Harapan dan Realitas Perlindungan Sosial
Berbagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat seperti tertuang dalam janji Nawacita telah dilakukan Jokowi-JK dalam empat tahun terakhir. Janji itu adalah ”meningkatkan kualitas hidup manusia”. Salah satunya melalui program perlindungan sosial.
Demi mewujudkan program itu, sejak 2014 Presiden Jokowi menyiapkan antara lain dengan menerbitkan Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dan Kartu Asistensi Sosial bagi Penderita Disabilitas Berat.
Namun, dalam praktiknya, berbagai kendala masih menyelimuti upaya pemerintah dalam mewujudkan program-program itu sesuai target. Program perlindungan sosial yang semestinya bisa menjadi instrumen untuk menghapus kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan membangun lingkungan sosial dan politik yang stabil masih dibelit beragam persoalan. Lantas bagaimana perkembangan implementasi perlindungan sosial, baik jaminan sosial maupun bantuan sosial saat ini?
Program jaminan sosial
Sejak 2014, pemerintah menggulirkan program jaminan sosial berupa jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan. Pemerintah mulai mengimplementasikan program itu Januari 2014 lewat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan kemudian menyusul program jaminan ketenagakerjaan di bawah BPJS Ketenagakerjaan pada pertengahan 2015.
Pembentukan BPJS Kesehatan bertujuan untuk mewujudkan keterpenuhan jaminan kebutuhan dasar hidup yang layak bagi penduduk Indonesia dan masyarakat dapat mengakses kesehatan secara mudah.
Namun, kendati hampir empat tahun telah berjalan, pelaksanaan program jaminan sosial kesehatan lewat BPJS Kesehatan tampaknya belum berjalan maksimal. Baru-baru ini salah satu persoalan yang mencuat adalah defisit anggaran yang dikelola BPJS dan keluhan seputar mutu layanan.
Dalam empat tahun terakhir, keuangan BPJS Kesehatan terus mengalami defisit. Tahun ini merujuk dari Rencana Kinerja dan Anggaran Tahunan BPJS Kesehatan 2018, pendapatan ditargetkan mencapai Rp 79,77 triliun dan pembiayaan sebesar Rp 87,80 triliun yang artinya defisit sekitar Rp 8,03 triliun. Tahun lalu BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp 9,75 triliun dan pada 2016 sebesar Rp 9,7 triliun. Untuk mengendalikan defisit anggaran, pemerintah menyuntikkan dana ke BPJS Kesehatan.
Defisit keuangan BPJS Kesehatan itu antara lain disebabkan oleh besarnya pengeluaran yang dibayarkan BPJS Kesehatan, sementara iuran yang masuk tergolong minim. Iuran saat ini dianggap belum sesuai dengan perhitungan aktuaria Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Padahal, Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) menggunakan pendekatan dan prinsip anggaran berimbang. Kondisi ini juga menyebabkan biaya per orang setiap bulan lebih besar dibanding iuran per orang setiap bulan.
Selain itu, terjadi perubahan morbiditas penduduk Indonesia. Jumlah penduduk yang sakit terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena belum optimalnya upaya pembangunan kesehatan masyarakat. Sampai Agustus 2018, pengeluaran BPJS Kesehatan untuk membiayai penyakit katastropik mencapai Rp 12 triliun atau sekitar 21,07 persen dari total biaya pelayanan kesehatan.
Keluhan lain adalah soal fasilitas layanan kesehatan dalam program ini. Misalnya sebaran dokter dalam program BPJS Kesehatan yang belum merata. Kondisi ini membuat penumpukan pasien di beberapa titik fasilitas rujukan tertentu. Fasilitas penunjang program jaminan kesehatan seperti ketersediaan obat juga masih banyak dikeluhkan.
Sampai 14 September 2018, jumlah peserta JKN-KIS telah mencapai 202.160.855 jiwa. Dalam hal pelayanan kesehatan, BPJS Kesehatan bekerja sama dengan 22.531 FKTP, 2.434 rumah sakit (termasuk di dalamnya klinik utama), 1.546 apotek, dan 1.093 optik.
Untuk BPJS Ketenagakerjaan, persoalan masih berkutat seputar jumlah kepersertaan yang masih rendah. Saat ini baru 2,44 persen perusahaan di Indonesia yang mengikutsertakan karyawan dalam program BPJS Ketenagakerjaan. Dari sekitar 20 juta perusahaan besar dan kecil yang terdaftar di Indonesia, hanya 488.000 yang mengikutsertakan karyawannya dalam program BPJS Ketenagakerjaan. Permasalahan keikutsertaan BPJS ini menjadi salah satu kendala pemerintah dalam meningkatkan jaminan sosial masyarakat.
Bantuan sosial
Selain jaminan sosial, perlindungan sosial juga mencakup bantuan sosial (bansos) yang terdiri antara lain dari Program Keluarga Harapan (PKH), beras untuk rakyat sejahtera (rastra), dan Program Indonesia Pintar. Seperti halnya jaminan sosial, pelaksanaan program bantuan sosial juga masih diselimuti sejumlah kendala, antara lain belum sepenuhnya tepat sasaran dan tepat waktu.
Merujuk hasil kajian Bank Dunia 2017, ”Menuju Sistem Bantuan Sosial yang Menyeluruh, Terintegrasi, dan Efektif di Indonesia”, pelaksanaan program bansos dinilai belum sepenuhnya efektif. Kendati anggaran besar telah digelontorkan untuk menjalankan program bantuan sosial, mekanisme pemantauan dan evaluasi program belum efektif dalam menilai kesenjangan antara perancangan program dan pelaksanaan.
Dalam risetnya, Bank Dunia menemukan nilai penyaluran bansos belum memberikan manfaat sesuai dengan yang dijanjikan kepada masyarakat. Sejumlah bansos juga kurang tepat waktu karena diberikan terlalu dini atau justru terlambat. Penyaluran rastra, sebagai contoh, masalah utamanya adalah alokasi penerima dan menurunnya besaran manfaat.
Sampai saat ini penyaluran bansos untuk program keluarga harapan (PKH) juga masih menemui banyak masalah. Persoalan itu antara lain meliputi bantuan tidak tepat sasaran, tidak tepat jumlah, kemudian kualitasnya belum memadai, tak tepat waktu, tidak tepat harga, hingga masalah administrasi.
Untuk bantuan berbentuk Program Indonesia Pintar (PIP), persoalan yang ditemukan adalah besaran manfaat tidak sesuai biaya pendidikan dan pemantauan yang lemah. Bank Dunia menyarankan agar pemerintah bisa menyesuaikan tingkat manfaat setiap tahun. Tujuannya untuk memastikan bantuan yang diberikan sesuai dengan biaya aktual untuk bersekolah di setiap jenjang pendidikan.
Penyaluran dana bansos secara nontunai diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, dalam penyalurannya masih ditemukan sejumlah persoalan, dari data yang kurang tepat hingga teknis dari penerima. Terkait persoalan pembaruan data penerima, masih ada masyarakat yang sudah meninggal, tetapi datanya masih terekam sebagai penerima.
Sementara itu, terkait teknis masih ditemukan penerima yang lupa nomor PIN dan antrean panjang saat penarikan. Hal itu terjadi karena penyusunan waktu penarikan belum efisien dan tepat. Hal ini menyebabkan penumpukan penarikan di tempat penyaluran. Di sejumlah daerah, antrean yang terjadi akibat jaringan bermasalah ini biasanya di daerah yang memiliki jangkauan sinyal seluler untuk mesin electronic data capture (EDC) yang digunakan untuk penarikan.
Di balik persoalan-persoalan yang masih menyelimuti pelaksanaan bansos itu, penerima bansos terus meningkat dari tahun ke tahun. Data terakhir menunjukkan penerima bantuan beasiswa Bidikmisi yang semula berjumlah 401.700 orang naik menjadi 471.800 orang. Penerima bantuan pangan nontunai naik dari 10 juta keluarga menjadi 15,6 juta keluarga.
Kilas balik perlindungan sosial
Program perlindungan sosial sebenarnya telah digagas sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada 2000 dan disahkan pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional pada 19 Oktober 2004.
Dalam sejarahnya, perlindungan sosial di Indonesia mulai menjadi prioritas program pemerintah sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1997. Merujuk pada buku Perlindungan Sosial di Indonesia: Tantangan dan Arah ke Depan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2014, krisis multidimensi menjadi titik balik munculnya kesadaran tentang kerentanan kondisi ekonomi Indonesia dan pentingnya perlindungan sosial bagi penduduk Indonesia.
Akibat krisis itu, pendapatan riil masyarakat turun, kelaparan merajalela, pengangguran meningkat tajam, dan angka putus sekolah bertambah. Angka kemiskinan 1997 melonjak tajam hingga 23,4 persen dari tahun sebelumnya sebesar 11, 3 persen. Laporan Bank Dunia 2006 menyebutkan dampak krisis menyebabkan sekitar 25 persen penduduk miskin jatuh ke dalam jurang kemiskinan.
Kondisi itu membuat pemerintah kemudian meluncurkan sistem perlindungan sosial. Saat itu kebijakan yang diambil adalah program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang terdiri dari subsidi makanan pokok, pendidikan dasar, dan layanan kesehatan dasar, serta peluang kerja melalui kegiatan padat karya dan kredit usaha.
Seiring membaiknya ekonomi, sistem perlindungan sosial mengalami perkembangan. Program JPS digantikan oleh program perlindungan sosial, baik berupa program bantuan sosial dan program jaminan sosial. Program itu kemudian mengalami kemajuan pesat seiring perluasan cakupan kepesertaan jaminan sosial bagi seluruh populasi dengan diundangkannya UU No 40/2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Perkembangan terakhir menuju penerapan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah disahkannya UU No 24/2011 yang memberikan mandat perubahan kepada empat penyedia jasa jaminan sosial milik negara (PT Askes, PT Jamsostek, PT Taspen, dan PT Asabri) menjadi dua penyedia, yakni penyedia jasa asuransi kesehatan mulai 2014, dan penyedia jasa jaminan sosial tenaga kerja mulai pertengahan 2015.
Mengatasi kemiskinan
Program perlindungan sosial salah satu tujuannya sebagai instrumen untuk mengatasi kemiskinan. Sejak program perlindungan sosial digulirkan pada 1997, angka kemiskinan nasional cenderung menurun. Profil kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan cukup signifikan selama 18 tahun terakhir. Angka kemiskinan Indonesia pada Maret 2018 menjadi 9,82 persen.
Merujuk data BPS, selama ini pusat kemiskinan ada di desa dan wilayah timur Indonesia, terutama di Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Sebanyak 60,91 persen penduduk miskin tinggal di desa. Mayoritas dari mereka bekerja di sektor pertanian, yaitu 49,9 persen.
Penurunan angka kemiskinan itu tidak terlepas dari terus meningkatnya anggaran program perlindungan sosial dari pemerintah. Jika tahun 2005 alokasi anggaran perlindungan sosial masih Rp 2,03 triliun, tahun ini anggaran perlindungan sosial sudah mencapai Rp 161,9 triliun. Persentase alokasi anggaran dana sosial juga terus meningkat dari 0,76 persen dari dana belanja negara pada 2005 menjadi 15,6 persen pada 2018.
Tak berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan yang menurun karena terdampak dari Program Pelindungan Sosial (PPS), tingkat ketimpangan di masyarakat justru relatif datar. Tercatat, pada 2015 tingkat ketimpangan yang ada di Indonesia apabila diukur dengan tinggi rasio gini, didapatkan angka sebesar 0,407 persen.
Berbagai program perlindungan sosial, baik bantuan sosial maupun jaminan sosial, tampaknya masih sebatas membantu masyarakat miskin untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti mendapatkan akses pangan, kesehatan, dan pendidikan.
Sementara untuk meningkatkan pendapatan penduduk miskin diperlukan keterpaduan bantuan dan program dari berbagai pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun lembaga-lembaga nonpemerintah. Peran pihak- pihak ini semakin penting dalam meningkatkan pendapatan penduduk miskin. (ANTONIUS PURWANTO/LITBANG KOMPAS)