Tata Ulang Kementerian Negara, Kabinet Diusulkan Diisi 41 Menteri
APHTN-HAN merekomendasikan penataan nomenklatur kementerian, termasuk menambah jumlah kementerian menjadi 41.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan jumlah kementerian yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dinilai sudah tidak relevan karena sejumlah urusan pemerintah yang diamanatkan UUD 1945 belum terwadahi. Nomenklatur kementerian perlu ditata ulang, termasuk menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 41.
Penambahan jumlah kementerian itu merupakan salah satu rekomendasi yang dihasilkan dalam rapat kerja nasional (rakernas) Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) di Makassar, Sulawesi Selatan, pekan lalu. Rakernas itu dihadiri pengurus daerah dan wilayah APHTN-HAN dari 35 provinsi di Indonesia.
Sekretaris Jenderal APHTN-HAN Bayu Dwi Anggono, Minggu (5/5/2024), mengungkapkan, tujuh temuan dan rekomendasi dihasilkan dari pengkajian penataan kabinet presidensial yang konstitusional oleh tim pengkaji. Salah satu temuannya adalah belum semua urusan pemerintahan yang disebut di dalam UUD 1945 diatur dalam UU Kementerian Negara. Jumlah kementerian yang ada juga belum dapat mewadahi semua urusan yang pemerintahan yang disebut di dalam UUD 1945.
APHTN-HAN juga merekomendasikan adanya proporsionalitas jumlah kementerian koordinator, gagasan implementatif pembentukan kabinet ahli, serta keberadaan wakil menteri. Rekomendasi lain adalah penataan lembaga di lingkungan Istana Kepresidenan serta jabatan jaksa agung yang harus diisi nonpartai politik.
Terkait dengan jumlah kementerian, APHTN-HAN menegaskan, UUD 1945 tidak mengatur mengenai jumlah kementerian. Artinya, menurut Bayu, jumlah kementerian menjadi ranah pembentuk undang-undang atau merupakan open legal policy. UU Kementerian Negara saat ini membatasi jumlah kementerian tersebut hanya 34.
Namun, menurut APHTN-HAN, pengaturan jumlah kementerian tersebut perlu ditinjau ulang. Sebab, jumlah kementerian saat ini belum menggambarkan keseluruhan urusan pemerintahan yang disebut di dalam UUD 1945.
APTHTN-HAN mengusulkan dua opsi, salah satunya menambah beberapa kementerian baru menjadi 41 kementerian.
Selain itu, pembatasan jumlah kementerian yang diatur di dalam UU Kementerian Negara tahun 2008 juga sudah tidak lagi dapat mengakomodasi kebutuhan akan fleksibilitas pengelolaan urusan pemerintahan yang disebut dalam konstitusi. Padahal, penguatan prerogatif presiden dalam membentuk kabinet presidensiil seharusnya mengacu pada urusan pemerintahan dalam konstitusi.
Oleh karena itu, APTHTN-HAN mengusulkan dua opsi, salah satunya menambah beberapa kementerian baru menjadi 41 kementerian. Penambahan itu penting untuk mengakomodasi urusan pemerintahan di dalam UUD 1945 yang belum tercakup dalam UU Kementerian Negara. Beberapa kementerian yang belum terwadahi itu, antara lain, Kementerian Pangan Nasional, Kementerian Perpajakan dan Penerimaan Negara, Kementerian Pengelolaan Perbatasan dan Pulau Terluar, serta Kementerian Kebudayaan.
Opsi kedua, jumlah kementerian adalah mempertahankan yang ada saat ini, yakni 34 kementerian. Namun, nomenklatur kementerian perlu diubah guna mengakomodasi urusan pemerintahan dalam UUD 1945 yang belum tercakup dalam nomenklatur kementerian saat ini.
Khusus mengenai kementerian koordinator, APHTN-HAN mengusulkan seharusnya paling banyak tiga kementerian koordinator. Hal ini berkaitan dengan kluster yang disebut dalam konstitusi, yaitu kluster politik, hukum, dan keamanan; kemudian kluster ekonomi dan keuangan; dan terakhir kluster pembangunan manusia dan kesejahteraan rakyat.
Mengenai syarat menteri, APHTN-HAN mengusulkan agar ada perubahan. Sebab, syarat yang diatur dalam UU Kementerian Negara dinilai masih sangat umum. Asosiasi pengajar hukum tata negara itu menginginkan agar syarat menteri ditambahkan dengan ”memiliki kompetensi dan pengalaman dalam tugas kementerian”. Selanjutnya, APHTN-HAN juga merekomendasikan perlunya presiden memperhatikan keseimbangan antara jumlah menteri dari parpol dan menteri dari kalangan non-parpol.
Beberapa kementerian diusulkan agar diisi para profesional dari nonparpol. Ini terutama untuk kementerian yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, pertanian, ketenagakerjaan, kelautan dan perikanan, sosial, serta koperasi dan UKM.
Kalangan nonparpol juga diharapkan mampu mengisi kementerian yang urusannya berkaitan dengan pemerintahan teknokratis. Hal itu, antara lain, kementerian luar negeri, pertanahan, pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi, BUMN, perencanaan pembangunan nasional, investasi, serta energi dan sumber daya mineral.
Kementerian lain yang juga harus diisi dari kalangan nonparpol adalah yang melaksanakan urusan pemerintah yang bersifat vertikal dengan struktur birokrasi dari pusat hingga daerah. Hal tersebut penting agar kementerian tidak dimanfaatkan untuk kepentingan aktivitas politik tertentu. Kementerian-kementerian itu, antara lain, kementerian keuangan, hukum dan HAM, agama, serta agraria dan tata ruang.