Kabinet Prabowo Bisa Dipengaruhi ”Budget Maximizer” Akut, Apa dan Bagaimana Solusinya?
Kondisi "budget maximizer" akut di kabinet terjadi di tengah kemerosotan demokrasi akibat lenyapnya etika berpolitik.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah terpilih menjadi calon presiden dalam Pemilu 2024, Prabowo Subianto masih menyusun komposisi kabinet. Melihat proyeksi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, peneliti dari the Institute for Development of Economics and Finance (Indef) berharap agar Prabowo secara rasional memilih kalangan profesional untuk mengisi kursi menteri agar pertumbuhan ekonomi dapat digenjot lebih tinggi lagi.
Ekonom senior Indef Didik J Rachbini mengatakan, perilaku politik di Indonesia terjebak dalam kondisi ”budget maximizer” akut di mana orang-orang terpilih dalam pemilu memaksimalkan budget untuk kepentingan mereka sendiri. ”Akibatnya, partai politik menduduki pos-pos menteri untuk mengeruk uang,” katanya, pada Rabu (1/5/2024) saat diskusi di Jakarta.
Didik menyampaikan hal ini dalam diskusi daring ”Kabinet Rasa Politik atau Profesional? Menagih Arsitektur Kelembagaan Efektif” yang diselenggarakan oleh Indef. Hadir pula dalam diskusi Ekonom Senior Indef Tauhid Ahmad; Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Andry Satrio Nugroho; Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Imaduddin Abdullah; dan Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti.
Akibatnya, partai politik menduduki pos-pos menteri untuk mengeruk uang.
Hilangnya etika
Menurut Didik, kondisi budget maximizer akut terjadi di tengah kemerosotan demokrasi akibat lenyapnya etika dalam berpolitik. Selain itu, dalam pemerintahan tidak adanya checks and balances mengingat Presiden Joko Widodo berhasil merangkul semua partai politik menjadi satu koalisi besar.
Selain itu, menurut Didik, Presiden Jokowi juga berhasil memelihara sukarelawan dan para pendukungnya menjadi ”pasukan” yang akan selalu membelanya. ”Di era Presiden Soeharto, kalau ada kritik dia bisa menutup media. Kalau sekarang, belasan kali dikritik tidak ada respons (dari Presiden Jokowi). Justru yang menghajar adalah sukarelawan presiden,” katanya.
Hal itu membuat para politisi yang dipilih menduduki kursi-kursi menteri mendapat akses dan kekuasaan untuk mengeruk uang. Apalagi, dengan lemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat nepotisme dan korupsi merajalela.
”Dalam kondisi sehat, budget itu dikontrol melalui proses politik checks and balances. Dalam dunia politik dan birokrasi, jika tidak ada checks and balances, budget rusak,” ujar Didik.
Ia berharap presiden terpilih periode 2024-2029 Prabowo Subianto berhasil keluar dari posisi subordinasi Jokowi. ”Secara intelektual, Prabowo lebih paham dalam konteks demokrasi, isu-isu internasional. Seharusnya ia bisa keluar dari subordinasi Jokowi,” ujarnya.
Didik berharap Prabowo berani melakukan gebrakan dengan menempatkan kalangan profesional untuk menempati kursi menteri, terutama yang mengurusi masalah ekonomi dan keuangan. Hal ini untuk menghindari kementerian tersebut menjadi obyek koruptif dari para politisi atau pengurus partai politik.
”Checks and balances” berkurang
Ekonom Senior Indef Tauhid Ahmad mengatakan, proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia belum maksimal. Adapun proyeksi pertumbuhan ekonomi di Indonesia paling tinggi adalah 5,2 persen pada 2025. Padahal, Indonesia menargetkan mencapai pertumbuhan ekonomi 6-7 persen. Bahkan Prabowo menjanjikan pertumbuhan meroket hingga 8 persen.
Kehadiran profesional diharapkan dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi menjadi lebih baik.
Melihat ambisi itu, menurut Tauhid maka kabinet Prabowo harus diisi oleh kalangan profesional. Kalangan profesional dibutuhkan untuk mengisi kementerian dengan pertumbuhan di bawah rata-rata nasional, seperti sektor manufaktur, industri, perdagangan, dan pertanian. Kehadiran profesional diharapkan dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi menjadi lebih baik.
Ia juga menjelaskan efektivitas pemerintahan secara signifikan memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin oleh Jokowi terdiri dari koalisi besar. Hal ini terlihat dari bertambahnya jumlah wakil menteri dari tiga pada periode pemerintahan 2014-2019, menjadi 17 pada periode kedua 2019-2024.
Dipredikis juga, koalisi Prabowo-Gibran juga akan terdiri dari kelompok besar. Apalagi sejumlah partai politik sudah menunjukkan sinyal akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo, seperti Partai Keadilan Bangsa (PKB) dan Nasdem.
Koalisi besar ini mengakibatkan proses checks and balances berkurang dan program yang diusulkan cepat terealisasi karena minimnya perlawan parlemen. ”Di sisi lain, koalisi besar akan memunculkan anggaran kementerian membengkak, adanya ego sektoral dan politisi akan memiliki kekuatan kementerian besar,” ujarnya.