Klub Presiden, antara Asa Satukan Tokoh Bangsa dan Indikasi Intervensi Jokowi
Klub presiden diharapkan bersifat informal dan tidak digunakan untuk menginterupsi kebijakan pemerintah.
Mural presiden Republik Indonesia dari masa ke masa tergambar di kawasan Curug, Depok, Jawa Barat, Minggu (19/6/2022).
Gagasan pembentukan klub presiden yang dicetuskan presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto, bisa menjadi platform alternatif untuk menghimpun para presiden periode sebelumnya untuk memberikan saran dalam menggapai cita-cita Indonesia menjadi negara maju. Kebijaksanaan dari para pemimpin yang sudah pernah menghadapi berbagai krisis itu semakin penting di tengah situasi global yang tidak menentu. Namun, jangan sampai klub presiden itu justru menjadi ruang untuk mengintervensi kebijakan yang menjadi hak prerogatif presiden demi memenuhi kepentingan politik jangka pendek pihak tertentu.
Enam bulan jelang pelantikan presiden dan wakil presiden 2024-2029, gagasan Prabowo untuk membentuk wadah diskusi antara presiden yang tengah menjabat dan para presiden periode sebelumnya kembali mengemuka. Sejumlah elite Partai Gerindra mengklaim bahwa gagasan tersebut merupakan pemikiran lama yang kerap didiskusikan Prabowo dengan para kader partai politik yang dipimpinnya itu. Setelah Prabowo terpilih dan akan dilantik sebagai Presiden ke-8 RI pada Oktober 2024, konsep itu pun dinilai semakin relevan untuk diwujudkan.
”Konteksnya ada dua. Pertama, tentu kapasitas. Kalau kita ingin mengonfirmasi kebijakan yang berproses dari masa lalu, yang paling pas adalah kepada orang yang melaksanakannya. Kedua, dalam konteks politik representasi, tokoh-tokoh tersebut, kan, di belakangnya ada warga negara Indonesia yang menjadi pengikutnya. Jadi, representasi tidak hanya lewat lembaga formal seperti DPR, tetapi juga supaya lebih kaya, pemenuhan unsur representasi itu juga (bisa dari) mendengar presiden-presiden sebelumnya,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman dalam bincang-bincang Satu Meja The Forum yang dipandu wartawan senior Budiman Tanuredjo di Kompas TV, Rabu (8/5/2024) malam.
Dalam acara tersebut, hadir pula Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Djarot Saiful Hidayat, anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan, dan peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte.
Menurut Habiburokhman, Prabowo menghormati para presiden sebelumnya dan menganggap mereka sebagai bagian dari potensi bangsa yang tidak boleh ditinggalkan dalam pembangunan. Meski tak lagi menjabat, mereka memiliki pengalaman, pengetahuan, serta rasa dalam memimpin yang bisa menjadi referensi bagi presiden yang tengah bertugas. Lebih dari itu, para presiden yang pernah terpilih juga memiliki dukungan rakyat yang besar sehingga suara mereka masih bisa merepresentasikan masyarakat.
”Karena para presiden sebelumnya itu, kan, orang-orang spesial, baik secara kapasitas maupun representasi, pastinya (mereka) harus diberikan wadah khusus,” ujar Habiburokhman.
Baca juga: “The President's Club” ala Prabowo, Mungkinkah Terwujud?
Kendati demikian, lanjutnya, Prabowo belum memikirkan format resmi wadah yang dimaksud. Hingga saat ini, Prabowo dan Gerindra masih menghimpun masukan dari para tokoh, parpol, dan masyarakat mengenai bentuk institusi yang bakal menaungi diskusi antara Prabowo dan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
Sjarifuddin Hasan sepakat, pembentukan klub presiden merupakan ide yang penting untuk diimplementasikan. Sebab, para presiden terdahulu memiliki prestasi dan pengalaman yang bisa dikapitalitasi oleh Prabowo untuk memastikan pemerintahannya berjalan dengan lebih baik.
Politikus senior yang lebih dikenal dengan nama Syarief Hasan itu mengungkapkan, Megawati berhasil menegakkan demokrasi dan menyelenggarakan pemilu langsung untuk pertama kalinya. Adapun Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata mencapai 6 persen dan menurunkan angka kemiskinan. Sementara itu, Joko Widodo gencar membangun infrastruktur di berbagai wilayah Indonesia.
”Tetapi, ada juga yang belum dilakukan dengan baik (oleh presiden-presiden sebelumnya). Karena Pak Prabowo ingin lebih bagus, makanya ingin selalu berkomunikasi, brainstorming, bertukar pendapat, dengan para mantan presiden,” ujarnya.
Informal
Menurut Syarief, SBY pun terbuka terhadap gagasan tersebut. Presiden yang menjabat selama dua periode sepanjang 2004-2014 itu diyakini bersedia untuk bergabung dalam klub presiden jika Prabowo membentuknya. Sebab, di lingkup internasional, SBY juga masih menjadi anggota Club de Madrid, organisasi nirlaba yang diikuti oleh para presiden dan perdana menteri negara-negara di dunia untuk mendiskusikan masalah global dan merekomendasikan solusinya.
Akan tetapi, klub presiden diharapkan bersifat informal, bukan bagian dalam struktur pemerintahan. Keanggotaan klub presiden juga semestinya bersifat sukarela. ”Jadi, saya pikir, kalau ada presiden yang tidak mau ikut, ya kita tidak bisa memaksakan,” kata Syarief.
Klub presiden diharapkan bersifat informal, bukan bagian dalam struktur pemerintahan. Keanggotaan klub presiden juga semestinya bersifat sukarela.
Djarot Saiful Hidayat mengungkapkan, Megawati juga terbuka untuk memberikan saran dan bertukar pengalaman dengan Prabowo. Akan tetapi, hal itu tidak serta-merta harus diberikan dalam wadah formal karena pembicaraan terkait dinilai akan lebih efektif jika dilakukan secara informal. Selain itu, secara kelembagaan, sudah ada Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang memang bertugas untuk memberikan berbagai nasihat kepada presiden dalam menjalankan kebijakannya.
”Kalau klub presiden itu dilembagakan dalam satu forum, kan, sudah ada Wantimpres. Tetapi, kalau wadah konsultasi diskusi antara Prabowo dan Megawati, bisa saja dilakukan,” ungkapnya.
Menurut Djarot, diskusi yang dilakukan perlu dibatasi mengenai hal-hal besar yang membutuhkan saran dari mantan presiden, tetapi tidak mengurangi kekuasaan presiden. Misalnya, membahas soal tengkes yang memang merupakan masalah struktural dan butuh waktu panjang untuk menyelesaikannya. Begitu pula krisis pangan yang berpotensi mengancam Indonesia ke depan.
Indikasi intervensi
Ia mengingatkan, klub presiden yang dibuat oleh Prabowo jangan sampai justru menjadi ruang untuk mengintervensi kebijakan presiden. Sebab, ada indikasi bahwa institusi tersebut bakal digunakan oleh salah satu mantan presiden untuk mewujudkan kepentingan politik pribadinya.
”Ini betul-betul murni (gagasan) dari Prabowo atau keinginan Pak Jokowi untuk meneruskan kekuasaannya. Sebab, Pak Jokowi, kan, di awal mewacanakan perpanjangan masa jabatan presiden. Kemudian supaya ada formalitas, dibentuklah semacam presidents club,” kata Djarot.
Menurut dia, hal itu semakin terlihat dari pernyataan Jokowi yang tidak keberatan dengan pembentukan klub tersebut. Apalagi, Jokowi mengusulkan agar pertemuan antarpresiden itu digelar sesering mungkin, yakni dua hari sekali.
Baca juga: Relasi Jokowi-Megawati Semakin Renggang
Saat pemerintahan Prabowo dan pasangannya, Gibran Rakabuming Raka, dimulai pada Oktober 2024, Indonesia bakal memiliki tiga mantan presiden. Mereka adalah Megawati, SBY, dan Jokowi. Dari ketiga tokoh tersebut, hanya Jokowi yang belum diketahui rencana politiknya ke depan. Megawati merupakan Ketua Umum PDI-P dan SBY kini menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.
Pada Pilpres 2024, SBY berada di kubu pengusung Prabowo-Gibran, sedangkan Megawati dan parpol yang dipimpinnya mengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Adapun Jokowi, meski tidak pernah menyatakan dukungan secara resmi, gerak-geriknya dispekulasikan mendukung Prabowo karena Gibran merupakan putra sulungnya.
Relasi politik di antara ketiga mantan presiden itu juga tak selalu mulus. Megawati, misalnya, belum pernah berkomunikasi dengan SBY sejak Pilpres 2004. Hubungan Megawati dengan Jokowi juga dikabarkan merenggang karena perbedaan pilihan pada Pilpres 2024. Berbeda dengan ketiga tokoh tersebut, hubungan Prabowo, baik dengan Megawati, SBY, maupun Jokowi, relatif tetap terjaga.
Philips J Vermonte melihat keberadaan klub presiden menjadi penting karena kebijaksanaan yang dimiliki mantan presiden sangat dibutuhkan. Apalagi, presiden Indonesia yang menjabat dari periode ke periode pernah menghadapi krisis besar yang berbeda-beda, mulai dari Megawati yang menghadapi dan mengembalikan stabilitas demokrasi, SBY melanjutkan pertumbuhan ekonomi, hingga Jokowi membangun infrastruktur.
”Saat ini Indonesia menghadapi banyak tantangan dari luar yang harus dinavigasi (oleh presiden). Ada perang di Ukraina, pandemi, perubahan iklim, dan perang dagang Amerika Serikat dengan China. Ini persoalan yang akan dihadapi Pak Prabowo yang sama beratnya (dengan presiden-presiden RI sebelumnya) dan membutuhkan wisdom,” ungkap Philips.
Dalam konteks itu, lanjutnya, pengalaman dan kebijaksanaan para mantan presiden penting untuk didapatkan melalui klub presiden. Klub presiden hendaknya tidak membahas kebijakan politik jangka pendek yang merupakan hak prerogatif presiden yang sedang menjabat. Oleh karena itu, perkumpulan tersebut juga sebaiknya tetap dibuat informal dan tidak dilembagakan.
”Karena memang fungsinya adalah medium atau platform bagi Prabowo sebagai presiden untuk berkonsulitasi mendapatkan wisdom dari para presiden sebelumnya. Kalau bisa, dijaga bukan untuk menginterupsi kebijakan sehari-hari atau tujuan politik jangka pendek dari para mantan presiden yang notabene masih menjadi patron parpol-parpol,” tutur Philips.
Merujuk pengalaman di Amerika Serikat, ”The Presidents Club” merupakan praktik politik yang memberikan nilai positif. Sejumlah mantan presiden yang berbeda pandangan politik bisa bersatu dalam beberapa momen, terutama yang terkait dengan kemanusiaan global. Bukan ajang cawe-cawe terhadap pemerintahan yang masih berjalan.