Pelayanan publik di masa pandemi Covid-19 diharapkan tetap berjalan dengan baik meskipun dengan sejumlah penyesuaian. Keberlangsungan pelayanan yang berkualitas menjadi ujian bagi penyelenggara layanan publik.
Oleh
Arita Nugraheni/Litbang Kompas
·4 menit baca
Keberlangsungan pelayanan publik menjadi kekhawatiran di tengah pandemi Covid-19 yang melanda negeri ini. Penerapan pembatasan sosial berskala besar di sejumlah wilayah menjadi faktor yang membatasi pergerakan sosial masyarakat. Meski begitu, publik berharap pelayanan publik tetap berjalan seperti biasa.
Harapan ini juga dibarengi apresiasi publik pada komitmen pemerintah, khususnya dalam melayani kebutuhan masyarakat di berbagai sektor. Lebih dari 60 persen publik menganggap tiap penyelenggara pelayanan publik tetap berusaha memberikan pelayanan yang berkualitas selama masa wabah Covid-19 ini.
Jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pekan lalu mencatat, sebanyak 41,5 persen responden menyatakan pelayanan publik tetap baik saat ini. Sementara itu, 34,4 persen harus menilai kurang baik di tengah usaha menjaga kualitas. Sisanya, 5,9 persen publik menilai pelayanan kurang baik tanpa alasan yang jelas. Pelayanan terbaik adalah di sektor pelayanan barang yang diapresiasi 83,7 persen responden. Menyusul kemudian pelayanan jasa kemasyarakatan (73,7 persen), administrasi nonpemerintah (67,8 persen), dan administrasi pemerintah (64,3 persen).
Penilaian ini tidak lepas dari pengalaman responden. Sebanyak 50,3 persen responden mengaku mendatangi fasilitas pelayanan publik selama masa wabah Covid-19. Sejumlah catatan kritis muncul. Dari kelompok responden tersebut, hampir separuhnya (44,4 persen) mengeluhkan waktu pelayanan yang menjadi lebih lama. Sebagian lain (17,8 persen) mengeluh soal ketiadaan petugas. Sisanya terkendala dengan persoalan lain, seperti biaya pelayanan yang lebih mahal, antrean yang panjang, dan jam operasional yang lebih pendek.
Catatan kritis ini juga tergambar dari jumlah keluhan yang masuk ke kementerian yang bertanggung jawab di bidang pelayanan publik. Pada 17 Maret hingga 9 April 2020, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB) menerima 348 keluhan. Keluhan tertinggi terkait administrasi kependudukan (153 laporan) disusul persoalan kelistrikan (116 laporan), dan perpajakan (40 laporan) (Kompas, 13 April 2020).
Pelayanan daring
Atas catatan kritis dan keluhan ini, pemerintah sebagai penyelenggara layanan relatif telah tanggap. Pemerintah membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat yang ingin melaporkan kondisi pelayanan publik melalui laman Lapor.go.id. Kata kunci yang disediakan antara lain terkait bantuan untuk masyarakat, social distancing, karantina wilayah, rapid test, dan sarana rumah sakit yang tidak mencukupi.
Responden jajak pendapat ini juga berharap pelayanan publik dapat cepat beradaptasi dengan situasi wabah yang mensyaratkan physical distancing jika infrastruktur pelayanan daring telah mapan. Separuh responden (53,9 persen) mendorong agar pelayanan publik bisa dilakukan secara daring. Sayangnya, infrastruktur untuk memberikan pelayanan secara daring masih terganjal banyak kendala. Berdasarkan catatan Kompas pada 23 April 2020, untuk layanan administrasi pemerintah, peralihan layanan ke model digital belum tuntas di 47 daerah dari 514 dinas dukcapil. Persoalan yang dihadapi antara lain adalah keterbatasan internet dan kapasitas ASN yang belum memadai.
Pelayanan berkualitas yang diharapkan publik bukan tanpa alasan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mewajibkan pemerintah memberikan pelayanan yang mudah, terjangkau, dan terukur. Meski demikian, tidak dapat ditampik, wabah Covid-19 membuat penyelenggara pelayanan publik ikut kewalahan. Publik pun memberikan ruang pemakluman untuk situasi ini meski tetap bersikap kritis.
Kekhawatiran
Selain urusan administrasi, pelayanan yang dikeluhkan adalah terkait pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Hal pertama yang paling dikhawatirkan adalah ketersediaan bahan pokok untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Kekhawatiran ini disampaikan oleh 38 persen responden. Hal kedua yang dikhawatirkan adalah layanan kesehatan. Sebanyak 23,8 persen publik mengkhawatirkan pelayanan kesehatan akan terganggu di tengah semua tenaga dan fasilitas kesehatan fokus pada penanganan Covid-19. Hal ketiga adalah kekhawatiran soal ketersediaan lapangan pekerjaan di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja.
Dari tiga persoalan tersebut, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi untuk menguatkan perlindungan sosial. Di bidang kebutuhan dasar, pemerintah mengalokasikan dana bantuan sosial sebesar Rp 110 triliun. Anggaran ini antara lain untuk penambahan jaringan pengaman sosial (Rp 65 triliun), cadangan untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan operasi pasar atau logistik (Rp 25 triliun), serta penyesuaian anggaran pendidikan penanganan Covid-19 (Rp 20 triliun).
Di bidang kesehatan, pemerintah menganggarkan Rp 75 triliun untuk subsidi iuran penyesuaian tarif pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja (Rp 3 triliun), insentif tenaga medis pusat dan daerah (Rp 5,9 triliun), santunan kematian untuk tenaga kesehatan (Rp 0,3 triliun), serta belanja penanganan kesehatan (Rp 65,8 triliun) (Kompas, 21 April 2020).
Sementara itu, untuk mengatasi persoalan pekerjaan, pemerintah meluncurkan program Kartu Prakerja. Program ini berwujud bantuan biaya pelatihan bagi masyarakat Indonesia untuk meningkatkan keterampilan. Kartu Prakerja diperuntukkan bagi warga berusia 18 tahun ke atas dan diprioritaskan bagi pencari kerja dan juga bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terdampak wabah Covid-19.
Meski sejumlah upaya telah dilakukan pemerintah, masyarakat masih khawatir wabah ini berdampak pada kualitas pelayanan publik. Di tengah pandemi Covid-19, optimalisasi pelayanan publik via daring menjadi salah satu alternatif yang dapat dilaksanakan meski dari sisi penyelenggara layanan hal ini masih menjadi tantangan.
Harus diakui pandemi Covid-19 ini menjadi ujian bagi penyelenggara layanan publik. Warga berharap pandemi ini tidak berdampak besar pada kualitas pelayanan meskipun secara teknis di lapangan akan terjadi penyesuaian akibat penerapan protokol kesehatan.