”Mereka impulsif, emosional, melakukan aksi karena solidaritas dan jihad yang dangkal,” kata Khairul soal ”lone wolf”.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
Penangkapan terhadap jaringan teroris yang dilakukan kepolisian dinilai telah mencegah potensi terjadinya aksi terorisme di Indonesia. Dengan tetap mewaspadai jaringan teror yang terorganisasi, potensi ancaman dinilai justru datang dari pelaku teror individual (lone wolf).
Pada pertengahan April 2024, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap delapan orang tersangka teroris di wilayah Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng). Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Trunoyudo Wisnu Andiko, kedelapan orang tersebut termasuk dalam jaringan Jemaah Islamiyah (JI).
Kedelapan orang itu berinisial G, DS, SK, A, MWDS, DK, H, dan RS. Beberapa dari mereka disebut pernah mengikuti pelatihan fisik dan pelatihan paramiliter di Poso, Sulteng. Dalam struktur organisasi JI, mereka menjabat di berbagai bidang, seperti doktrin atau dakwah, bendahara, rekrutmen, serta pendidikan.
Menurut Trunoyudo, salah satu tersangka teroris tersebut memiliki keterkaitan organisasi yang bertugas mengumpulkan pendanaan, yakni Syam Organizer (SO). Syam Organizer merupakan yayasan amal yang terafiliasi dengan JI yang bertugas untuk menggalang dana. ”Persoalan ini masih proses pendalaman,” kata Trunoyudo, Jumat (19/4/2024).
Pengamat terorisme Al Chaidar berpandangan, penangkapan ke-8 orang tersangka teroris dari kelompok JI itu memperlihatkan kedekatan JI dengan Jamaah Ansharud Tauhid (JAT) yang pernah terjadi di masa lalu. Sementara JAT secara tradisional merupakan bagian dari Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang berbasis di Poso, Sulteng, sehingga JAT sebenarnya merupakan metamorfosis dari JI.
”Penangkapan ini membuktikan bahwa JI itu masih aktif dan masih memengaruhi MIT. Sementara MIT pada periode 2014-2020 itu masih menyatakan afiliasinya kepada ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah),” ujar Al Chaidar.
Menurut Al Chaidar, para tersangka teroris tersebut dinilai ingin melepaskan dari ISIS karena selama ini ISIS tidak memberikan dukungan konkret bagi mereka. Mereka dinilai ingin membangun kembali JI agar bisa menjalin hubungan dengan Al Qaeda, kelompok teroris global. Di Indonesia, hanya JI yang memiliki hubungan dengan Al Qaeda.
Penangkapan ini membuktikan bahwa JI masih aktif dan masih memengaruhi MIT.
Oleh karena itu, lanjut Al Chaidar, penangkapan mereka oleh Densus 88 Antiteror dinilai merupakan keberhasilan aparat keamanan dalam mencegah terjadinya aksi teror. Di sisi lain, peristiwa itu menunjukkan gerakan terorisme tidak pernah habis karena merupakan gerakan ideologis.
Terkait kelompok JI yang ditangkap, kata Al Chaidar, yang tersisa saat ini merupakan lingkaran kedua atau ketiga dalam organisasi tersebut. Sementara itu, lingkaran pertama sudah habis ditangkap aparat. Kiprah dan kemampuan lingkaran kedua dan ketiga ini dinilai tidak terlalu signifikan.
Meskipun demikian, menurut Al Chaidar, untuk saat ini yang patut diwaspadai adalah reaksi kelompok tertentu, seperti kelompok radikal, fundamentalis, ataupun kelompok intoleran, terhadap krisis yang terjadi di Palestina. Mereka adalah kelompok yang tidak terkoordinasi, tetapi dapat bereaksi atas peristiwa yang terjadi, khususnya di Palestina.
”Mereka bisa membuat reaksi yang tidak terduga dan itu mempersulit aparat untuk mendeteksi siapa yang akan melakukan karena bisa saja itu seseorang menjadi teroris dadakan,” kata Al Chaidar.
Senada, pengamat pertahanan dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies, Khairul Fahmi, berpandangan, penangkapan terhadap kedelapan orang tersangka teroris dari JI memperlihatkan masih aktifnya sel-sel jaringan teroris. Meski demikian, aparat keamanan berhasil mendeteksi dan mencegahnya sebelum mereka melakukan aksi teror.
Menurut Khairul, aktifnya jaringan teroris di Indonesia tidak terkait dengan eskalasi konflik yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Meski demikian, krisis yang terjadi di Palestina tidak bisa diabaikan karena peristiwa itu mendapatkan perhatian yang besar di Indonesia.
”(Hal tersebut) Karena berkaitan dengan dukungan dan solidaritas terhadap Palestina dan berkaitan dengan kebencian kepada Amerika Serikat dan sekutunya,” ucapnya.
Saat ini, lanjut Khairul, jaringan teror seperti ISIS dan JI dinilai masih berhati-hati untuk melakukan aksi teror dengan memanfaatkan krisis yang terjadi di Palestina. Mereka dinilai masih mempertimbangkan untung ruginya melakukan aksi teror di situasi saat ini.
Oleh karena itu, hal yang patut diwaspadai adalah kemungkinan terjadinya aksi teror tunggal oleh orang yang tidak terafiliasi dengan jaringan teror mana pun dan tidak menerima seruan untuk melakukan amaliyah. Orang-orang ini berpotensi melakukan aksi teror atas nama solidaritas dan konsep jihad yang dangkal.
”Lone wolf (pelaku teror individual) ini, kan, mereka impulsif, emosional, melakukan aksi karena solidaritas dan jihad yang dangkal. Mereka lebih sulit dideteksi,” ujar Khairul.
Di sisi lain, Khairul mengingatkan tentang ancaman lanjutan yang mungkin terjadi dengan adanya indikasi sejumlah warga negara Indonesia yang pergi ke Palestina untuk turut berjuang di sana. Berkaca dari pengalaman sebelumnya, teroris yang dulu melakukan aksi teror sebagian besar pernah pergi ke daerah konflik, yakni Afghanistan atau Mindanao, Filipina selatan.
”Ketika berangkat, mereka tidak paham menggunakan senjata atau membuat bom. Setelah kembali, mereka menjadi orang yang paham. Ini yang perlu diwaspadai karena bisa menciptakan gangguan keamanan baru, sama seperti dulu,” tutur Khairul.