Narasi kampanye dalam Pilkada Pesisir Selatan sangat menentukan raihan suara di tengah karakteristik pemilihnya yang terbuka dan tidak adanya dominasi partai ataupun figur.
Oleh
Dedy Afrianto
·5 menit baca
Satu ciri khas utama dari peta politik di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, adalah corak koalisi berimbang pada hampir setiap gelaran pemilihan kepala daerah. Narasi saat kampanye akan sangat menentukan raihan suara di tengah karakteristik pemilih yang terbuka dan tidak adanya dominasi partai ataupun figur.
Kabupaten Pesisir Selatan sempat menjadi sorotan setelah Faldo Maldini, mantan Wakil Sekretaris Jenderal PAN dan Ketua DPW PSI Sumbar, berniat untuk maju sebagai calon bupati di wilayah itu pada akhir 2019. Keinginan Faldo menambah hangat bursa pencalonan bupati dan wakil bupati saat belum terbentuknya poros dukungan partai politik yang tegas untuk menghadapi Pilkada 2020.
Keinginan untuk mengabdi di Pesisir Selatan diutarakan setelah gagalnya Faldo maju dalam pemilihan gubernur Sumatera Barat karena tidak memenuhi batas usia minimal (30 tahun). Usia Faldo kurang satu hari dari tanggal penetapan calon gubernur pada 8 Juli 2020. Setelah itu, Faldo berupaya menjaring dukungan untuk bersiap mencalonkan diri sebagai bakal calon bupati Pesisir Selatan.
Namun, hingga batas akhir pendaftaran, hanya ada tiga pasangan calon yang mendaftar sebagai bakal calon bupati dan wakil bupati Pesisir Selatan. Sementara Faldo memutuskan untuk kembali berusaha meraih dukungan demi maju sebagai calon gubernur Sumbar setelah tahapan pilkada ditunda sehingga tidak lagi terganjal faktor usia.
Batalnya Faldo berkompetisi sebagai calon bupati di Pesisir Selatan sekaligus menggugurkan perkiraan hadirnya sosok baru dalam kancah politik lokal di wilayah itu. Pasalnya, ketiga tokoh yang ditetapkan oleh KPU sebagai calon bupati adalah sosok lama dalam percaturan politik di Pesisir Selatan.
Pasangan pertama adalah sosok yang jamak dikenal oleh masyarakat Pesisir Selatan, yakni Hendrajoni-Hamdanus. Hendrajoni merupakan petahana yang telah menjabat sebagai bupati sejak 2016. Status petahana memberikan modal sosial yang cukup besar untuk mendulang suara pada pemilihan kepala daerah tahun ini.
Modal sosial ini diperkuat oleh dukungan dari sosok Hamdamus yang merupakan anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat. Pada pemilihan anggota legislatif 2019, Hamdamus merupakan salah satu calon anggota legislatif dari Daerah Pemilihan VIII (Pesisir Selatan-Mentawai) yang berhasil terpilih sebagai anggota DPRD tingkat provinsi. Artinya, kedua pasangan ini telah memiliki modal elektoral yang cukup kuat dalam mengarungi kontestasi.
Modal serupa dimiliki oleh pasangan Rusma Yul Anwar-Rudi Hariyansyah. Rusma Yul Anwar merupakan petahana yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Bupati Pesisir Selatan 2016-2021. Hadirnya dua sosok petahana dalam kutub yang berbeda menegaskan bahwa pilkada di Pesisir Selatan akan berlangsung cukup sengit karena kedua calon telah memiliki modal sosial yang cukup kuat.
Rusma Yul Anwar didampingi oleh Rudi Hariyansyah yang merupakan sosok baru dalam kancah politik di Pesisir Selatan. Sebelumnya, Rudi meniti karier di salah satu perusahaan BUMN yang bergerak pada bidang farmasi.
Sosok berpengalaman lainnya dalam kancah politik Pesisir Selatan yang turut mencalonkan diri sebagai bupati adalah Dedi Rahmanto Putra. Pada 2016 hingga 2019, Dedi menjabat sebagai Ketua DPRD Pesisir Selatan. Ia kembali melenggang sebagai anggota DPRD dengan raihan suara tertinggi pada Pileg 2019. Dedi berpasangan dengan salah seorang pengusaha, Arfianof Rajab.
Kehadiran ketiga pasangan calon menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah di wilayah ini tak pernah sepi dari partisipasi putra daerah setempat. Sejak Pilkada 2005, wilayah Pesisir Selatan memang kerap menjadi magnet bagi putra daerah yang berada di wilayah itu ataupun daerah rantau untuk ikut berkompetisi menuju kursi bupati dan wakil bupati. Bahkan, selalu ada lebih dari dua pasangan calon pada setiap penyelenggaraan pilkada langsung di wilayah ini.
Hal yang menjadi ciri khas dari kontestasi di Pesisir Selatan adalah tidak pernah ada satu pun kekuatan mayoritas, baik dari sisi partai maupun ketokohan. Kondisi ini cukup berbeda dari wilayah lain di Sumatera Barat yang jamak memiliki figur yang kuat atau partai yang mendominasi di suatu wilayah.
Dari sisi partai politik, dalam penyelenggaraan tiga pemilihan legislatif sebelumnya, terdapat beberapa partai berbeda yang berhasil meraih kursi terbanyak. Namun, partai-partai ini juga tidak begitu mendominasi karena raihan kursi yang tersebar cukup merata pada partai besar lainnya. Bahkan, pada 2019, terdapat lima partai dengan raihan kursi terbanyak dalam jumlah yang sama, yakni Gerindra, Nasdem, PKS, PAN, dan Demokrat. Setiap partai meraih lima kursi dari total 45 kursi yang diperebutkan.
Kondisi serupa tergambar dalam poros koalisi pada Pilkada 2020. Tak ada konsentrasi dukungan pada salah satu pasangan calon. Rata-rata setiap calon memperoleh dukungan partai sekitar sepertiga dari total kursi di DPRD. Baik calon petahana maupun nonpetahana memperoleh dukungan yang berimbang dari setiap partai politik.
Kondisi hampir serupa terlihat pada Pilkada 2015. Empat pasangan calon saat itu memperoleh dukungan hampir merata berdasarkan komposisi kursi di DPRD. Tidak ada penumpukan dukungan partai dalam skala besar pada salah satu pasangan calon, termasuk petahana.
Kondisi ini tentu menambah sengit persaingan. Apalagi, jejak kontestasi di Pesisir Selatan selalu mencatatkan tidak adanya tokoh yang begitu kuat untuk mendominasi raihan suara. Dalam setiap pilkada, raihan suara selalu tersebar pada setiap pasangan calon.
Hal ini salah satunya terlihat dalam Pilkada 2010. Nasrul Abit, sosok petahana yang disebut memiliki banyak basis massa, harus bersaing ketat untuk memenangi persaingan dengan kontestan lain. Meski berhasil menang, status petahana hanya mampu membawa Nasrul Abit meraih 33,41 persen suara.
Kondisi serupa terjadi pada tahun 2015. Petahana Editiawarman yang berpasangan dengan Bakri Bakar hanya meraup 30,39 suara. Sementara penguasaan suara dari pemenang pilkada, Hendrajoni-Rusma Yul Anwar, juga berada di bawah separuh dari total pemilih (46,68 persen).
Kondisi ini mengisyaratkan bahwa Pesisir Selatan memiliki karakteristik pemilih yang terbuka. Tidak ada jaminan bagi petahana untuk dapat terpilih dengan mudah. Ini dibuktikan pada 2015 saat sosok pendatang baru dalam kancah politik lokal, Hendrajoni, berhasil mengalahkan calon petahana.
Sementara bagi penantang petahana, jalan yang cukup berat juga harus dilalui untuk menandingi modal sosial dan popularitas yang telah dimiliki oleh kedua calon petahana saat ini.
Dengan poros kekuatan berimbang dan adanya indikasi karakteristik pemilih yang terbuka, maka narasi saat kampanye akan sangat menentukan raihan suara setiap pasangan calon. Edukasi kepada masyarakat tentang program baru yang ditawarkan menjadi jalan pembuka untuk meraih simpati pemilih di tengah ketatnya persaingan. (LITBANG KOMPAS)