Kinerja BUMN Kian Bersinar
Kinerja badan usaha milik negara secara umum kian efisien dan menguntungkan. Sejumlah BUMN direstrukturisasi, dilebur, dan sebagian dilikuidasi agar kinerja perusahaan kian sehat.
Dengan jumlah BUMN yang lebih efisien, perusahaan akan lebih fokus dalam meningkatkan hasil produksi sehingga mampu memenuhi permintaan konsumen. Demikian juga dengan BUMN yang bergerak di sektor jasa akan terus optimal dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan.
Pada 2013-2017, jumlah BUMN semakin menyusut. Tahun 2013, jumlah BUMN sebanyak 141 perusahaan. Pada tahun 2017, jumlahnya berkurang hingga tinggal 115 perusahaan. Penyusutan terbanyak terjadi pada 2013-2014, pengurangan hingga 22 perusahaan milik negara.
Salah satu tujuan penyusutan ini tentu saja untuk meningkatkan efisiensi dan mendorong profesionalisme antarunit usaha milik pemerintah. Sebisa mungkin semua unit BUMN menguntungkan bagi negara sekaligus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi, seminimal mungkin mengelola unit usaha yang selalu merugi dan juga miskin inovasi.
Pada 2015-2017, jumlah pendapatan BUMN terus meningkat. Rata-rata per tahun naik hampir 10 persen atau bertambah sekitar Rp 165 triliun. Pada kurun waktu tersebut pendapatan total semua BUMN rata-rata mencapai Rp 1.800 triliun per tahun atau sekitar 14 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Walaupun secara nasional relatif tidak mendominasi, kehadiran BUMN turut menyumbang kemajuan ekonomi. Kontribusi ini akan terus meningkat seiring dengan kenaikan produksi barang dan jasa yang dihasilkan BUMN.
Hanya saja, kenaikan produksi itu juga harus disesuaikan dengan permintaan pasar sehingga dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Dengan kata lain, kontribusi bagi PDB sebisa mungkin meningkat, tetapi perusahaan BUMN juga mampu bersaing dengan produk-produk lain baik produksi swasta dalam negeri maupun impor.
Tahun 2015-2017, hampir semua perusahaan BUMN menangguk untung. Dari 13 sektor lapangan usaha BUMN, hanya dua sektor yang kinerja keuangannya relatif tidak baik. Pertama sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan serta yang kedua adalah sektor penyedia akomodasi, makan, dan minum.
Baca juga: Nasib Divestasi Freeport Sesudah Pesta Demokrasi
Kedua sektor ini pada 2015 dan 2016 masing-masing mengalami kerugian. Sektor pertanian, kehutanan, dan pertanian mengalami kerugian hingga lebih dari Rp 1 triliun. Walaupun tidak sebesar sektor pertanian, sektor akomodasi juga merugi dengan nilai yang kian mengecil, yakni kurang dari Rp 100 miliar pada 2016.
Tahun 2017, keuangan kedua sektor BUMN yang merugi itu mulai membaik. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan rebound dan mengalami untung hingga kisaran Rp 1,5 triliun.
Untuk sektor akomodasi, walaupun membaik, tidak menghasilkan untung sama sekali karena hanya tercatat nol rupiah pada laporan labanya. Meski demikian, hal ini patut diapresiasi dan terus ditingkatkan kinerjanya agar mampu menghasilkan untung dan tidak merugi lagi.
Dengan membaiknya kedua sektor itu, berarti semua sektor BUMN menorehkan catatan yang baik karena tidak mengalami kerugian untuk seluruh sektornya. Hanya saja, jika dipilah-pilah lebih kecil lagi, terlihat tidak semua perusahaan BUMN yang terbagi di 13 sektor besar itu mendapatkan untung yang ”cukup”.
Pada 2015-2017, keuntungan semua perusahaan BUMN rata-rata per tahun sekitar Rp 167 triliun. Keuntungan itu jika didistribusikan ke masing-masing sektor akan terlihat sangat timpang.
Dari 13 sektor usaha BUMN, hanya tiga sektor yang memiliki keuntungan usaha yang tergolong besar. Pertama sektor aktiva keuangan dan asuransi yang memberikan kontribusi keuntungan bagi BUMN nasional rata-rata sekitar 41 persen atau hampir Rp 70 triliun per tahun.
Pada 2015-2017, jumlah pendapatan BUMN terus meningkat. Rata-rata per tahun naik hampir 10 persen atau bertambah sekitar Rp 165 triliun.
Kedua sektor pertambangan yang memberikan andil untung rata-rata sekitar 20 persen atau sekitar Rp 35 triliun setahun. Terakhir sektor informasi dan telekomunikasi dengan sumbangan untung setahun hampir 17 persen atau senilai Rp 28 triliun.
Sementara sektor berikutnya yang relatif tinggi nilai keuntungannya adalah sektor transportasi serta sektor pengadaan listrik dan gas. Kedua sektor jasa angkutan dan penyediaan energi ini rata-rata memberikan kontribusi keuntungan masing-masing sekitar 6 persen atau kisaran Rp 10 triliun per tahun.
Sektor lain di luar sektor-sektor di atas memiliki sumbangsih keuntungan yang relatif masih kecil. Rata-rata di bawah Rp 10 triliun per tahun. Bahkan, sejumlah sektor BUMN nilai keuntungan rata-rata di bawah Rp 1 triliun per tahun. Di antaranya sektor realestat; aktiva profesional, ilmiah, dan teknis; sektor perdagangan besar dan eceran; serta sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, dan daur ulang kontribusi.
Apabila dilihat secara agregat keuntungan-keuntungan BUMN berdasarkan sektor-sektor itu akan tampak sekali bahwa sektor aktiva keuangan dan asuransi memiliki keuntungan terbesar. Dengan torehan keuntungan yang rata-rata sudah di atas Rp 65 triliun per tahun membuat sektor ini merupakan usaha yang paling profitable.
Namun, jika melihat keuntungan dari jumlah perusahaan BUMN yang bekerja di masing-masing sektor itu, maka dominasi usaha yang paling menguntungkan akan bergeser. Bukan lagi usaha aktiva keuangan dan asuransi, melainkan perusahaan di sektor kekayaan alam dan teknologi akan lebih mendominasi keuntungan bagi semua perusahaan BUMN.
Dominasi keuntungan BUMN pertambangan
Pada 2015-2017, perusahaan di sektor pertambangan dan informasi komunikasi merupakan perusahaan yang menghasilkan keuntungan terbesar bagi BUMN. Perusahaan di kedua sektor itu rata-rata mampu menghasilkan keuntungan rata-rata setiap perusahaannya lebih dari Rp 9 triliun per tahun.
Bahkan, untuk perusahaan tambang, rata-rata mampu menghasilkan untung hingga Rp 12 triliun per tahun. Tahun 2017, keuntungan BUMN pertambangan jauh lebih besar lagi karena masing-masing perusahaan rata-rata memperoleh untung hingga lebih dari Rp 20 triliun.
Perusahaan yang mampu menghasilkan untung hingga angka triliunan rupiah itu memang tergolong minim. Hanya perusahaan-perusahaan di empat sektor yang menghasilkan nominal untung rata-rata hingga triliunan rupiah.
Perusahaan penyedia jasa listrik dan gas serta aktiva keuangan seperti perbankan milik pemerintah adalah perusahaan-perusahaan yang berkeuntungan besar selain unit usaha pertambangan dan informasi-telekomunikasi. Dari keempat sektor usaha itu, pertambangan adalah yang terbesar keuntungannya jika dilihat dari per unit perusahaannya.
Hal itu dapat dimaklumi karena perusahaan yang menjalankan sektor pertambangan dan penggalian hanya sedikit. Hanya ada dua holding company yang bertugas menjalankan bisnis tersebut, yakni PT Pertamina (Persero) dan PT Inalum (Persero). Kedua induk perusahaan besar itu melakukan proses kegiatan ekonomi mulai dari hulu hingga hilir.
Berbeda dengan BUMN aktiva keuangan dan asuransi yang secara perusahaan banyak jumlahnya. Pada 2017 terdapat 19 perusahaan BUMN sektor keuangan dengan total keuntungan sektoral mencapai Rp 76 triliun atau terbesar dari seluruh sektor BUMN yang ada. Namun, karena jumlah perusahaannya banyak, keuntungan rata-rata setahun untuk masing-masing perusahaan BUMN keuangan itu sekitar Rp 4 triliun.
Nominal laba ini berada di bawah keuntungan BUMN listrik dan gas yang sekitar Rp 5 triliun per tahun. Artinya, jauh di bawah keuntungan perusahaan telekomunikasi dan pertambangan yang labanya sudah menyentuh puluhan triliun rupiah setahun.
Besarnya keuntungan BUMN sektor tambang salah satu faktor utamanya adalah banyaknya kekayaan alam yang terkandung di perut bumi Indonesia. Selain itu, adanya upaya peningkatan efisiensi dan profesionalisme dari perusahaan BUMN sehingga mampu menghasilkan keuntungan yang terus meningkat dan besar.
Salah satu indikasi efisiensinya adalah perampingan jumlah BUMN sektor pertambangan dari sebelumnya empat perusahaan menjadi dua perusahaan pada 2017. Perampingan ini tetap membuat kinerja BUMN tambang tetap bersinar.
Pada 2017, BUMN sektor tambang yang dijalankan PT Pertamina dan PT Inalum tetap mampu menghasilkan keuntungan sekitar Rp 41 trilliun. Angkanya tidak terpaut jauh dengan keuntungan tahun 2016 sebesar Rp 44 triliun ketika BUMN tambang dijalankan oleh empat perusahaan BUMN. Artinya, efisiensi perusahaan terus dijalankan dengan kualitas dan kuantitas produksi yang tetap dijaga secara optimal.
BUMN pertambangan kian bersinar
Kepemilikan saham PT Freeport Indonesia atau PTFI oleh Pemerintah Indonesia sebesar 51 persen pada akhir 2018 akan semakin meningkatkan pundi-pundi pendapatan bangsa. Bergabungnya PTFI ke dalam holding company pertambangan di bawah PT Inalum (Persero) akan menambah kontribusi keuntungan bagi BUMN secara nasional.
Bahkan, proyeksi nilai keuntungan yang akan diterima relatif sangat besar jika melihat estimasi cadangan mineral yang masih tersimpan di area pertambangan PTFI di wilayah Tembagapura, Papua. BUMN sektor pertambangan akan kian melejit meninggalkan sektor-sektor BUMN lainnya.
Laporan PTFI pada akhir Desember 2017 menunjukkan bahwa cadangan tembaga di area tambanganya sebesar 25,1 miliar pounds atau sekitar 55 juta ton. Emas diperkirakan mencapai 23,2 juta oz atau sekitar 81.000 ton.
Apabila cadangan mineral itu mampu dieksploitasi dan diekstraksi, maka PTFI mampu mengumpulkan pendapatan setidaknya mencapai kisaran 100 miliar dollar AS. Angka itu berasal dari penggalian cadangan mineral dengan kisaran harga emas dunia yang sekitar 1.400 dollar AS per oz dan harga tembaga dunia sekitar 3 dollar AS per pounds. Artinya, potensi ekonomi yang tersimpan di perut Tembagapura masih sangat besar.
Hanya saja untuk mendapatkan pendapatan yang besar dari tambang PTFI itu tidaklah mudah. Untuk mengeruk tambang yang saat ini terfokus di dalam perut bumi atau underground mining, tentu saja diperlukan biaya yang besar. Selain itu, diperlukan waktu yang tidak sebentar.
Perlu waktu bertahun-tahun untuk mengeruk cadangan mineral yang tersimpan itu. Sebagai ilustrasi, pada 2017, PTFI berhasil memproduksi tembaga hasil underground mining sekitar 1 miliar pounds dan 1,5 juta oz emas.
Artinya, dengan potensi cadangan tembaga yang sekitar 25,1 miliar pounds, diperlukan waktu sekitar 25 tahun untuk menambangnya. Demikian juga dengan emas, estimasi cadangan sebanyak 23,2 juta oz memerlukan waktu setidaknya 15 tahun untuk mengeluarkannya dari dalam perut bumi.
Apabila target eksploitasi itu dapat tercapai, tentu saja kontribusi PTFI bagi Indonesia setidaknya bagi BUMN yang menaunginya akan relatif sangat besar. Jadi, sumbangsih PTFI akan jauh lebih besar daripada periode sebelumnya.
Berdasarkan laporan Freeport McMoran Copper & Gold Inc, sebagai induk perusahaan PTFI, pada 2017 PTFI membayar sejumlah pengeluaran kepada Pemerintah Indonesia sebesar 774 juta dollar AS atau sekitar Rp 10,3 triliun.
Nominal ini terdiri dari sejumlah hal seperti pajak pendapatan perusahaan, pajak penghasilan karyawan, dividen kepada negara, royalti, pajak properti, sejumlah pajak lain, dan fee.
Nominal itu termasuk sharing saham pemerintah yang kurang dari 10 persen. Jadi dapat dipastikan nominal yang akan diterima Pemerintah Indonesia di masa mendatang akan jauh lebih banyak dengan kepemilikan saham yang mencapai 51 persen.
BUMN pertambangan, khususnya PT Inalum (Persero) yang menaungi PTFI, akan semakin meningkat kontribusi keuntunganya bagi perusahaan BUMN nasional. (Budiwan Sidik A/Litbang Kompas)