Pengamat Menilai ”Reshuffle” Kabinet di Ujung Pemerintahan Wariskan Tradisi Buruk
Indonesia tak mengenal sistem pemerintahan transisi. Pergantian penguasa tidak otomatis mengubah kebijakan pemerintahan.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kabar terkait perombakan kabinet kembali berembus pada akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menegaskan bahwa reshuffle merupakan hak prerogatif Presiden Jokowi. Pengamat menilai bahwa perombakan kabinet di pengujung masa pemerintahan yang tersisa kurang dari enam bulan lagi justru akan mewariskan tradisi buruk.
”(Reshuffle) enggak efektif. Malah beliau (Presiden) mewariskan tradisi buruk. Terkecuali untuk kondisi-kondisi tertentu seperti masalah hukum. Itu pun enggak perlu diganti. Cukup saja jabatan yang ditinggalkan itu dirangkap menteri koordinator,” ujar Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi Ferry Daud Liando, saat dihubungi pada Rabu (1/5/2024).
Ferry menegaskan bahwa reshuffle kabinet juga tidak sama dengan transisi pemerintahan karena perombakan kabinet bisa dilakukan kapan saja. Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia tidak mengenal sistem pemerintahan transisi. Pergantian penguasa tidak secara otomatis mengubah kebijakan pemerintahan sebelumnya.
Sebelumnya, ketika ditanya soal kemungkinan adanya perombakan kabinet, Menkominfo Budi Arie Setiadi menegaskan bahwa hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan Presiden Jokowi. ”Ah enggak. Itu hak prerogatif Pak Jokowi,” ujar Budi Arie yang juga Ketua Umum Relawan Projo di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (29/4/2024).
Presiden Jokowi tidak menutup kemungkinan mengganti personel di Kabinet Indonesia Maju. Hal tersebut dimungkinkan apabila memang ada kebutuhan yang mengharuskan penggantian menteri di kabinet. Hal itu disampaikan kepada awak media seusai melantik Hadi Tjahjanto sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) serta Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
”Ya, namanya kalau kebutuhan memang mengharuskan, kenapa tidak,” kata Presiden Joko Widodo kepada awak media seusai pelantikan di Istana Negara, Jakarta. (Kompas.id, 21/2/2024).
Kita punya Undang-undang RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) dan punya UU APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Artinya, siapa pun presiden terpilih harus tunduk pada UU itu.
”Kita punya Undang-undang RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) dan punya UU APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Artinya, siapa pun presiden terpilih harus tunduk pada UU itu. Makanya setiap materi visi-misi capres tidak boleh menyimpang dari RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) ataupun RPJMN,” tambah Ferry.
Transisi pemerintahan
Penerapan sistem multipartai di Indonesia juga menyebabkan tidak ada perbedaan ideologi antara partai yang satu dan partai yang lain. Ideologi masing-masing parpol cenderung sama sehingga tidak memerlukan proses transisi.
Hal ini berbeda dengan proses transisi di negara lain, seperti Amerika Serikat. Di AS, ideologi partai republik dan partai demokrat sangat jauh berbeda. Dengan demikian, jika presiden petahana berasal dari partai republik atau sebaliknya dan presiden pengganti dari partai demokrat atau sebaliknya maka memerlukan transisi.
Kebijakan gabungan parpol atau koalisi parpol dalam pencalonan capres dan cawapres di Indonesia juga secara otomatis membuat presiden pemenang pilpres tidak membawa ideologi apa pun. Tidak ada pembeda antara presiden terpilih dan ideologi presiden yang akan digantikan.
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berbincang bersama Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dan Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Keuangan Singapura, Lawrence Wong di Veranda Istana Kepresidenan Bogor, pada Senin (29/4/2024). Sama seperti Prabowo yang merupapan presiden terpilih yang akan menggantikan Presiden Jokowi, Lawrence Wong juga merupakan pengganti PM Lee Hsien Loong.
Tidak mungkin visi Prabowo sebagai presiden terpilih bertentangan dengan visi presiden petahana. Jadi, pemerintahan transisi tidak relevan diterapkan di Indonesia.
Transisi pemerintahan makin tidak relevan karena presiden terpilih Prabowo Subianto adalah bagian dari pemerintahan petahana. ”Tidak mungkin visi Prabowo sebagai presiden terpilih bertentangan dengan visi presiden petahana. Jadi, pemerintahan transisi tidak relevan diterapkan di Indonesia,” ujarnya.
Pengalaman di berbagai negara lain, ciri-ciri pemerintahan transisi adalah penunjukan pejabat oleh presiden terpilih untuk menjalankan tugas-tugas tertentu. Pemerintahan transisi ini semacam pemerintahan bayangan. Mereka bisa mengelola sebagian anggaran, bisa mengakses informasi intelijen dan lain-lain yang diatur dalam UU. Jadi, pemerintahan Indonesia tidak mengenal tradisi ini.
Menjelang pergantian pemerintahan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin juga menilai bahwa situasi sangat kondusif. Hal ini, antara lain, karena presiden terpilih adalah juga salah satu anggota kabinet yang dipimpin Presiden Jokowi. Dengan demikian, Ngabalin menilai tidak ada kesulitan dalam proses transisi pemerintahan.