Menepis Politisasi SARA pada Kampanye Pemilu 2024
Indeks Kerawanan Pemilu 2024 yang dirilis Bawaslu memetakan potensi kerawanan Pemilu 2024 dari aspek munculnya politisasi SARA. Menjelang masa kampanye, semestinya isu sensitif tidak lagi menjadi komoditas politik.
Memori publik terkait isu suku, agama, ras, dan antar-golongan atau SARA kerap kali identik dengan sesuatu yang sensitif. Terlebih jika isu SARA ini dilekatkan pada kepentingan politik. Tahapan Pemilihan Umum 2024, yang segera memasuki masa kampanye pada akhir November 2023, selayaknya menjadikan isu sensitif itu tidak lagi menjadi komoditas politik.
Pesan tersebut tergambar dari upaya Badan Pengawas Pemilihan Umum saat merilis Indeks Kerawanan Pemilu pada aspek isu strategis politisasi SARA di Yogyakarta pada 10 Oktober 2023.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Rilis ini menjadi rangkaian dari kampanye Bawaslu dalam melakukan pemetaan kerawanan berdasarkan sejumlah isu, seperti politik uang, netralitas aparatur sipil negara, dan termasuk yang terkait isu politisasi SARA ini.
Dalam pernyataannya, anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, mengingatkan, politisasi SARA merupakan kerawanan yang perlu diwaspadai. Menurut dia, peristiwa serupa tidak boleh terulang kembali pada Pemilu 2024 (Kompas, 11/10/2023).
Politisasi SARA ini kerap dijadikan komoditas politik di masa kampanye pemilihan umum. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, misalnya, menyimpan rekam jejak bagaimana isu politisasi agama turut mewarnai dinamika politik elektoral dalam ajang pemilihan gubernur tersebut.
Hal ini yang kemudian dibaca Bawaslu tentang pentingnya memetakan potensi kerawanan Pemilu 2024 dari aspek munculnya politisasi SARA. Dari hasil kajian didapatkan, ada enam provinsi yang masuk kategori berpotensi memiliki kerawanan tinggi di aspek politisasi SARA. Keenam provinsi itu adalah DKI Jakarta, Maluku Utara, Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua Barat, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat.
Sementara di tingkat kabupaten/kota, ada 20 daerah yang masuk kategori tingkat kerawanan tinggi di isu politisasi SARA. Dari jumlah itu, lima daerah dengan kerawanan tertinggi adalah Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Puncak, dan Kabupaten Kepulauan Seribu.
Indeks kerawanan di isu politisasi SARA ini dibangun dari empat indikator, yakni kampanye bermuatan SARA di media sosial, kampanye bermuatan SARA di tempat umum, penolakan calon berbasis SARA, dan kekerasan berbasis SARA.
Di tingkat provinsi, aspek kampanye menjadi masa yang paling rawan terjadinya politisasi SARA. Indeks Kerawanan Pemilu 2024 di isu ini mencatat, ada tujuh provinsi yang mengalami kampanye bermuatan SARA di media sosial, bahkan jumlah yang sama juga ditemukan dalam kasus kekerasan berbasis SARA.
Sementara itu, di tingkat kabupaten/kota, kekerasan berbasis SARA justru marak terjadi dan terekam di 145 kabupaten/kota. Hal ini lebih tinggi dibandingkan dengan kasus kampanye bermuatan SARA di tempat umum ataupun di media sosial. Selain itu, ada juga indikator terkait penolakan terhadap calon karena isu SARA.
Baca juga: Mengantisipasi Kerawanan Pemilu 2024 di Luar Negeri
Aspek agama
Dari empat indikator yang dipakai dalam Indeks Kerawanan Pemilu, aspek agama menjadi isu dominan yang melatarbelakangi isu politisasi SARA. Di tingkat provinsi, misalnya, sebanyak 86 persen menunjukkan aspek agama mendominasi isu politisasi SARA pada indikator kampanye bermuatan SARA di media sosial. Angka ini relatif paling tinggi dibandingkan dengan indikator lainnya.
Sementara aspek etnis justru lebih besar di tingkat provinsi pada indikator penolakan calon yang berbasis SARA. Di indikator ini sebanyak 75 persen disumbang faktor etnis, sedangkan sisanya, 25 persen, disumbang dari isu agama. Dari empat indikator agama selalu muncul sebagai faktor yang melatarbelakangi isu politisasi SARA.
Hal yang tidak jauh berbeda juga terbaca pada kabupaten/kota. Dari empat indikator, yakni kampanye di media sosial, kampanye di tempat umum, penolakan calon, ataupun kekerasan yang semuanya terkait isu SARA, aspek agama selalu muncul sebagai faktor yang menjadi pemicunya.
Di wilayah kabupaten/kota, aspek agama yang paling besar pemicunya terlihat pada indikator kampanya di tempat umum dengan menggunakan politisasi SARA. Sebanyak 83 persen kasus yang terjadi di tempat umum tersebut disumbang oleh isu agama. Sebaliknya, pada kasus kekerasan yang berbasis SARA, sebanyak 74 persen dilatarbalakangi oleh unsur etnis.
Baik agama maupun etnis memang jadi penyulut yang mudah melahirkan ketegangan. Kedua isu itu memang sangat mudah diprovokasi karena merupakan bagian dari identitas kolektif yang mampu menggerakkan suatu kelompok untuk berhadapan dengan kelompok lain.
Menurut laporan Bawaslu, politisasi identitas kolektif ini akan lebih mudah dilakukan jika basis sosial di wilayah tersebut sudah rapuh dan memiliki sejarah konflik antar-agama atau etnis.
Baca juga: Pemilu 2024 Menjadi Ujian Netralitas ASN
Pelaku politisasi SARA
Indeks Kerawanan Pemilu 2024 terkait isu strategis politisasi SARA juga merekam siapa saja pihak yang berperan sebagai pelaku. Setidaknya ada tiga aktor kunci yang memolitisasi isu SARA dalam agenda politik. Ketiganya adalah peserta pemilu, baik itu partai maupun calon, tim kampanye, dan simpatisan.
Peserta pemilu, baik calon maupun partai politik, adalah aktor yang paling berkepentingan dengan urusan peningkatan elektoral. Berbagai cara bisa dilakukan untuk mendulang dukungan. Penggunaan politisasi SARA boleh jadi menjadi pilihan untuk meraup simpati dan dukungan pemilih.
Bagaimanapun, sebagai peserta pemilu yang berkeinginan memenangi pertarungan elektoral, mereka akan berupaya memobilisasi sumber daya untuk memastikan kemenangan.
Selain peserta pemilu, tentu tim kampanye berkonstribusi besar dalam memenangkan kandidat yang dikampanyekannya. Tim kampanye cenderung lebih terorganisasi dan memiliki sumber daya untuk memobilisasi massa dan kekuatan karena mereka adalah alat utama para kandidat peserta pemilu.
Karena itu, biasanya sumber daya terkonsentrasi di tangan tim sukses yang kemudian distribusikan kepada kelompok-kelompok simpatisan.
Terakhir, potensi pelaku isu politisasi SARA dilakukan oleh para simpatisan dan pendukung yang sebagian besar dilakukan melalui media sosial. Fanatisme kepada sosok yang didukungnya bisa menjadi landasan mereka melakukan kampanye dengan menggunakan isu SARA.
Baca juga: Melawan Politik Uang, Perkuat Pengawasan Partisipatif
Rekomendasi pencegahan
Di tengah masih rawannya politisasi SARA pada masa kampanye Pemilu 2024 yang akan digelar akhir November 2023 ini, sejumlah rekomendasi diajukan untuk menepis hal itu.
Pertama, perlu upaya bersama untuk membuat definisi dan regulasi yang jelas dan operasional mengenai politisasi SARA. Definisi ini penting guna menghindari multitafsir dan menjadi panduan yang jelas bagi peserta pemilu dan komponen pendukungnya di lapangan.
Kedua, perlu mengidentifikasi kasus-kasus politisasi SARA berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya. Dengan data yang solid, kebijakan pencegahan yang dibuat juga tepat sasaran.
Ketiga, melibatkan masyarakat untuk mengedukasi publik mengenai politisasi SARA. Keempat, membangun kerja sama para pihak untuk mencegah kasus-kasus politisasi SARA dan kelima perlunya dilakukan patroli siber secara intensif untuk mencegah politisasi SARA, terutama melalui media sosial.
Pada akhirnya, penegakan aturan yang diikuti edukasi yang terus-menerus tentang bahaya politisasi SARA menjadi kunci penting untuk menjaga kontestasi politik lebih berkualitas dan beradab. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Analisis Litbang “Kompas”: Urgensi Memetakan Kerawanan Pemilu 2024