangan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin Hakim Ketua Djuyamto serta dua hakim anggota, Agung Sutomo Thiba dan Anry Widyo Laksono, saat menolak gugatan David Tobing terhadap Rocky Gerung pada 25 April 2024.
Gugatan David sebelumnya dipicu oleh umpatan kontroversial Rocky yang juga dikenal sebagai pengamat politik, yang memiliki kebebasan untuk berpikir, berpendapat, atau memberikan pandangan terhadap suatu kebijakan pejabat publik. Rocky juga dikenal sebagai peneliti di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, dan dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
Dalam sebuah acara publik, Rocky Gerung menyebut Presiden Jokowi dengan perkataan kasar yang dinilai menghina dan merendahkan Presiden yang juga kepala negara dan pemerintahan. Karena itu, Rocky dituding melakukan perbuatan melawan hukum karena menghina Presiden Jokowi. Menurut penggugat, hinaan Rocky Gerung terhadap Presiden RI yang merupakan representasi dari WNI itu mengakibatkan kerugian terhadap dirinya selaku WNI. Ia menilai hinaan Rocky Gerung tidak hanya merusak harkat dan martabat kepala negara, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia.
Tindakan Rocky juga dinilai telah mencederai citra bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah tamah, menjunjung tinggi nilai budaya, kesopanan, dan kesusilaan.
Namun, menurut majelis hakim kemudian, pihaknya mengacu pada prinsip-prinsip hak asasi manusia yang menegaskan hak kebebasan berpendapat di muka umum. Pernyataan Rocky juga dianggap sebagai kritik terhadap kebijakan publik, dan bukan serangan pribadi terhadap individu. Sebagai seorang akademisi dan intelektual, Rocky dinilai juga mempunyai hak untuk menyuarakan pandangannya terhadap kebijakan publik, sesuai dengan konstitusi Indonesia: UUD 1945.
”Apa yang dikemukakan Rocky Gerung merupakan hal wajar dan hal tersebut sering kali terjadi di masyarakat. Sebagaimana contoh ketika adanya kebijakan dari pejabat publik untuk menaikkan harga beras, minyak, ataupun bahan bakar minyak yang mana respons dari masyarakat beraneka ragam, bahkan ada tanggapan balik masyarakat yang tak terduga (mengumpat), tetapi respons tersebut jelas merupakan reaksi dari kebijakan pejabat publik, bukan pada personal atau individunya,” kata majelis hakim lagi.
Selain itu, terhadap kritikan yang diajukan kepada peiabat publik, Majelis Hakim pun berpandangan bahwa setiap orang yang menjadi pejabat publik haruslah siap menerima kritikan yang diungkapkan atau disampaikan masyarakat atau warga negara selama kritikan tersebut bukanlah menyerang personal atau individunya. Dengan demikian, Majelis Hakim berpendapat terhadap dalil-dalil pokok gugatan David yang menyatakan perbuatan Rocky dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah beralasan hukum dan harus ditolak.
”Apa yang dikemukakan Rocky Gerung merupakan hal wajar dan hal tersebut sering kali terjadi di masyarakat. Sebagaimana contoh ketika adanya kebijakan dari pejabat publik untuk menaikkan harga beras, minyak, ataupun bahan bakar minyak yang mana respons masyarakat beraneka ragam, bahkan ada respons masyarakat yang tak terduga, tetapi respons tersebut jelas merupakan reaksi dari kebijakan pejabat publik bukan pada personal atau individunya. ”
Putusan PN Jaksel yang menolak gugatan advokat David Tobing terhadap Rocky Gerung dinilai Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Atnike Nova Sigiro dan Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid sebagai oase bagi kebebasan berbicara dan berpendapat di ruang publik. Meskipun demikian, sangat disayangkan kasus tersebut sampai harus diputus di meja hijau pengadilan. Padahal, seharusnya kasus tersebut cukup selesai di aparat penegak hukum, khususnya polisi atau kejaksaan dalam tingkat mediasi.
Perkembangan positif
Kemarin, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro saat dihubungi berpandangan, penggunaan konsep hak atas kebebasan berekspresi sebagai pertimbangan putusan dalam beberapa kasus tuntutan terhadap kritik kepada pejabat publik merupakan perkembangan positif atas perlindungan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia. Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur juga telah menolak gugatan terhadap aktivis lingkungan, hak asasi manusia (HAM), dan demokrasi, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.
”Dianggap oase bagi kebebasan berbicara dan berpendapat di ruang publik. Meskipun demikian, sangat disayangkan kasus tersebut sampai harus diputus di meja hijau pengadilan. Padahal, seharusnya kasus tersebut cukup selesai di aparat penegak hukum, khususnya polisi atau kejaksaan, dalam tingkat mediasi. ”
Putusan terhadap Rocky Gerung menambah legitimasi dilindunginya kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang publik yang dilindungi oleh konstitusi.
”Hak kebebasan berekspresi itu juga telah diatur dan dilindungi UUD 1945 dan secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Hak Sipil Politik,” kata Atnike.
”Hak kebebasan berekspresi itu juga telah diatur dan dilindungi UUD 1945 dan secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Hak Sipil Politik. ”
Ia menambahkan, kebebasan berekspresi merupakan syarat dan fondasi dari sebuah masyarakat yang demokratis. Sebagai negara hukum yang demokratis, negara harus memberikan ruang bagi publik untuk melakukan checks and balances terhadap pengelolaan negara.
Bahkan, secara kelembagaan, Komnas HAM yang bersifat independen juga telah memaparkan rinci terhadap konsep, hukum internasional, hukum nasional, dan praktik kebebasan berekspresi di dalam Standar Norma dan Pengaturan tentang Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat.
Di dalam Standar Norma dan Pengaturan (SNP) yang pernah dikeluarkan Komisi Nasional (Komnas) HAM tentang Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat itu juga diatur hak atas kebebasan berekspresi dalam konteks politik, yaitu ekspresi yang bertujuan untuk mengkritisi kebijakan sebagai kontrol atas jalannya pemerintahan. ”Itu harus dilindungi,” tegasnya.
Perlindungan kebebasan
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengungkapkan, putusan PN Jaksel yang menolak gugatan terhadap Rocky Gerung menunjukkan bahwa masih ada perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia.
Hal itu menambah panjang daftar putusan pengadilan yang progresif dan melindungi hak-hak sipil politik warga negara pascaputusan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti di PN Jaktim. Sayangnya, ia mengkritik perlindungan itu masih lebih banyak datang dari penyelenggara negara di ranah yudikatif.
”Hal itu menambah daftar panjang putusan pengadilan yang progresif dan melindungi hak-hak sipil politik warga negara pascaputusan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti di PN Jaktim.
Padahal, seharusnya, hal itu bisa diselesaikan di level aparat penegak hukum karena sudah ada SNP Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat ataupun Surat Keputusan Bersama (SKB) Kapolri, Jaksa Agung, dan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Implementasi Pasal-pasal Karet di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
”Perlindungan dari badan peradilan ini pun belum merata karena masih ada kasus-kasus di peradilan justru memperkuat upaya eksekutif lewat kepolisian dan kejaksaan untuk mendapat kriminalisasi kebebasan berpendapat,” jelas Usman.
Masih tebang pilih
”Revisi UU yang memuat pasal karet itu tetap diperlukan untuk pencegahan ke depan. Tetapi, mencermati dinamika revisi UU ITE yang terakhir oleh pemerintah dan DPR itu, tentu membutuhkan waktu yang lama dan energi yang besar secara politik.”
Ia pun mengkritik praktik penegakan hukum di Indonesia yang masih tebang pilih itu. Padahal, aturan teknis di level aparat penegak hukum sudah lengkap, ditambah dengan Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung untuk badan peradilan.
Ke depan, menurutnya cara mencegah kriminalisasi kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah dengan tidak lagi memakai regulasi yang memuat pasal-pasal karet baik di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru ataupun UU ITE.
”Revisi UU yang memuat pasal karet itu tetap diperlukan untuk pencegahan ke depan. Tetapi, mencermati dinamika revisi UU ITE yang terakhir oleh pemerintah dan DPR itu tentu membutuhkan waktu yang lama dan energi yang besar secara politik,” paparnya.