Menanti Transformasi Produsen Plastik
Industri plastik kini dikepung perubahan kebijakan. Untuk itu, perlu strategi agar industri ini tidak redup.
Industri plastik Indonesia baru mulai merangkak naik setelah pertumbuhannya mengalami minus empat tahun lalu. Potensi pertumbuhan negatif bisa kembali terjadi karena perubahan permintaan barang di dalam negeri akibat kampanye pengurangan pemakaian kantong plastik, juga rencana pengenaan cukai terhadap kantong plastik sekali pakai.
Sejak foto kuda laut membawa cotton bud di ekornya viral di media sosial pada 2017, gerakan menyelamatkan laut dari kotoran sampah, terutama sampah plastik, demi kelestarian laut pun marak hingga sekarang.
Foto tersebut diambil oleh fotografer Justin Hofman yang juga seorang aktivis dari SeaLegacy, sebuah organisasi yang bergerak di bidang konservasi laut. Menurut pengakuan Hofman, foto tersebut diambilnya di wilayah perairan Sumbawa Besar, Pulau Sumbawa, Indonesia.
Alam, terutama laut, tidak dapat mengurai sampah plastik dengan cepat. Butuh waktu 20 tahun baru kantong plastik bisa terurai atau terkomposkan. Sementara botol plastik membutuhkan waktu lebih lama lagi, mencapai 450 tahun. Sementara, volume sampah plastik yang berakhir di laut jumlahnya sangat besar.
Sebuah riset dari Fakultas Teknik Lingkungan Universitas Georgia, Amerika Serikat, tahun 2015 mengungkap Indonesia sebagai penyumbang sampah terbesar kedua di dunia. Sekitar 187,2 juta ton sampah plastik dari Indonesia berakhir di laut. Indonesia hanya kalah dari China yang menyumbang 262,9 juta ton sampah plastik ke laut (Kompas, 3/4/2017). Bisa dibayangkan beban bumi dalam mengurai sampah plastik.
Umumnya sampah plastik banyak yang berakhir di laut akibat perilaku membuang sampah ke sungai. Di laut, plastik kemudian terpecah kecil-kecil menjadi mikroplastik, yang bisa dikonsumsi oleh ikan, penyu, atau burung karena dianggap sebagai alga atau plankton.
Kondisi ini sangat membahayakan karena mikroplastik, atau bahkan nanoplastik, bisa masuk dalam rantai makanan yang berakhir di manusia. Jika ikan yang memakan mikroplastik dimakan oleh manusia, maka akan memengaruhi kesehatan manusia.
Bahan kimia berbahaya yang ada di plastik, seperti Bisphenol-A (BPA), phthalates, polyaromatic hydrocarbons,dan bahan anti/pemadam api (flame retardants), dapat memicu antara lain penyakit kanker, menyebabkan janin keguguran, dan sindrom autisme.
Baca juga: Sampah Plastik dan Efek Mengerikan Dioksin
Kampanye pro-bumi
Karena dampak buruk inilah lalu muncul gerakan atau kampanye untuk meredam pemakaian kantong plastik yang tidak terkendali. Pilihannya plastik atau bumi. Muncul tagar-tagar seperti #dietkantongplastik, #kurangisampahplastik, #zerowaste, #saynotoplastic, #plasticbagdiet, #stopplastik, #plasticfree, #reducereuserecycle, #gogreen, #sayapilihbumi, bahkan #balitanpaplastik, #jakartatanpaplastik.
Sejumlah pemerintah daerah pun ikut turun tangan mengendalikan penggunaan kantong plastik sekali pakai. Gubernur Bali Wayan Koster pada 21 Desember 2018 menandatangani Peraturan Gubernur Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.
Dalam pergub tersebut terdapat pelarangan penggunaan plastik sekali pakai (PSP) untuk mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh penggunaan PSP. Yang termasuk dalam PSP adalah kantong plastik, sedotan plastik, dan styrofoam.
Alasan kuat yang mendasari lahirnya pergub tersebut ada kaitannya dengan reputasi Bali sebagai pulau yang indah mulai tercoreng akibat menumpuknya sampah dan polusi plastik di perairan dan daratan Bali. Hal ini selain memengaruhi kondisi pariwisata yang menjadi sumber penghasilan utama masyarakat Bali, juga menyebabkan kesehatan terganggu sehingga bisa menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Setelah Bali, Jakarta menempuh langkah serupa. Gubernur Anies Baswedan pada 27 Desember 2019 menandatangani Peraturan Gubernur Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan Pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat.
Pada Pasal 5 Pergub tersebut dinyatakan pengelola pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat dilarang menggunakan kantong plastik sekali pakai. Pelarangan ini dikarenakan sebanyak 14 persen dari sampah yang ada di DKI Jakarta merupakan plastik sekali pakai.
Kepala daerah lainnya yang menerapkan pelarangan kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan, toko modern, toko ritel, dan pasar tradisional adalah Kota Bekasi melalui Peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 37 Tahun 2019. Pengurangan penggunaan kantong plastik juga berlaku di perkantoran dan rumah tangga. Gerakan pengurangan penggunaan kantong plastik ini juga diterapkan oleh banyak daerah lainnya.
Di tingkatan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan sedang menggodok kemungkinan menerapkan cukai untuk kantong plastik sekali pakai. Jika disetujui oleh DPR, cukai plastik akan dikenakan sebesar Rp 30.000 per kilogram plastik bagi produsen dan importir atau sebesar Rp 200 per lembar plastik. Nantinya, harga plastik menjadi Rp 450 hingga Rp 500 per lembar setelah dikenakan cukai.
Baca juga: Rencana Pengenaan Cukai Plastik Dinilai Positif
Nasib industri plastik
Kampanye dan kebijakan yang bertujuan mengurangi pemakaian kantong plastik sekali pakai ini tentu saja akan berdampak pada industri plastik. Berkurangnya pemakaian kantong plastik sekali pakai secara masif akan mengurangi permintaan dan pada akhirnya akan memengaruhi angka produksi kantong plastik.
Selama ini, pertumbuhan industri plastik jika dilihat dari pertumbuhan kelompok industri karet, produk karet, dan plastik cenderung fluktuatif. Tahun 2016, pertumbuhannya negatif 8,34 persen.
Pertumbuhan yang negatif juga pernah terjadi pada 2013, yaitu negatif 1,86 persen. Namun, perlahan kondisinya membaik. Tahun 2017, pertumbuhan juga kembali meningkat menjadi 2,47 persen. Setahun kemudian pertumbuhan juga naik menjadi 6,92 persen.
Ekspor komoditas plastik seperti plastik lembaran, plastik untuk pengemasan, plastik untuk bangunan, dan jenis plastik lainnya cenderung meningkat sejak 2015, dari sebanyak 423.863 ton (2015), naik menjadi 464.252 ton (2017).
Demikian pula dengan impor komoditas plastik yang naik sebesar 7,6 persen per tahun selama periode 2014-2017. Tahun 2017, impor plastik mencapai 764.584 ton. Angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan ekspor barang sama pada tahun yang sama.
Tren kenaikan ini bisa berakhir karena dampak gerakan pengurangan penggunaan kantong plastik. Untuk ekspor, sesungguhnya kenaikan volume bisa terus dilanjutkan agar pelaku usaha tetap berproduksi atau mengurangi produksi.
Namun, impor plastik mesti dikurangi untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri yang tentunya juga berkurang. Menaikkan ekspor dan mengurangi impor ini tentu menjadi tantangan tersendiri yang memerlukan campur tangan pemerintah.
Pelaku usaha industri plastik perlu berstrategi untuk menghadapi berubahnya permintaan domestik akan kantong plastik. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengharapkan para produsen plastik bertransformasi menjadi produsen barang yang lebih ramah lingkungan. Pilihan yang tersedia adalah menyubstitusi kantong plastik ke jenis kantong plastik berbahan nabati atau bioplastik, kantong yang bisa didaur ulang, dan kantong berbahan nonplastik yang bisa digunakan kembali.
Jika produsen plastik bisa melakukan transformasi ini, kampanye pro-bumi akan membuahkan hasil, laut akan lestari. Di pihak lain, ancaman industri plastik menjadi sunset bisa diredam. (LITBANG KOMPAS)