Survei ”Kompas”: Beras dan Mi Instan Membelenggu Keberlangsungan Pangan Papua
Sebagian masyarakat asli Papua telah kehilangan kebiasaan mengonsumsi pangan lokal. Nasi dan mi instan telah menggeser posisi sagu sebagai makanan pokok mereka.
Papua menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang sampai hari ini masih kesulitan memenuhi kebutuhan pangan. Kesulitan yang dihadapi tidak hanya terkait akses atau kemampuan ekonomi saja, tetapi juga pengaruh eksternal yang mengeliminasi keanekaragaman pangan lokal.
Nasi serta mi instan sudah menjadi makanan pokok pengganti sagu bagi sebagian orang asli Papua yang bermukim di Merauke. Tak jarang, nasi dan mi instan dikonsumsi tanpa menggunakan lauk pendamping untuk menyeimbangkan gizi.
Kenyataan tersebut tertangkap dari hasil survei lapangan yang dilakukan oleh Kompas pada November 2022 di beberapa desa di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Hasil riset menunjukkan bahwa saat ini nasi dan mi instan sudah menggeser sagu sebagai makanan pokok warga atau orang asli Papua (OAP).
Fenomena tersebut mengindikasikan adanya sejumlah persoalan bagi OAP dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam kehidupan sehari-hari, baik itu permasalahan secara individu ataupun persoalan yang melibatkan komunitas. Sebagian masyarakat asli Papua terkendala dalam akses perekonomian sehingga kesulitan dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, termasuk dalam mencukupi kebutuhan pangan dengan gizi berimbang.
Pergeseran konsumsi pangan tersebut terpotret dalam survei yang dilakukan tim Kompas di Kabupaten Merauke dengan meneliti empat kampung yang memiliki karakteristik tertentu. Kampung Zanegi dan Kampung Baad di Distrik Animha yang merepresentasikan permukiman masyarakat asli Papua.
Selanjutnya, Kampung Wonorejo di Distrik Kurik yang merupakan daerah bermukim masyarakat transmigran dengan kondisi demografi yang heterogen. Terakhir, Kampung Bokem di Distrik Merauke yang dihuni oleh OAP dan bercampur dengan masyarakat pendatang. OAP yang tinggal di Bokem ini datang dari berbagai wilayah di Papua, tidak hanya dari Merauke.
Secara umum, tujuan dari survei di empat kampung tersebut adalah untuk memotret kondisi terkini seputar konsumsi dan ragam makanan masyarakat Papua. Selain itu, juga meneliti tentang keadaan ekonomi serta kesehatan masyarakat setempat. Survei yang berlangsung pada 8-15 November 2022 itu melibatkan 288 responden yang berasal dari keempat kampung tersebut.
Baca Juga: Limbung Pangan di Merauke
Kampung yang dihuni oleh OAP menunjukkan hasil temuan yang cukup mengkhawatirkan. Masyarakat di Kampung Zanegi dan Kampung Baad telah kehilangan kebiasaan dalam mengonsumsi pangan lokal mereka. Ungkapan soal pangan di masa lalu yang menyebutkan ”makanan khas orang Papua adalah sagu” sudah menjadi cerita lama.
Memang benar sagu masih memainkan peran sentral dalam adat suku karena sagu wajib tersedia dalam jamuan atau ritual upacara adat. Namun, saat ini, dalam keseharian masyarakat OAP, nasi telah menggeser posisi sagu sebagai makanan pokok mereka.
Secara kesukuan, Kampung Zanegi dan Baad merupakan permukiman suku Marind-anim. Suku Marind adalah penduduk asli wilayah dataran rendah Papua bagian selatan yang salah satunya meliputi Kabupaten Merauke dan sebagian di antaranya juga tersebar hingga ke wilayah Papua Niugini.
Nasi, mi, dan sagu
Hasil survei di Kampung Zanegi mengungkapkan bahwa nasi sudah menjadi kebutuhan pokok di kampung tersebut. Tujuh dari 10 warga Zanegi mengakui mengonsumsi nasi setiap hari dalam seminggu. Sebagian responden lainnya juga makan nasi, tetapi dengan frekuensi sedikit lebih rendah, yakni enam hari (22,5 persen) serta lima hari (5 persen) dalam seminggu. Apabila diakumulasi, dapat dikatakan bahwa seluruh penduduk Zanegi makan nasi dengan beragam variasi frekuensi.
Nasi yang dikonsumsi sehari-hari oleh sebagian masyarakat Zanegi sering kali tanpa lauk pauk. Santapan berupa sepiring nasi tanpa lauk dikenal dengan sebutan nasi kosong. Dengan pola makan sedemikian rupa, sebuah keluarga beranggotakan empat sampai lima orang bisa menghabiskan 50 kilogram beras dalam waktu sebulan.
Dalam sehari, satu keluarga beranggotakan dua orang dewasa dan dua anak-anak bisa memasak kurang lebih 2 kilogram beras untuk dua kali makan. Artinya, jika dibagi rata dalam satu porsi, tersaji sekitar 200 gram nasi. Wajar, jika akhirnya akumulasi konsumsi beras masyarakat Zanegi hingga mencapai setengah kuintal per keluarga sebulan.
Alokasi belanja yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk membeli beras di Zanegi berkisar Rp 500.000-Rp 600.000 per bulan. Alokasi belanja ini berdasarkan harga beras yang bisa didapatkan di warung setempat dengan harga Rp 12.000 per kilogram.
Kondisi serupa juga ditemui di Kampung Baad. Kebiasaan masyarakat di Kedua kampung itu adalah makan nasi dengan topping mi instan. Mereka memosisikan mi instan sebagai lauk pendamping nasi. Sesekali disertai variasi dengan ditambahkan potongan sayur sawi, bayam, atau kangkung.
Baca Juga: Limbung Pangan dari Kalimantan hingga Papua
Dalam mengonsumsi mi instan, terdapat 5 dari 10 warga Zanegi dan Baad yang makan mi setiap hari. Separuh responden lainnya mengaku makan mi antara 1-6 kali dalam seminggu. Selanjutnya, khusus untuk konsumsi sagu di kedua kampung itu tergolong sangat rendah. Dalam seminggu hanya 3 dari 10 orang Zanegi yang setiap hari makan sagu. Sementara itu, penduduk Baad yang setiap hari makan sagu hanya 15 persennya saja.
Sagu yang biasanya disantap masyarakat di Zanegi dan Baad umumnya diolah dengan cara dibakar di atas wajan atau lempengan logam sehingga menjadi padat. Selanjutnya, dapat langsung disantap dengan berbagai makanan pendamping. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa sagu pun disantap bersama nasi, bahkan ada yang sekaligus bersamaan dengan mi instan.
Ekonomi dan kesehatan
Kebiasaan konsumsi tersebut salah satunya disebabkan kondisi perekonomian masyarakat setempat yang relatif masih rendah. Dari hasil survei menunjukkan bahwa 8 dari 10 responden di Kampung Zanegi berpendapatan kurang dari Rp 1 juta per bulan. Selebihnya, memiliki pendapatan keluarga sebulan pada rentang Rp 1 juta-Rp 1,9 juta.
Dari estimasi pendapatan itu, hampir sebagian besar alokasi belanjanya tertuju untuk memenuhi kebutuhan pangan. Untuk membeli beras saja sudah menghabiskan separuh dari total pendapatan sebulan. Selain untuk beli beras, pos belanja terbesar kedua adalah untuk membeli produk tembakau, seperti rokok dan lempeng. Lempeng merupakan tembakau cacah yang dijual per batang seukuran kira-kira sejengkal jari orang dewasa.
Ada pula pengeluaran yang cukup besar, yaitu untuk membeli pinang dan sirih atau biasa disebut pinang sirih. Mengunyah pinang dan sirih sudah menjadi aktivitas harian orang asli Papua, baik itu golongan muda maupun orang tua.
Deskripsi tersebut menunjukkan bahwa pendapatan warga Zanegi setiap bulannya habis untuk membeli beras dan produk tembakau. Uang sudah habis, tetapi lauk pauk untuk memenuhi gizi sehari-hari tak kunjung terbeli. Oleh sebab itu, menu nasi campur mi instan menjadi santapan sehari-hari yang terpaksa dikonsumsi dalam menyiasati hidup ini.
Pola asupan makanan seperti itu akhirnya berdampak pada kondisi kesehatan warga Zanegi, terutama kesehatan anak-anak. Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke mencatat bahwa pada 2021 terdapat 10 dari 58 anak balita yang diukur ternyata dalam kondisi stunting. Sementara itu, pada tahun ini hingga Agustus lalu ditemukan 14 dari 38 anak balita yang mengalami stunting.
Baca Juga: Marind Anim yang Dipaksa Meninggalkan Sistem Pangan Lokal
Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kasus stunting di Kampung Zanegi. Secara proporsi dari jumlah anak balita yang diukur, pada 2021 terdapat 17 persen anak balita dalam kondisi stunting dan pada 2022 ada 37 persen. Fakta ini sangat memprihatinkan karena, apabila dilacak, pangkal persoalannya bermuara pada asupan pangan sehari-hari.
Bisa dikatakan bahwa pilar pangan OAP, khususnya di Merauke, dalam kondisi rapuh. Daya beli mereka habis untuk menebus beras. Hasil tangkapan ikan atau hewan buruan pun dijual demi membeli beras. Tenaga dan uang dikerahkan semuanya hanya demi bisa menanak nasi.
Secara teknis, terpilihnya beras dan mi instan sebagai makanan yang dominan karena kepraktisannya. Sebab, proses menokok sagu mulai dari menebang batang, memeras, mengendapkan sari pati hingga bisa dimakan membutuhkan tenaga dan waktu yang begitu banyak.
Sementara itu, latar belakang budaya penduduk asli Papua tidak bercocok tanam padi. Mereka tidak dapat memproduksi sendiri bahan makanan utama yang mereka konsumsi setiap hari. Mereka harus terus-menerus membeli beras dengan segala daya ekonomi yang dimilikinya. Kondisi inilah yang bisa dikatakan terjajah oleh pangan di tengah alam subur yang memiliki berbagai variasi bahan pangan lokal. (LITBANG KOMPAS)