Lonjakan Mobilitas Warga di Masa Transisi
Masa transisi menjadi fase baru bagi warga Jakarta kembali ke rutinitas sehari-hari. Di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai ini, kebiasaan baru warga pun muncul.
Masa transisi menjadi fase baru bagi warga Jakarta kembali ke rutinitas sehari-hari. Di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai ini, kebiasaan baru warga pun muncul. Salah satunya dalam memilih sarana transportasi yang dianggap aman untuk mobilitas.
Sebagai pionir pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB, aktivitas warga di DKI Jakarta sudah terhenti lebih lama dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. PSBB di provinsi ini telah berlangsung hampir dua bulan, yaitu sejak 10 April 2020.
Masa pembatasan sosial ini bahkan lebih panjang apabila dihitung semenjak sekolah dan kantor ditutup untuk sementara waktu. Diketahui, kegiatan belajar di rumah bagi pelajar di DKI Jakarta sudah berlangsung sejak tanggal 16 Maret 2020. Sementara imbauan bagi perusahaan agar pekerjanya dapat bekerja dari rumah atau work from home (WFH) dimulai pada 20 Maret 2020.
Pergerakan warga justru terpantau meningkat di area permukiman.
Sejak saat itu, kegiatan belajar siswa di sekolah dan kegiatan pekerja di banyak kantor dihentikan. Mengacu data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), tahun ajaran 2019/2020 ini terdapat 1,6 juta pelajar dari jenjang SD hingga SMA/SMK di Ibu Kota. Sementara hingga 3 Juni 2020, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DKI Jakarta mencatat ada 1,07 juta pekerja dari 4.074 perusahaan yang telah menjalani WFH.
Kebijakan ini pun berhasil mengubah pola mobilitas warga. Hal ini tergambar dari Laporan Tinjauan Big Data terhadap Dampak Covid-19 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) awal Juni 2020. Pergerakan warga justru terpantau meningkat di area permukiman. Sepanjang Maret 2020, mobilitas warga di sekitar area itu naik 8 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya dan menjadi 34 persen pada April 2020.
Baca juga : Kedisiplinan pada Protokol Kesehatan di Masa Transisi Jangan Sampai Kendur
Sementara itu, mobilitas warga di tempat kerja pada Maret 2020 justru berkurang 15 persen dan bahkan kembali turun hingga 73 persen pada April 2020. Sama halnya dengan tren penggunaan transportasi umum. Mobilitas di tempat transit, seperti halte dan stasiun, pada Maret 2020 berkurang 27 persen dan kian merosot menjadi 79 persen pada April 2020.
Masa transisi
Di tengah pro dan kontra, beberapa daerah di Indonesia akan segera melonggarkan PSBB dan memberlakukan protokol normal baru. Selain DKI Jakarta, terdapat tiga provinsi lain yang juga akan menerapkannya, yaitu Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Gorontalo. Kebijakan serupa juga akan diterapkan di 25 kabupaten/kota di Indonesia.
Status PSBB di Jakarta sendiri kembali diperpanjang pada 5 Juni 2020 dengan menetapkan bulan Juni sebagai masa transisi tahap pertama. Berdasarkan paparan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, selama masa transisi ini, kegiatan sosial ekonomi dapat kembali dilakukan secara bertahap. Meski demikian, sejumlah protokol dan sanksi pelanggaran masih terus berlaku.
Protokol itu diatur dalam lima bidang aktivitas, yaitu protokol di rumah, protokol pendidikan, protokol aktivitas sosial ekonomi, protokol di tempat kerja, dan protokol pergerakan penduduk. Setiap protokol ini diterapkan untuk terus menekan laju penambahan kasus harian Covid-19, khususnya di DKI Jakarta.
Baca juga: Jangan Lengah, Virus Bisa Menular di ”Lampu Merah”
Melalui pemberlakuan protokol ini, kebiasaan baru warga terbentuk. Satu di antaranya adalah kebiasaan dalam memilih moda transportasi untuk mobilitas. Pada 2019, BPS mencatat 11,1 persen dari total 29,3 juta penduduk lima tahun ke atas di Jabodetabek merupakan komuter. DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi menjadi magnet pergerakan warga di wilayah itu.
Memasuki masa transisi, mobilitas warga secara perlahan kembali merangkak naik. Terpantau dari peningkatan tingkat kemacetan yang disajikan di laman Tomtom.com, seperti kemacetan di Jakarta pada Jumat, 29 Mei 2020, yang rata-ratanya masih sebesar 2,5 persen. Namun, seminggu kemudian di hari yang sama naik menjadi 10,2 persen.
Antara tanggal 2-5 Juni 2020, dalam sehari terjadi dua kurva tingkat kemacetan. Jumat, 5 Juni 2020, contohnya, pertama terjadi pukul 08.00-09.00 WIB sebesar 12 persen. Kedua pukul 18.00 WIB 40 persen. Pola ini mirip dengan rata-rata tingkat kemacetan di hari yang sama di tahun 2019. Puncak kemacetan yang menandakan waktu berangkat dan pulang kerja warga DKI Jakarta.
Baca juga : Masa Transisi, Tetap Waspada Saat ke Kantor
Kemacetan ini ditemukan di sejumlah titik jalan (Kompas.com, 6 Juni 2020), seperti di Jalan Gatot Subroto, Jaksel; Jalan Cikini Raya, dan Jalan Dewi Sartika yang terpantau padat merayap pada Jumat sore itu. Dari akun Instagram @jktinfo, hal serupa juga terjadi pada Senin pagi, 8 Juni 2020, di Jalan Metro Pondok Indah, Jalan Lenteng Agung, hingga Jalan DI Panjaitan.
Selain kemacetan di jalanan Ibu Kota, geliat mobilitas warga juga terlihat dari tren penggunaan transportasi umum. Jika kemacetan pada Jumat, 5 Juni 2020, meningkat 7,7 persen dibandingkan dengan minggu sebelumnya, pengguna transportasi publik juga naik meski hanya 3,4 persen. Data ini tersaji di laman Moovitapp.com berjudul ”Impact of Covid-19 on Public Transit Usage”.
Tidak hanya hari Jumat, selama seminggu itu kenaikan kemacetan juga cenderung lebih tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa antusiasme warga menggunakan kendaraan pribadi cukup besar memasuki masa transisi ini.
Tidak salah jika penggunaan kendaraan pribadi menjadi pilihan banyak warga.
Padahal, sejumlah moda transportasi umum masih disediakan pemerintah meski dengan beberapa protokol kesehatan, baik di tempat transit maupun di dalam armada.
Menengok proses penularan Covid-19 melalui kontak fisik dengan orang lain di ruang publik, tidak salah jika penggunaan kendaraan pribadi menjadi pilihan banyak warga. Hal ini tertuang dalam jurnal The Effect of Covid-19 and Subsequent Social on Travel Behavior (De Vos, 2020). Opsi itu akan lebih dipilih warga jika mereka memiliki akses kendaraan pribadi, baik mobil maupun motor.
Kondisi ini juga didukung oleh data yang menunjukkan jumlah kendaraan di Jakarta tercatat lebih banyak dari total jumlah penduduknya. Data BPS tahun 2015 menunjukkan jumlah kendaraan roda dua di DKI sebanyak 13,9 juta dan jumlah kendaraan roda empat sebanyak 3,5 juta. Total keduanya 17,4 unit kendaraan, jelas lebih banyak dibandingkan dengan total penduduk DKI Jakarta yang 10,1 juta jiwa waktu itu.
Sementara bagi mereka yang bertempat tinggal jauh dari lokasi aktivitas sehari-hari, transportasi umum tetap menjadi andalan. Diketahui, dari total 3,2 juta komuter di Jabodetabek tahun 2019, sebanyak 21 persen di antaranya harus menempuh lebih dari 30 kilometer (km) sekali jalan. Tidak semua komuter dapat menempuhnya dengan kendaraan pribadi terutama sepeda motor.
Baca juga: Pemeriksaan SIKM di Lima Titik di Kota Tangerang Selatan
Antisipasi pemerintah
Mobilitas warga sangat berkorelasi dengan penambahan kasus Covid-19. Sebuah studi berjudul ”The Effect of Human Mobility and Control Measures on The Covid-19 Epidemic in China” (UG Kraemer dkk, 2020) menunjukkan hal itu. Setelah kota Wuhan menerapkan lockdown pada 23 Januari 2020, nilai korelasi (R²) antara penambahan kasus harian dan mobilitas warga berangsur turun.
Artinya pembatasan perjalanan warga mungkin telah mengurangi kasus penularan Covid-19 dari Wuhan ke daerah sekitarnya. Sementara penyebab transmisi lokal yang masih terjadi disebabkan faktor lain, seperti respons layanan kesehatan setempat dan kesadaran warga akan pentingnya protokol kesehatan, seperti mengenakan masker, jaga jarak sosial, dan menjaga higienitas.
Sementara itu, pemberlakuan PSBB di DKI Jakarta juga berhasil menekan penambahan kasus. Setelah 10 April 2020, penambahan kasus dari rata-rata 14 hari ke belakang selalu sekitar 100 kasus baru per hari. Kondisi ini berbeda dengan penambahan kasus di luar Jakarta dan nasional. Dari hari ke hari, keduanya justru menunjukkan kurva peningkatan jumlah kasus yang cukup tajam.
Berdasarkan data di laman Corona.jakarta.go.id, kasus akumulasi di DKI Jakarta hingga Minggu, 7 Juni 2020, sebanyak 7.946 kasus. Jumlah ini setara dengan 25,5 persen dari total kasus di seluruh Indonesia yang mencapai 31.186 kasus. Dibandingkan dengan satu bulan yang lalu pada 7 Mei 2020, angka ini meningkat relatif kecil, yaitu 66,4 persen, sementara secara nasional mencapai 144,1 persen.
Berbagai antisipasi telah dibuat Pemprov DKI Jakarta untuk menekan penambahan kasus di tengah melonjaknya mobilitas warga selama masa transisi ini. Protokol itu diatur pada sembilan jenis sarana transportasi, baik milik pribadi maupun umum; di antaranya mobil penumpang perseorangan, bus Transjakarta, bus reguler, taksi, kapal penyeberangan, MRT, LRT, angkutan barang, dan sepeda motor.
Protokol yang diberlakukan mayoritas terkait pengurangan isi penumpang maksimal hanya 50 persen dari kapasitas yang ada. Contohnya, bus gandeng Transjakarta yang dianjurkan hanya dapat diisi 60 orang dari kapasitas bus yang dapat mencapai 120 penumpang baik duduk maupun berdiri.
Pengurangan kapasitas penumpang di masa transisi tahap pertama ini masih dapat diakomodasi. Mengingat kegiatan sosial ekonomi yang mulai dibuka baru boleh melibatkan 50 persen dari total pekerja di setiap tempat kerja.
Namun, penumpukan penumpang di tempat transit, seperti halte dan stasiun, sudah tentu akan terjadi. Terlebih lagi ada protokol jarak sosial yang menyebabkan antrean semakin panjang. Kemacetan di sejumlah ruas jalan Ibu Kota juga pasti akan terjadi.
Berbagai kondisi itu membuat masa transisi ini bagi Pemprov DKI dapat menjadi fase uji seberapa ampuh protokol yang telah diberlakukan dapat tetap menekan penambahan kasus baru. Sementara bagi warga, masa ini menjadi fase untuk menguji kepatuhan mereka terhadap sejumlah protokol yang telah diatur pemerintah.
(Litbang Kompas)