JK: 41 Pos Menteri Terlalu Akomodatif dan Terlampau Politis
Menambah jumlah kementerian bisa menjadi sangat politis. Ini juga bisa menjadi awal birokrasi yang buruk.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto untuk menambah kementerian dalam kabinetnya menjadi 41 dinilai bisa terlampau politis. Gemuknya kabinet tidak hanya membuat kabinet tak efektif, tetapi juga bisa menghasilkan birokrasi yang buruk.
Wakil Presiden (2004-2009 dan 2014-2019) Jusuf Kalla menilai penambahan jumlah kementerian sesungguhnya bisa dilakukan. Namun, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara perlu direvisi terlebih dahulu. Sebab, dalam aturan tersebut, sudah ditegaskan terlebih dahulu jumlah kementerian.
Menurut Kalla, jumlah 34 kementerian dulu ditentukan untuk kabinet kerja yang diisi baik oleh sosok yang berlatar profesional dan politisi. Para politisi yang dipilih juga harus bekerja profesional sesuai bidangnya.
Hal terpenting dalam penentuan jumlah kementerian adalah program kerja presiden terpilih. ”(Besar kabinet) tergantung program. Kalau programnya begini, tentu disesuaikan. Tiga puluh empat kementerian (sesuai UU No 39/2008) itu sudah dihitung sesuai program yang ada,” kata Kalla kepada wartawan seusai menghadiri Halalbihalal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Selasa (7/5/2024), di Jakarta.
Kalla juga menambahkan, Indonesia pernah memiliki Kabinet 100 Menteri. Presiden Soekarno pernah membentuk Kabinet 100 Menteri pada 1965 untuk merespons krisis ekonomi, sosial, dan keamanan. ”Tapi itu, kan, hanya politis amat, memberikan kesempatan pada semua orang. Dan, akhirnya tidak bisa jalan juga,” ujarnya.
Diakui, sebagai negara kesatuan, kabinet di Indonesia lebih gemuk ketimbang di negara federal. Di Amerika Serikat yang negara federal, misalnya, hanya ada 14 menteri.
Tergantung kebutuhanlah. Jadi, jangan lihat jumlahnya dulu, tapi programnya apa. Nah, dari program, baru disusun organisasinya. Kalau organisasi itu dibutuhkan 40, ya, silakan. Kalau cukup 34-35, ya (tidak apa-apa). Kan (banyak kementerian) bisa digabung sebenarnya.
”Tergantung kebutuhanlah. Jadi, jangan lihat jumlahnya dulu, tapi programnya apa. Nah, dari program, baru disusun organisasinya. Kalau organisasi itu dibutuhkan 40, ya, silakan. Kalau cukup 34-35, ya (tidak apa-apa). Kan (banyak kementerian) bisa digabung sebenarnya,” tuturnya.
Bukan ”zaken kabinet”
Apabila penambahan kursi menteri ditujukan untuk mengakomodasi partai-partai politik pendukung Prabowo yang semakin banyak, hal itu dinilai bukan lagi menjadi kabinet kerja atau zaken kabinet. ”Kabinet akan jadi sangat politis. Kalau hanya untuk mengakomodasi, berarti lebih politis,” katanya.
(Besar kabinet) tergantung program. Kalau programnya begini, tentu disesuaikan. Tiga puluh empat kementerian (sesuai UU No 39/2008) itu sudah dihitung sesuai program yang ada.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin menilai, 34 kementerian seperti saat ini sebenarnya juga sudah cukup ideal. Meski demikian, jika diperlukan, kemungkinan penambahan jumlah menteri tetap bisa dilakukan.
Birokrasi buruk dan rambu-rambu
Kementerian bertambah sering kali menggambarkan birokrasi yang buruk.
Secara terpisah, pengajar kebijakan publik Universitas Airlangga, Surabaya, Gitadi Tegas Supramudyo, menilai, penambahan kementerian, apalagi disertai jumlah lembaga pemerintah nonkementerian yang tetap banyak, akan membuat birokrasi memburuk. ”Kementerian bertambah sering kali menggambarkan birokrasi yang buruk,” katanya.
Birokrasi yang terbentuk akan represif karena tidak efisien dan mengamankan status quo. Sebaliknya, birokrasi yang adaptif, cerdas, detail, dan bisa menyesuaikan dengan kebutuhan akan semakin jauh dari harapan. ”Idealnya ada tim yang kredibel dan kuat untuk rekrutmen menteri,” kata Gitadi.
Kepala Pusat Kajian Kebijakan Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara (LAN) Widhi Novianto saat dihubungi di Jakarta, Selasa (7/5/2024), mengatakan, jumlah kementerian dan lembaga sebenarnya sudah diatur dalam UU Kementerian Negara. Dasar pembentukan kementerian juga sudah diatur dalam UU tersebut.
Ada rambu-rambu yang patut diperhatikan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam menyusun postur kabinet. Selain UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara yang membatasi jumlah maksimal kementerian sebanyak 34, perlu diperhatikan pula desain kelembagaan yang lincah, fleksibel, dan responsif.
Menurut dia, ada rambu-rambu yang patut diperhatikan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam menyusun postur kabinet. Selain UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara yang membatasi jumlah maksimal kementerian sebanyak 34, perlu diperhatikan pula desain kelembagaan yang lincah, fleksibel, dan responsif demi mewujudkan pemerintahan yang lebih efektif dan efisien.
LAN, menurut Widhi, hanya berkepentingan untuk mengingatkan bahwa ada sejumlah hal yang patut dipertimbangkan dalam penentuan lembaga atau kementerian ke depan. Setidaknya ada lima hal. Salah satunya tujuan negara yang sudah disebutkan dalam konstitusi.
Selain itu, konsep penentuan lembaga dan kementerian harus mempertimbangkan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini berarti penyusunan kabinet harus mempertimbangkan bahwa di era desentralisasi saat ini penyelenggaraan pemerintahan tidak lagi tersentral di pemerintah pusat, tetapi sudah didistribusikan kepada pemerintah daerah.
Pergeseran tata kelola pemerintahan juga harus menjadi fokus dalam penataan organisasi. Beberapa hal terkait dengan dinamika penataan kelembagaan yang ada saat ini harus dirancang untuk dapat mewujudkan kabinet yang lincah dan fleksibel, apalagi dengan semakin berkembangnya transformasi digital.
Hal yang juga penting adalah penataan kelembagaan juga harus bisa menjawab tantangan-tantangan strategis ke depan, baik di dalam maupun luar negeri. Penyusunan kabinet juga harus didasarkan pada tujuan mewujudkan pemerintahan yang efektif sehingga desain kelembagaan tidak tumpang tindih satu dengan yang lain.
”Semua itu harus menjadi perhatian dan pertimbangan. Jadi, saya hanya menyampaikan rambu-rambunya saja, yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam pembentukan kabinet. Dengan demikian, diharapkan terwujud pemerintahan yang efektif dan efisien,” ujar Widhi (Kompas, Selasa, 7/5/2024).