Pandemi Covid-19 menyebabkan meningkatnya jumlah pekerja anak. Peningkatan kemiskinan, perubahan sistem pembelajaran, dan risiko anak putus sekolah menjadi pemicunya.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 menyebabkan meningkatnya jumlah pekerja anak. Peningkatan kemiskinan, perubahan sistem pembelajaran, dan risiko anak putus sekolah menjadi pemicunya. Diperlukan penanganan multisektor agar anak tetap mendapatkan haknya di kala pandemi.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah mengingatkan ada ancaman berupa peningkatan jumlah pekerja anak akibat Covid-19. Hal ini terjadi karena meningkatnya kemiskinan di tengah kondisi ekonomi yang memburuk.
Jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem diperkirakan meningkat 40-60 juta orang dibandingkan dengan masa sebelum pandemi. Bahkan, jika menggunakan skenario kontraksi ekonomi global 5-20 persen, jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem berkisar 85-420 juta orang.
Akibat krisis ekonomi ini, diperkirakan terdapat 42-66 juta anak hidup dalam kemiskinan ekstrem. Jumlah tersebut memberi tambahan pada 386 juta anak yang telah berada dalam kondisi miskin ekstrem tahun 2019. Anak-anak ini rentan menjadi pekerja anak, terutama di sektor pekerjaan yang berbahaya.
Kondisi ekonomi rumah tangga yang serba kekurangan mendesak anak untuk membantu memberi tambahan pendapatan keluarga. Maka, tak jarang mereka ikut bekerja pada sektor-sektor pekerjaan yang berbahaya.
Jika kondisi sekarang semakin buruk, anak rentan putus sekolah dan bekerja. Penerapan pembelajaran secara daring turut mendorong orangtua atau anggota keluarga mengajak anak ikut bekerja.
Pekerja anak Indonesia
Peringatan dari Unicef dan ILO berlaku pula untuk Indonesia. Widjajanti Isdijoso, Direktur Penelitian dan Penjangkauan SMERU, mengatakan bahwa akan ada 11 juta anak dari rumah tangga miskin rentan yang berpotensi menjadi pekerja anak. Hal tersebut berdasarkan proyeksi kemiskinan pada 2020 yang meningkat 12,4 persen atau 33,4 juta orang.
Sebelum pandemi, berdasarkan data Susenas 2018, jumlah pekerja anak 1,71 juta orang. Sementara, menurut data Sakernas 2018, anak berusia 10-17 tahun yang bekerja meningkat dari 5,99 persen pada 2015 menjadi 7,05 persen pada 2018.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur batas usia anak yang boleh bekerja, yaitu minimal 13 tahun. Anak dalam kategori ini boleh bekerja dengan persyaratan khusus, seperti mendapat izin tertulis dari orangtua, waktu kerja maksimum tiga jam dan dilakukan pada siang hari, menerima upah, serta terjamin kesehatan dan keselamatannya. Selain itu, anak boleh bekerja dengan syarat pekerjaan termasuk dalam bagian pendidikan atau pelatihan atau pengembangan minat dan bakat anak.
Hal yang perlu menjadi perhatian khusus, dari jumlah pekerja anak itu, masih terdapat anak di bawah batas usia minimum bekerja (10-12 tahun) yang sudah bekerja. Setidaknya terdapat 2,09 persen anak dalam kategori ini telah bekerja.
Selain itu, ketika kemiskinan mengimpit dan pemenuhan pendidikan anak terhambat, persyaratan untuk mempekerjakan anak tidak akan terpenuhi. Anak bakal dengan sendirinya ikut bekerja guna membantu perekonomian keluarga.
Akibat kondisi itulah sering kali anak tidak lagi bersekolah. Sebanyak 38,97 persen anak yang bekerja tidak bersekolah lagi, bahkan 0,87 persennya tidak atau belum pernah sekolah.
Anak-anak yang bekerja sering tidak terlindungi hukum. Mereka menjadi korban eksploitasi, perdagangan anak, dan kekerasan.
Sebagian besar pekerja anak berada di wilayah Indonesia timur, kecuali Maluku Utara, Papua Barat, Maluku, dan Sulawesi Utara yang persentase pekerja anak di bawah rata-rata nasional (7,05 persen). Adapun Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Gorontalo adalah provinsi dengan pekerja anak tertinggi.
Sepuluh wilayah dengan pekerja anak tertinggi itu patut diperhatikan. Beberapa di antaranya, seperti Papua, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Bali, dan Gorontalo, memiliki angka putus sekolah tertinggi. Sangat mungkin ada korelasi antara angka putus sekolah dan pekerja anak.
Pada wilayah ini, anak-anak yang putus sekolah sangat rentan dipekerjakan. Ada 14,87 persen anak (usia 7-17 tahun) yang belum pernah/tidak sekolah atau berhenti sekolah akibat bekerja atau mencari nafkah.
Anak-anak yang putus sekolah sangat rentan dipekerjakan.
Selain itu, ditinjau dari administrasi wilayahnya, anak-anak di perdesaan berisiko menjadi pekerja lebih dini. Jumlah pekerja anak di wilayah perdesaan lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan dengan perkotaan. Sektor pekerjaan anak di perdesaan mayoritas adalah pertanian (49,84 persen), sementara di kota adalah jasa (65,25 persen).
Jika ditinjau dari sisi historis, masih terdapat daerah-daerah tertentu, seperti area pertambangan dan perkebunan, yang sudah membiasakan anak-anak untuk ikut bekerja. Di sektor perkebunan kelapa sawit dan tembakau, misalnya, anak-anak terbiasa ikut bekerja.
Di Deli Serdang, Sumatera Utara, dan Jember, Jawa Timur, fenomena pekerja anak di perkebunan tembakau sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda. Biasanya mereka bekerja untuk membantu orangtua yang merupakan buruh perkebunan. Hal ini sering dilakukan saat musim panen.
Meskipun perusahaan perkebunan telah melarang anak untuk ikut bekerja, orangtua sering membawa mereka ke perkebunan karena tidak ada penjaga di rumah. Hal ini membuat anak-anak terbiasa ikut bekerja di perkebunan.
Di NTT, dapat ditemukan anak yang berjualan di pinggir jalan raya, termasuk saat malam hari. Mereka berjualan sirih pinang, sayuran, dan ikan. Ada pula yang bekerja di ladang padi dan perkebunan sawit seharian.
Hal berbeda ditemui di Jakarta. Kebanyakan anak mencari uang dengan cara mengamen atau dengan mengecatkan lapisan berwarna perak di tubuh mereka sambil meminta uang.
Sebagian besar studi tentang pekerja anak memberikan gambaran bahwa mereka lebih banyak menerima dampak negatif. Bagaimanapun pemerintah telah berupaya untuk mengurangi dan melindungi pekerja anak. Selain melalui peraturan perundang-undangan, pemerintah mengembangkan Peta Jalan Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022 dan Pengurangan Pekerja Anak untuk Mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH).
Hingga 2018, sebanyak 134.456 anak telah ditarik dari jenis pekerjaan buruk. Pada 2020, Kementerian Ketenagakerjaan menargetkan 9.000 pekerja anak ditarik. (LITBANG KOMPAS)