Adaptasi Warga Kota Pasca-Covid-19
Google Indonesia dalam Laporan Mobilitas Komunitas, 7 April lalu, menyebutkan sejumlah tren mobilitas ke sejumlah tempat menurun sejak Februari, sementara mobilitas di dalam rumah meningkat.
Pandemi Covid-19 memaksa kota dan warganya untuk beradaptasi sekaligus berubah. Aktivitas yang tadinya ada di berbagai tempat sekarang terpusat hanya di dalam rumah. Adaptasi ini bisa jadi akan mengubah kota secara fisik, sosial, ekonomi, ataupun budaya.
Ajakan pemerintah untuk belajar, bekerja, dan beribadah di rumah pada pertengahan Maret lalu telah membuat sebagian besar warga memindahkan semua aktivitas yang biasanya dilakukan di luar rumah menjadi ke dalam rumah. Namun, itu memang tak mudah dilakukan, khususnya bagi pekerja sektor informal yang harus mencari pendapatan secara harian.
Beberapa minggu kemudian, pemerintah pusat mengeluarkan ketentuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020. PSBB merupakan pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu, meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, serta pembatasan kegiatan keagamaan dan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Dampak positif
Pembatasan sosial berskala besar ini berupa aturan tertulis disertai sanksi yang membuat orang untuk tetap bertahan dan melakukan seluruh aktivitas di rumah. Selama sebulan ini, aktivitas yang terpusat di rumah membuat mobilitas masyarakat berkurang, yang salah satunya berdampak pada berkurangnya polusi udara.
Google Indonesia dalam Laporan Mobilitas Komunitas pada 7 April lalu menyebutkan sejumlah tren mobilitas ke beberapa lokasi selama Februari hingga awal April mengalami penurunan. Sebaliknya, mobilitas di dalam rumah meningkat 18 persen.
Tren mobilitas yang mengalami penurunan terjadi di tempat retail, rekreasi, pasar, penjualan obat, taman, stasiun/halte, dan tempat kerja. Tren mobilitas ke tempat retail seperti restoran, kafe, pusat perbelanjaan, serta kawasan rekreasi menurun hingga 38 persen. Kemudian mobilitas ke tempat transit angkutan umum seperti halte dan stasiun kereta merosot hingga 58 persen. Penurunan mobilitas juga terjadi di kawasan perkantoran (35 persen).
Penurunan mobilitas tersebut tentu saja salah satunya berdampak pada penurunan emisi pencemar udara. Contohnya Jakarta yang sudah sejak 18 Maret menetapkan pembatasan sosial (social distancing), diikuti pemberlakuan PSBB pada 10 April lalu. Setelah 18 Maret, tercatat dalam Airvisual Jakarta, Indeks Kualitas Udara (AQI) menurun di bawah angka 100 meski ada beberapa hari yang angkanya masuk kategori ”udara tidak sehat bagi orang yang sensitif” (101-150).
Kondisi kualitas udara ini bisa dibandingkan dengan wilayah tetangganya, yakni Bekasi dan Tangerang Selatan yang baru pada 15 dan 18 April menerapkan PSBB. Pada 16 Maret hingga 14 April, rata-rata kualitas udara di dua wilayah tersebut dalam kategori ”tidak sehat” (151-200).
Dampak positif lainnya adalah penurunan volume sampah. Mengutip dari laman Kompas.com, tonase sampah dari Jakarta menuju Bantargebang menurun dengan rata-rata 620 ton per hari. Pada periode 1-15 Maret 2020 sebelum penerapan sistem bekerja dan belajar di rumah, rata-rata volume sampah 9.341,16 ton per hari. Setelah itu, berkurang menjadi 8.726,44 ton per hari.
Meski berkurang, volume sampah itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan sampah yang dihasilkan pada akhir tahun 2019, yakni 7.700 ton per hari. Hal itu karena menurut catatan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, sampah rumah tangga masih mendominasi proporsi sumber sampah (59,2 persen).
Pengurangan terjadi karena aktivitas perkantoran, kawasan komersial, fasilitas publik, dan sekolah berkurang. Sampah dari kawasan tersebut hanya menyumbang 40,8 persen dari sumber sampah DKI Jakarta.
Berkurangnya volume sampah patut diapresiasi. Meski demikian, setiap keluarga tetap harus mengurangi sampah.
Apa yang terjadi pada masa pandemi ini memberi dampak positif pada lingkungan alam kota. Bahkan, dalam artikel ”The Post Pandemic Urban Future is Already Here” dari laman Citylab disebutkan, sejumlah peristiwa sejarah seperti Perang Dunia ataupun resesi ekonomi tidak bisa mengubah kota. Namun, pandemi penyakitlah yang akan memberikan perubahan besar dalam kebijakan, politik, ruang, dan perilaku warga kota.
Baca juga : Upaya Sejumlah Negara Melawan Asap Polutan
Pola hidup sehat
Salah satu perilaku warga kota yang pasti akan berubah adalah pola hidup sehat. Anjuran untuk rutin mencuci tangan, menjaga kesehatan diri dan lingkungan yang secara terus-menerus dianjurkan pemerintah akan menjadi kebiasaan baik warga kota.
Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun, misalnya. Catatan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 sudah menunjukkan rutinitas yang baik. Sebanyak 93 persen rumah tangga sudah terbiasa mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Bahkan, warga perkotaan (96 persen) sudah punya kebiasaan yang lebih baik dibandingkan dengan warga perdesaan (90 persen).
Saat wabah Covid-19 mulai terjadi pada Maret, mengutip dari laman Jakarta Post, 85 persen responden mengatakan lebih banyak melakukan aktivitas mencuci tangan. Adanya peningkatan aktivitas mencuci tangan tersebut pertanda baik. Bahkan, setelah wabah ini selesai, mencuci tangan menjadi kebiasaan yang akan terus dilakukan.
Begitu pula dengan kebiasaan makan buah dan sayur. Menurut laporan Impact of Covid-19 on Consumer Behavior in Indonesia oleh Surveysensum, kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi buah dan sayur naik 47 persen (Kompas, 17/4/2020). Padahal, menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, konsumsi sayur dan buah masyarakat Indonesia dikategorikan kurang. Hanya 4,6 persen yang makan buah dan sayur 5 porsi per hari dalam seminggu.
Selain kebersihan diri, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan juga akan terbentuk. Setiap keluarga akan lebih meningkatkan rutinitas untuk membersihkan rumah dan menyemprotkan cairan disinfektan sebagai pelindung dari virus.
Baca juga : Hidup Sehat Menangkal Korona
Hunian layak
Namun, menjaga kebersihan lingkungan tidaklah mudah selama di kawasan perkotaan masih banyak hunian tidak layak. Hunian tidak layak rata-rata berada di kawasan kumuh dan padat. Susenas 2018 mencatat masih ada 1,5 persen rumah tidak layak huni dan 5,9 persen rumah tangga kumuh di kawasan perkotaan.
Urusan fasilitas sanitasi, misalnya, baru 86,3 persen rumah tangga di perkotaan yang sudah menggunakan tangki septik dan IPAL sebagai tempat pembuangan akhir tinja. Sisanya masih dibuang sembarangan di kolam/sawah/sungai/lubang tanah, bahkan pantai atau kebun. Catatan Susenas 2018, wilayah perkotaan di Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Selatan angkanya di bawah rata-rata nasional.
Kemudian, baru ada 81,6 persen rumah tangga di perkotaan yang memiliki akses terhadap air minum layak. Sejumlah wilayah perkotaan di Jawa, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur, tercatat memiliki angka di bawah rata-rata nasional. Tak hanya itu, Bengkulu, Bangka Belitung, dan Lampung juga masih kesulitan memenuhi kebutuhan air minum dari sumber terlindung.
Keberadaan hunian tidak layak ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah saat wabah selesai. Hunian layak, menurut paparan ”Pada Masa Korona: Masa Depan Kota dan Hak atas Hunian Layak” (Elisa, 2020), tidak sekadar bisa menyediakan infrastruktur seperti air bersih, sanitasi, dan listrik. Namun, di sisi lain juga harus bisa menyediakan ruang yang cukup bagi warga untuk melindungi diri dari berbagai cuaca dan ancaman lain terhadap kesehatan, bahaya struktural, dan penyakit.
Lokasi hunian tidak boleh dibangun di lokasi yang tercemar atau dekat sumber pencemar lingkungan. Dari sisi aksesibilitas, perumahan harus dapat diakses oleh seluruh masyarakat, termasuk kaum disabilitas, tanpa kecuali. Moda transportasi umum dari depan rumah hingga berbagai tempat aktivitas di pusat kota juga harus tersedia. Satu hal yang penting adalah keamanan bermukim. Artinya, penghuni harus terlindungi dari ancaman penggusuran paksa yang banyak terjadi di kota besar.
Terakhir, persoalan keterjangkauan juga menjadi poin sendiri dalam artikel ”The Post Pandemic Urban Future is Already Here”. Sekarang, harga rumah di kawasan perkotaan tinggi sehingga warga kelas menengah ke bawah cenderung tinggal di pinggiran kota, yang cukup jauh dari lokasi pekerjaan ataupun aktivitas lain.
Ruang gerak hunian
Belum lagi persoalan luasan ruangan untuk setiap orang yang berada di bawah standar internasional. Menurut standar American Public Health Association, ukuran luas lantai ideal per orang minimal 10 meter persegi. Namun, menurut catatan Badan Pusat Statistik, masih ada 18,2 persen rumah tangga di perkotaan yang menempati rumah dengan luas lantai per orang kurang dari 10 meter persegi.
DKI Jakarta tercatat memiliki persentase rumah tangga tertinggi (37,6 persen). Hal ini menunjukkan masih banyak warga Jakarta yang ruang gerak di dalam rumahnya sempit. Bisa jadi, rumah berukuran 36 meter persegi ditempati lebih dari empat orang.
Soal ruang gerak dalam hunian ini penting, khususnya selama masyarakat harus berdiam diri di rumah selama wabah Covid-19. Ruang privat hunian mendadak berubah menjadi ruang produktif untuk bekerja bagi orangtua dan belajar untuk anak-anak. Bagaimana bisa tetap bekerja, belajar, ataupun beribadah di rumah jika ruang gerak setiap orang terbatas, hanya 5 atau 9 meter persegi.
Rumah dengan jumlah ruangan terbatas di kawasan perkotaan tidak hanya terdapat di kawasan padat penduduk. Namun, sekarang ada kecenderungan unit apartemen di pusat kota dijual dengan ukuran studio, artinya hanya terdapat dua ruangan. Ruangan besar tanpa sekat yang berfungsi sebagai ruang tidur, dapur, dan ruang campuran, serta terpisah dinding adalah kamar mandi. Untuk ruang tamu, penghuni bisa memanfaatkan lobi atau ruang publik di apartemen, seperti taman dan kafe.
Pandemi ini juga memberi pelajaran bagi arsitek dan pengembang hunian untuk lebih memikirkan ruang-ruang dalam sebuah hunian. Setidaknya jumlah ruangan di dalam rumah cukup nyaman bagi penghuninya untuk beristirahat, bercengkerama dengan keluarga, ataupun bekerja dan belajar. Jumlah ruangan di dalam rumah yang terbatas ke depan bisa ditambah sehingga menambah ruang gerak para penghuni.
Infrastruktur internet
Saat semua warga memindahkan aktivitasnya di rumah, infrastruktur telekomunikasi jaringan internet menjadi penting. Fungsinya tak sekadar sebagai alat kerja, tetapi juga sarana penunjang sekolah, telekomunikasi-penghubung dengan dunia luar, hingga alat bantu beribadah.
Pemakaian jaringan internet di Indonesia dilaporkan meningkat saat masa karantina Covid-19. Mengutip dari laman Kompas.com, dari hasil pemantauan Kementerian Komunikasi dan Informatika, penggunaan internet meningkat 5 hingga 10 persen. Internet saat masa pandemi paling banyak diakses dari rumah dibandingkan dengan sebelumnya yang lebih banyak digunakan di kantor dan sekolah.
Meski demikian, dari Statistik Telekomunikasi 2018, baru 78,08 persen rumah tangga di perkotaan yang terjangkau fasilitas internet. Artinya masih sekitar 20 persen yang belum terjangkau. Hal ini akan menyulitkan mereka untuk bekerja, belajar, ataupun beribadah di rumah.
Ke depan, dalam diskusi Webinar ”Respons Kota terhadap Pandemi Global Covid-19” disebutkan, internet dan infrastruktur digital menjadi salah satu kunci resiliensi kota di masa depan. Pasca-pandemi ini, warga perkotaan akan semakin bergantung pada internet untuk segala macam kebutuhan. Tidak hanya untuk mengakses informasi atau media sosial ataupun belanja daring, tetapi juga untuk pertemuan/diskusi, kuliah, dan sekolah.
Bahkan, dalam diskusi Webinar ”How Cities Response to Covid-19 Smartly” juga disebutkan, internet yang bisa dijangkau oleh semua warga bisa berdampak mengurangi mobilitas di perkotaan. Saat semuanya bisa dikerjakan di rumah dan orang sudah terbiasa bekerja dan belajar dari rumah, mobilitas akan berkurang. Bisa jadi ke kantor atau ke sekolah tidak perlu setiap hari. Berbelanja pun bisa secara daring sehingga tidak diperlukan pusat perbelanjaan secara fisik.
Itu baru sejumlah kecil perubahan yang bakal terjadi di kawasan perkotaan. Dari kebiasaan baik untuk menjaga pola hidup sehat, mengurangi mobilitas, hingga kebutuhan internet, hunian layak, dan ruang gerak yang cukup.
Namun, menurut arkeolog Chandrian Attahiyat dalam Webinar ”Sejarah Wabah Penyakit di Betawi: Telisik Cacar, Malaria, Kolera, Leptospirosis”, bisa saja perubahan pola hidup sehat hanya sesaat. Setelah wabah berlalu, masyarakat akan kembali pada kebiasaan buruk, seperti membuang sampah sembarangan ataupun kembali pada sistem sanitasi yang buruk.
Hal ini, menurut Chandrian, tecermin dari endemi penyakit kolera di Batavia pada abad ke-18. Meski pemerintah kolonial sudah membuat aturan untuk tidak buang air besar di sungai, sejumlah warga tetap saja melakukannya.
Kondisi tersebut berpulang ke setiap warga kota. Akankah warga belajar dari pengalaman pandemi Covid-19 atau tetap pada pola lama yang berpotensi untuk munculnya kembali wabah penyakit?
Pandemi penyakit sejak abad ke-19 di Eropa telah berhasil mengubah tatanan kota dan perilakunya. Kini satu abad kemudian, kota-kota di seluruh dunia harus bersiap menghadapi perubahan dan pergeseran budaya karena Covid-19. Perubahan yang baik akan semakin memperkuat kota dan masyarakatnya. (LITBANG KOMPAS)