“The President's Club” ala Prabowo, Mungkinkah Terwujud?
Klub Presiden membutuhkan kesediaan presiden dan mantan presiden untuk meluruhkan ego demi kepentingan yang lebih besar.
Setelah ditetapkan sebagai calon presiden terpilih, Prabowo Subianto menggulirkan gagasan membentuk wadah diskusi antara presiden dan mantan presiden untuk mencari jawaban atas berbagai masalah kebangsaan, seperti ”The President's Club” yang ada di Amerika Serikat. Namun, relasi politik dan personal antarpresiden Indonesia dari periode ke periode tak selalu mulus. Mungkinkah niatan Prabowo bisa terwujud?
Jika tak ada aral melintang, periode pemerintahan Prabowo Subianto dan pasangannya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai presiden dan wakil presiden 2024-2029, akan dimulai pada Oktober 2024. Saat keduanya memerintah, ada tiga Presiden RI yang pernah menjabat dalam lima periode pemerintahan sebelumnya. Mereka adalah Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
Dari ketiga tokoh itu, dua di antaranya masih aktif berpolitik. Megawati, misalnya, menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), partai politik (parpol) pemenang Pemilu 2014, 2019, dan 2024. Yudhoyono yang dikenal dengan panggilan SBY juga merupakan mantan ketua umum yang kini menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Hanya Jokowi, yang pada Pilpres 2014 dan 2019 diusung PDI-P, belum memberitahukan rencana politiknya setelah tak lagi menjadi presiden.
Pada Pilpres 2024, SBY dan Demokrat merupakan bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo. Prabowo dan SBY, bahkan, telah bersahabat sejak sama-sama belajar di Akademi Militer. Sementara Jokowi, meski tak pernah menyatakan dukungan secara resmi, gerak-geriknya dispekulasikan banyak pihak mendukung Prabowo. Terlebih, pasangan Prabowo, Gibran, merupakan putra sulung Jokowi.
Adapun Megawati berada di posisi berseberangan lantaran parpolnya mengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Namun, Prabowo dan Megawati bersahabat sejak lama. Bahkan, keduanya pernah berpasangan menjadi peserta Pilpres 2009 walaupun kalah dari SBY-Boediono. Menjelang Pilpres 2024, Prabowo pun pernah dikunjungi oleh Puan Maharani, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P yang juga putri Megawati.
Meski Prabowo memiliki hubungan baik dengan para presiden sebelumnya, hubungan ketiga tokoh tersebut memiliki dinamika yang berbeda. Megawati dan SBY, misalnya, belum pernah berkomunikasi sejak Pilpres 2004. Keduanya terlibat konflik internal lantaran SBY yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan 2001-2004, saat Megawati menjadi presiden, dikabarkan diam-diam mendirikan Partai Demokrat untuk mengikuti Pilpres 2004.
Hubungan Megawati dengan Jokowi juga dikabarkan merenggang seiring dengan penyelenggaraan Pilpres 2024. Elite PDI-P menyebut, Jokowi tak lagi dianggap bagian dari parpol pimpinan Megawati tersebut karena mendukung Prabowo-Gibran sebagai capres-cawapres 2024. Pascapilpres, PDI-P juga menggencarkan langkah hukum untuk menggugat hasil Pilpres 2024 serta dugaan nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah selama kontestasi berlangsung.
Baca juga: Relasi Jokowi-Megawati Semakin Renggang
Juru Bicara Prabowo, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan, Prabowo ingin bisa berdiskusi secara periodik baik dengan Megawati, SBY, maupun Jokowi. Sebagai bangsa yang besar, sudah semestinya Indonesia memiliki pemimpin yang kompak bekerja untuk rakyat, terlepas dari kepentingan politik masing-masing.
”Esensinya, Pak Prabowo ingin para mantan presiden bisa tetap rutin bertemu dan berdiskusi tentang masalah-masalah strategis kebangsaan. Dengan demikian, terjaga silaturahmi kebangsaannya dan menjadi teladan bagi kita semua,” ungkap Dahnil (Kompas, 3/5/2024).
Bukan hal baru
Sebenarnya, ide Prabowo untuk membuat wadah komunikasi dengan presiden-presiden sebelumnya bukanlah hal baru. Praktik serupa telah berlangsung di AS sejak dekade 1960-an hingga saat ini. Ilmuwan politik dari Harvard Kennedy School yang juga mantan Pemimpin Redaksi Majalah Time, Nancy Gibbs, dan Editor Opini The Washington Post, Michael Duffy, pun menulis buku berjudul ”The Presidents Club, Inside The World’s Most Exclusive Fraternity”.
Buku karya Gibbs dan Duffy mengungkap fenomena kesediaan para presiden AS yang menjabat setelah Perang Dunia II berakhir kerap berada dalam sebuah klub. Mereka bekerja sama demi kepentingan bangsa meski berbeda pandangan politik.
Dalam wawancara khusus dengan Clay Jenkinson, Editor di media Governing.com, yang dipublikasikan pada 24 Februari 2021, Gibbs dan Duffy menjelaskan bahwa setiap Presiden AS memiliki kesadaran bahwa mereka adalah orang yang dipilih oleh rakyat sehingga saat jabatan berakhir, mereka juga masih bertanggung jawab untuk melayani seluruh masyarakat. Oleh karena itu, meski berbeda pandangan politik dan kadang memiliki relasi personal yang tak mulus, mereka membutuhkan diskusi dengan orang yang sama-sama pernah menjadi presiden.
“Ketika berada pada posisi sebagai (orang) paling berkuasa di dunia, Anda tidak bisa mengeluh betapa sulitnya dan bagaimana dampaknya terhadap diri Anda. Pada dasarnya, Anda sendirian dengan rasa frustrasi yang hanya bisa dipahami orang-orang yang juga terpilih (sebagai Presiden AS). Pengalaman ini mendorong beberapa orang untuk menyampingkan perbedaan pribadi dan politik, serta tidak saling meragukan satu sama lain,” kata Gibbs.
Setiap Presiden AS memiliki kesadaran bahwa mereka adalah orang yang dipilih oleh rakyat sehingga saat jabatan berakhir, mereka juga masih bertanggung jawab untuk melayani seluruh masyarakat
Oleh karena itu, di AS, pernah terjadi beberapa peristiwa yang mengguncang publik. Salah satunya saat mantan Presiden Dwight D Eisenhower menemui Presiden John F Kennedy di Camp David, untuk memberikan dukungan dan kekuasaan penuh pada presiden termuda yang dipilih rakyat AS itu.
Kemudian, ada pula kerja sama antara presiden dan mantan presiden yang sangat berseberangan baik secara politik ataupun personal, yakni antara Harry Truman dan Herbert Hoover. Keduanya berkolaborasi untuk memberikan bantuan kemanusiaan di Eropa seusai Perang Dunia II demi menyelamatkan puluhan juta nyawa.
Pada Januari 2021, saat Joe Biden mulai memerintah AS, tiga mantan presiden, yakni Bill Clinton, Barack Obama, dan George W Bush, juga mengadakan pertemuan di rangkaian inaugurasi Presiden Joe Biden. Ketiga tokoh ini melakukan percakapan publik yang belum pernah terjadi sebelumnya, untuk membahas soal transisi kekuasaan yang harus berjalan dengan mulus.
Asal bukan gimik
Politisi senior PDI-P, Hendrawan Supratikno, mengatakan, gagasan untuk mempertemukan para presiden merupakan ide yang baik. Hal itu menunjukkan upaya untuk meletakkan modal untuk menciptakan demokrasi yang lebih matang dan dewasa. Akan tetapi, dibutuhkan jiwa besar untuk membahas ganjalan dan penyimpangan yang terjadi dalam penyelenggaraan negara serta berkomitmen untuk meluruskannya.
Pembentukan forum antarpresiden itu, kata Hendrawan, juga akan bermanfaat jika berani membahas hal-hal mendasar dan memperkuat komitmen terhadap semangat konstitusi. Sebab, dalam bingkai konstitusi perbedaan pandangan bisa mengarah pada konvergensi dan sinergi dalam eksekusi kebijakan sehingga pelaksanaan program-program strategis akan lebih efektif. Dalam kerangka itu, menurut dia, Megawati tentu bersedia untuk menjadi bagian dari perkumpulan yang dimaksud.
”Jika hanya sebatas gimik atau pencitraan semata, Ibu Mega saya duga tidak tertarik sama sekali,” kata Hendrawan dihubungi dari Jakarta, Minggu (5/5/2024).
Bagi Sekretaris Majelis Tinggi Demokrat Andi Mallarangeng, ide mewadahi para mantan presiden untuk berdiskusi dengan presiden yang tengah menjabat muncul di waktu yang tepat. Sebab, di periode 2024-2029 Indonesia akan memiliki tiga mantan presiden yang masih aktif berpolitik dan mampu memberikan kontribusi bagi permasalahan bangsa. Penyelesaian sejumlah permasalahan seperti kemiskinan, pencegahan tengkes, dan penciptaan sistem pemilu yang lebih baik pun membutuhkan kerja sama banyak pihak.
”Di samping bisa memberikan pandangan, wisdom (kebijaksanaan), dan membagi pengalaman, presiden yang sedang menjabat juga bisa memberikan tugas khusus untuk mewakili presiden atas nama negara kepada para mantan presiden,” ujarnya. Hal tersebut pernah dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama pada tahun 2004. Saat itu, Obama menugaskan mantan Presiden AS George W Bush dan Bill Clinton untuk menyerahkan bantuan kemanusiaan atas nama negara kepada korban tsunami Aceh.
Baca juga: Menanti Klub Para Pemimpin Bangsa
Menurut Andi, SBY tentu terbuka dengan gagasan tersebut. Tak hanya di dalam negeri, SBY pun menjadi anggota Club de Madrid, organisasi nonprofit yang terdiri dari para mantan presiden, kepala pemerintahan, kepala negara, dan perdana menteri dari berbagai negara, untuk membahas berbagai permasalahan dunia. Hasil diskusi mereka bakal menjadi rekomendasi yang disampaikan ke Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dan para pemimpin dunia, misalnya, soal perang Rusia-Ukraina dan pandemi Covid-19.
”Dari sisi Presiden SBY, pasti akan menerima dengan baik. Presiden Jokowi juga mungkin saya rasa tidak ada masalah kalau ini bisa terwujud. Kalau Presiden Megawati, saya tidak tahu. Tapi saya rasa, kalau Presiden Prabowo nantinya bisa melakukan pendekatan yang baik mungkin saja Ibu Megawati juga tidak keberatan,” tutur Andi.
Sementara itu, Jokowi seusai meninjau pameran kendaraan listrik di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta, Jumat (3/5/2024), juga menyambut gagasan tersebut. Menurut dia, presiden yang tengah menjabat nantinya bisa berdiskusi dengan para mantan presiden bahkan sesering mungkin. ”Bagus, bagus, bagus. Dua hari sekali, ya, enggak apa-apa,” ujarnya.
Menyingkirkan ego
Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina, Jakarta, Ahmad Khoirul Umam, melihat, rencana pembentukan klub presiden oleh Prabowo patut diapresiasi. Sebab, merujuk model The Presidents Club di AS, lembaga nonformal itu bisa menghadirkan beberapa fungsi strategis, mulai dari penasihat informal presiden dalam bertukar pendapat, memberikan nasihat, serta membahas isu strategis terkait soal politik pemerintahan dan kebijakan publik. Lembaga ini pun bisa mendorong kerja sama lintas partai yang menjadi entitas kekuatan politik para mantan presiden untuk memberikan saran teknokratis kepada presiden.
Selain itu, kata Umam, berkumpulnya para mantan presiden juga bisa berperan sebagai penjaga tradisi dan integritas institusi kepresidenan. Klub presiden dapat menjadi wadah kerja sama untuk mempromosikan nilai dan standar tinggi terkait jabatan tersebut. ”Secara umum, lembaga ini bisa membantu menjaga kesinambungan, stabilitas, dan integritas lembaga kepresidenan dalam sistem politik di Tanah Air,” ujarnya.
Baca juga: Sudahkah Prabowo Merindukan Nasi Goreng Megawati?
Menurut Umam, klub presiden ini bisa terwujud jika Prabowo memiliki kehendak politik untuk mewujudkannya. Apalagi, Prabowo dinilai tidak memiliki garis konflik dengan mantan presiden mana pun. Hanya Megawati yang memiliki garis konflik dengan SBY dan Jokowi. Adapun efektivitas lembaga ini akan sangat bergantung pada kedewasaan setiap mantan presiden dalam mengelola ego terkait pola relasi politik personal mereka.
”Demi kepentingan bangsa, seharusnya para mantan presiden bisa menyingkirkan ego dan kepentingan politik pribadi masing-masing,” tutur Umam.