Penyusunan Kabinet Prabowo-Gibran Diharapkan Bukan Didasarkan pada Politik Dagang Sapi
Jumlah kementerian pada pemerintahan Prabowo-Gibran diharapkan selaras dengan upaya memberikan pelayanan publik terbaik.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyusunan kabinet, termasuk di dalamnya penentuan jumlah kementerian, pada pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka diharapkan tidak diputuskan berdasarkan kepentingan politik dagang sapi. Selain kepentingan pelayanan publik, jumlah kementerian semestinya ditetapkan berdasarkan regulasi yang berlaku serta prinsip pemerintahan desentralistik.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara telah membatasi jumlah maksimal kementerian sebanyak 34. Sejak regulasi tersebut disahkan, jumlah kementerian tidak pernah melebihi 34 kementerian. Namun belakangan, muncul usulan dari Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) bahwa kementerian idealnya berjumlah 41. Masih banyak urusan pemerintahan dalam UUD 1945 yang belum terwadahi di dalam kementerian menjadi pertimbangan APHTN-HAN mengusulkan penambahan tersebut.
Menanggapi usulan itu, Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia (UI) Eko Prasojo saat dihubungi, Minggu (5/5/2024), mengatakan, jumlah kementerian di pemerintahan mendatang idealnya tak lagi mencapai jumlah maksimal yang diatur dalam UU Kementerian Negara. Dengan kata lain, menurut dia, kabinet seharusnya bisa dibuat lebih ramping.
Salah satu alasannya, di era otonomi daerah seperti saat ini, banyak urusan pemerintahan yang sudah diserahkan ke pemerintah daerah. ”Pemerintahan di Indonesia ini desentralistik artinya banyak diserahkan ke pemerintah kabupaten dan kota. Karena hanya membuat kebijakan yang sifatnya makro, seharusnya kementerian dan lembaga di pusat minimalis, dan gemuknya di daerah,” tambahnya.
Apalagi, pemerintahan sekarang juga telah mengikuti tren digitalisasi dengan pemanfaatan teknologi informasi sehingga idealnya kabinet lebih sederhana. Sebab, dampak dari digitalisasi itu adalah pemerintahan yang bersifat gabungan (join up governance). ”Itu menghendaki pemerintahan yang semakin tipis dan sederhana,” ujar Eko.
Di luar itu, menurut Eko, ruang fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu hanya 17 persen. Sisanya, lebih banyak dipakai untuk anggaran rutin seperti belanja pegawai. Dengan ruang fiskal yang terbatas itu, idealnya kabinet juga lebih ramping agar lebih banyak anggaran digunakan untuk program pembangunan dan kepentingan masyarakat. Kualitas pelayanan publik harus lebih meningkat dengan tantangan di masa depan yang tidak mudah.
”Kalau negara lain itu bahkan sudah dipisahkan antara kementerian yang mengurusi kebijakan dan eksekutornya. Jadi, ada policy making agency dan policy executing agency yang lebih banyak berhubungan langsung kepada masyarakat,” ujarnya.
Mantan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi itu menegaskan, wacana menambah kementerian dan lembaga itu harus memiliki dasar yang kuat. Kementerian idealnya dibentuk sesuai kebutuhan dengan semangat memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat.
Senada dengan Eko, Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro berpandangan, kabinet bisa dibuat lebih ramping karena banyaknya urusan yang didelegasikan ke pemerintah daerah. Karena itu, pemerintah pusat semestinya tidak lagi menangani banyak urusan. Dengan perampingan kabinet itu pula, ia melihat pemerintah bisa bergerak lebih lincah.
Siti Zuhro menengarai, keinginan untuk menambah kementerian hanya untuk mengakomodasi ambisi Prabowo merangkul semua kekuatan politik. Dengan penambahan kementerian, tak sulit bagi Prabowo untuk membagi kursi menteri untuk partai politik (parpol) pengusungnya, juga parpol yang bergabung setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 usai.
”Padahal, pemerintah harus lincah dan tidak menjadi tambun kabinetnya. Seharusnya, ada check and balances yang kuat di DPR. Jangan malah jadi praktik politik dagang sapi,” katanya.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah penguatan sistem presidensial. Karena itu, Siti Zuhro berharap, tidak semua fraksi partai politik di parlemen bergabung dengan pemerintah. Sebab, situasi itu justru akan menciptakan pemerintahan yang otoriter tanpa ada check and balances yang kuat antara eksekutif dan legislatif.
Pemerintah harus lincah dan tidak menjadi tambun kabinetnya. Seharusnya, ada check and balances yang kuat di DPR. Jangan malah jadi praktik politik dagang sapi.
”Penguatan sistem presidensial hanya bisa dilakukan dengan bekerjanya sistem saling imbang dan saling kontrol antara eksekutif dan legislatif. Fungsi dari DPR termasuk pengawasan harus efektif terhadap semua kebijakan pemerintah,” ungkapnya.
Ide baru
Secara terpisah, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Amanat Nasional Guspardi Gaus menilai hingga saat ini revisi UU Kementerian Negara belum pernah dibicarakan di rapat-rapat Komisi II. Sebab, gagasan membentuk 41 kementerian dan lembaga itu adalah ide baru yang disampaikan oleh Prabowo sebagai calon presiden terpilih.
Ia menegaskan bahwa setiap ide dan gagasan baru dari pemerintah idealnya harus mengacu pada undang-undang yang ada. Jika memang ada keinginan serius dari presiden menambah kuota kementerian dan lembaga sesuai dengan visi-misinya, tentu undang-undang yang ada harus direvisi.
”Selagi (revisi UU) belum ada, itu akan menimbulkan pertanyaan karena jumlah kementerian dan lembaga diatur oleh UU. Tentu, siapa pun presidennya harus mengacu pada UU yang berlaku,” ujarnya.
Meskipun demikian, Guspardi menyebut bahwa di sisa masa tugas DPR periode 2019-2024, revisi UU itu bisa saja dilakukan sepanjang ada kesepakatan fraksi-fraksi di DPR. Revisi UU bisa digulirkan sepanjang ada kebutuhan kepentingan yang mendesak. Jika memang dianggap penting, selain mekanisme revisi UU di DPR, pemerintah juga bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
”Revisi juga tidak terlalu berat karena hanya terkait nomenklatur yang berkaitan dengan jumlah dari kementerian dan lembaga itu,” katanya.