Tantangan Normal Baru pada Perubahan Lingkungan
Pandemi Covid-19 dengan segala dampak yang diakibatkannya membawa konsekuensi pada perbaikan sekaligus persoalan lain pada kondisi lingkungan.
Saat masyarakat diharuskan untuk tetap tinggal di rumah akibat Covid-19, emisi karbon menunjukkan penurunan. Namun, sejumlah persoalan lingkungan muncul sesudah pembatasan sosial berskala besar.
Setelah menerapkan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB, di bulan April langit Jakarta digambarkan di beberapa media tampak biru. Tidak tampak kabut polusi seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Beberapa foto yang diambil dari atas gedung bertingkat dengan jelas memperlihatkan deretan gedung bertingkat yang bisa disaksikan utuh, bahkan bisa melihat Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrango yang terlihat bersebelahan.
Gambaran langit biru Jakarta menjadi indikator jika kualitas udara Jakarta setelah penerapan masa PSBB terus membaik. Data Dinas Lingkungan Hidup Jakarta membuktikannya. Sebagai contoh, selama PSBB minggu ke-6 (18-24 Mei 2020), konsentrasi maksimum PM 2,5 yang terpantau dari Stasiun Bundaran Hotel Indonesia menurun 27,9 persen. Minggu berikutnya menurun 31,02 persen dan menjelang akhir PSBB (1-4 juni), menurun 24,9 persen.
Kondisi yang sama juga terjadi di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur, yang konsentrasi PM 2,5 nya mencapai 98,7 µg/m3. Minggu ke-6 PSBB menurun 21,3 persen dan minggu ke-8 menurun lagi hingga 38,86 persen.
Baca juga: Kualitas Udara Jakarta Membaik Selama Pembatasan Sosial
Kondisi ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Publikasi BPS ”Tinjauan Big Data terhadap Dampak Covid-19” mencatat, ada perubahan kualitas udara selama Januari-April di kawasan Bogor, Surabaya, Bekasi, Semarang, dan Depok. Peningkatan tertinggi terjadi di kawasan Bogor hingga 44,9 persen. Kemudian disusul oleh kawasan Surabaya sebesar 39,2 persen.
Penurunan konsentrasi zat pencemar tersebut sedikit banyak berpengaruh pada penurunan gas rumah kaca. Mengutip dari Kompas, 27 Mei 2020, dari tanggal 1 Februari hingga 4 Mei, laju penurunan gas rumah kaca mencapai 0,2287 ppm/hari.
Catatan penurunan emisi gas karbon dioksida (CO2) juga terjadi di China. Negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia tersebut emisi CO2 nya turun hingga 25 persen selama Februari 2020 atau setara penyusutan 200 juta ton CO2 dibandingkan 2019 (Bappenas, 2020).
Penurunan gas rumah kaca juga dilaporkan menurun di kawasan Washington DC, Amerika Serikat, yang dikutip dari ”Dampak Covid-19 pada Udara dan Laut”. Hasil pengukuran Department Atmospheric and Oceanic Science University of Maryland tersebut, karbon monoksida, aeorosol, dan gas rumah kaca menurun hingga 30 persen.
Beberapa laporan dari beberapa kawasan tersebut menunjukkan hasil yang menggembirakan. Bahkan, studi terbaru menunjukkan, pandemi Covid-19 telah memangkas lebih dari 8 persen emisi karbon global. Angka ini merupakan penurunan tertinggi sejak Perang Dunia II. Penyusutan emisi ini dihitung berdasarkan pengamatan berbasis satelit dan data lalu lintas yang dikumpulkan dari sistem navigasi kendaraan di sejumlah negara.
Baca juga: Kualitas Udara Selama Masa Pandemi Covid-19
Sampah plastik dan medis
Namun, jangan terlena dengan prestasi baik peningkatan kualitas udara tersebut. Meski mayoritas masyarakat tinggal di rumah, justru meningkatkan pemakaian sumber daya. Contohnya air, yang diikuti dengan dampak ikutan sisa hasil kegiatan manusia, yakni sampah.
Di atas kertas, volume sampah berkurang karena aktivitas perkantoran, sekolah dan komersial berhenti. Hitungan Kompas volume sampah di Jakarta menurun 8.145,84 ton dengan berhentinya aktivitas 1,06 juta karyawan dari perusahaan dan 2,6 juta pelajar dari sekolah.
Volume sampah yang masuk ke TPST Bantargebang juga menurun. Data Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, pada Januari ada 305.339 ton total sampah yang sampai ke TPST milik Jakarta tersebut. Setelah PSBB diberlakukan, pada Mei, tersisa 189.979 ton sampah.
Meski volume sampah menurun, terjadi perubahan komposisi sampah. Menurut Andoro Warih, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, dikutip dari akun Instagram @dinaslhdki, sampah plastik meningkat tajam saat pandemi. Angka peningkatannya belum dihitung. Namun, dari peningkatan aktivitas belanja daring yang dilakukan masyarakat saat ”tinggal di rumah saja”, ada indikasi peningkatan produksi sampah plastik.
Baca juga: Adaptasi Warga Kota Pasca-Covid-19
Survei LIPI dalam periode 20 April hingga 5 Mei, terjadi peningkatan belanja secara dalam jaringan (online) dari 1-5 kali per bulan menjadi 1-10 kali per bulan selama masa PSBB. Belanja online berbentuk paket meningkat hingga 62 persen. Adapun layanan antar makanan/minuman siap saji juga naik 47 persen.
Survei yang dilaksanakan di Jabodetabek tersebut juga menunjukkan 96 persen paket belanja online dibungkus dengan bahan plastik. Bahan plastik yang paling banyak dipakai yakni selotip, bungkus plastik, bubble wrap, cling wrap, tali plastik, dan cable tie.
Apalagi ada kekhawatiran dari 60 persen responden survei LIPI bahwa penggunaan pembungkus plastik tidak mengurangi risiko terpapar virus korona. Kekhawatiran tersebut tidak berlebihan. Menurut penelitian Van doramalen (2020), virus korona bisa bertahan di permukaan plastik selama tiga hari.
Hingga akhirnya, responden yang memilih sampah plastik dibuang tanpa diolah meningkat sekitar 45 persen masa PSBB. Padahal, sebelum pandemi, 33 persen masih berusaha untuk mendaur ulang dan 51 persen memanfaatkannya kembali.
Jika sebelumnya komposisi sampah plastik Jakarta, menurut catatan Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, hanya 14 persn, bisa saja sekarang proporsinya bertambah. Isu meningkatnya sampah plastik ini juga diungkapkan oleh Bappenas dalam paparan ”Agenda Penanganan Perubahan Iklim Nasional: Sebelum, Setelah Pandemi Covid-19, serta Era New Normal” sebagai salah satu dampak pandemi Covid-19.
Selain itu, peningkatan limbah medis dari pencegahan dan pengobatan Covid-19. Limbah medis di antaranya masker sekali pakai, tisu, jarum suntik, hazmat petugas kesehatan, dan sarung tangan. Merujuk laman Antaranews April lalu, studi kasus di China dampak virus korona menyebabkan penambahan limbah medis dari 4.902,8 ton per hari menjadi 6.066 ton per hari. Setiap pasien bisa menyumbangkan 14,3 kilogram limbah medis per hari saat wabah.
Bagaimana dengan Indonesia? Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia dikutip dari laman Antaranews telah menghitung, akan ada penambahan hingga 8.580 ton per hari limbah medis, yang termasuk limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Angka tersebut dari asumsi, akan ada 600.000 pasien yang rata-rata menyumbang 14,3 kilogram limbah medis per hari.
Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan ”Pedoman Pengelolaan Limbah Fasilitas Kesehatan yang Menangani Pasien Covid-19”. Air limbah kasus Covid-19, termasuk tinja, harus diolah dalam IPAL sebelum dibuang ke badan air. Begitu juga dengan limbah padat domestik, seperti sisa makanan, kardus, kertas, masker sekali pakai, tisu yang mengandung droplet, serta alat pelindung diri petugas kesehatan yang harus dibuang ke tempat penyimpanan sementara limbah B3 dengan perlakuan seperti B3 infeksius atau dimasukkan dalam insenerator.
Namun, limbah masker medis dari masyarakat yang membahayakan bagi pemulung atau petugas dinas kebersihan. Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meminta agar masker medis yang digunakan masyarakat dibersihkan dulu cairan disinfektan sebelum dikumpulkan dalam tempat khusus dan diberi label limbah infeksius. Atau langkah lain, masker disobek supaya tidak dipergunakan kembali.
Kebutuhan Air
Salah satu upaya pencegahan penularan virus adalah dengan kebiasaan rutin mencuci tangan. Setiap orang disarankan untuk sesering mungkin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama 20 detik. Hal ini berarti air yang dibutuhkan per orang per hari akan meningkat dari standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Menurut Kementerian PUPR, konsumsi air minum tiap orang berbeda-beda tergantung dari kategori kota. Untuk kota metropolitan, konsumsi air bersih lebih dari 210 liter/orang/hari dan kota besar: 150-210 liter/orang/hari. Adapun 120-150 liter/orang/hari untuk kota sedang, 90-100 liter/orang/hari untuk kota kecil, dan 60-100 liter/orang/hari untuk desa.
Baca juga: Kebutuhan Air Bersih Mendesak Dipenuhi
Dalam sehari, menurut laman pencegahan dan pengendalian penyakit di AS, cdc.gov, ada 10 kali orang harus mencuci tangan supaya terhindar dari infeksi. Jika diasumsikan air yang dibutuhkan untuk mencuci tangan 0,6 liter, berarti satu orang membutuhkan tambahan konsumsi 6 liter air. Namun, angka 10 tersebut baru minimal dan bisa dilakukan lebih oleh setiap orang di masa pandemi ini. Belum lagi jika dalam satu hari, frekuensi mandi bertambah untuk menghindari terpapar virus.
Tambahan konsumsi air per orang ini di sisi lain berpotensi membuat air terbuang percuma. Pemerintah hendaknya tak hanya memberikan sosialisasi bagaimana mencuci tangan yang baik tetapi juga tips untuk menghemat air saat mencuci tangan.
Saran untuk menghemat air yakni jangan terlalu lama menghidupkan keran air saat mencuci tangan. Misal, air bisa dimatikan saat sedang menggosok sabun dan baru dinyalakan saat membilas. Atau air bekas cuci tangan bisa dimanfaatkan kembali untuk menyiram tanaman.
Alasannya, tidak semua daerah di Indonesia mendapatkan kemudahan akses air bersih. Data Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan (BPS,2018), masih ada 18,5 persen rumah tangga di wilayah perkotaan dan 35,2 di perdesaan yang belum memiliki akses terhadap air minum layak. Provinsi Bengkulu, Lampung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, dan Papua, wilayah dengan persentase terendah rumah tangga yang memiliki akses air minum layak.
Baca juga: Lingkungan Berubah, Air Bersih Makin Susah
Tantangan Normal Baru
Namun, prestasi penurunan emisi karbon masa pembatasan sosial justru mendapat tantangan baru saat normal baru. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan penggunaan transportasi publik akan menurun setelah diberlakukanya normal baru.
Hal tersebut didasari oleh protokol normal baru bagi perkantoran dan industri dalam mengadapi pandemi Covid-19. Aturan Kemenkes tersebut menyarankan masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan angkutan umum. Alasannya untuk menghindari paparan virus korona di dalam moda umum yang cenderung penuh orang.
Selain itu, menurut survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 (BPS, 2020), 83 persen masyarakat juga menghindari penggunaan transportasi umum, termasuk transportasi daring di masa pandemi ini. Hanya 12,7 persen yang masih menggunakan moda umum.
Penggunaan kendaraan pribadi justru akan meningkat. Padahal, dalam konsep pembangunan Build Back Better diarahkan pada pengembangan angkutan umum berbasis listrik. Konsep pembangunan ”Membangun Kembali Lebih Baik” tersebut, menurut Bappenas, bertujuan untuk menghindari terjadinya kondisi kerentanan semula (yang lama) dan menjadikan proses pemulihan sebagai transformasi menuju arah yang lebih baik mencakup transformasi sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Untuk itu, diperlukan kebijakan lain untuk menarik kembali minat masyarakat menggunakan moda umum. Bappenas merekomendasikan lima hal. Kelima hal ini mencakup disiplin menjaga jarak saat mengantre, informasi digital, pembayaran nontunai, serta tiketing tanpa bersentuhan dengan petugas. Namun, itu belumlah cukup. Diperlukan kebijakan lain, yakni pengaturan jam kerja, supaya tidak ada lagi penumpang berdesakan di angkutan umum.
Ketidakpercayaan menggunakan angkutan umum di masa normal baru ini menjadi tantangan untuk menurunkan emisi karbon sebagai pencegahan perubahan iklim. Meski selama tiga bulan ini emisi karbon sudah turun 8 persen, itu belumlah cukup untuk mengobati perubahan iklim yang kadung terjadi. Apalagi ditambah ancaman lain dari limbah plastik dan medis serta peningkatan penggunaan air. (LITBANG KOMPAS)