Kasus Bunuh Diri, ”Alarm” Urgensi Mengatasi Problem Kesehatan Mental
Kesehatan mental menjadi masalah serius ketika banyak kasus bunuh diri terjadi akhir-akhir ini.
Kesehatan mental menjadi gangguan kesehatan yang paling dikhawatirkan penduduk dunia saat ini, bahkan melebihi kekhawatiran terhadap penyakit kanker yang mematikan sekalipun.
Hal ini terpotret dari survei yang dilakukan IPSOS pada 2023 di 31 negara, termasuk Indonesia. Hasilnya, sebanyak 44 persen dari 23.274 responden menyebut gangguan kesehatan yang paling memerlukan perhatian adalah kesehatan mental.
Kekhawatiran publik tersebut terpantau sejak dua tahun terakhir ketika terjadi peningkatan rasa kekhawatiran dari 26 persen pada tahun 2020 menjadi 31 persen pada tahun 2021. Jika dilihat dari awal survei IPSOS pada tahun 2018, tercatat terjadi peningkatan 17 persen rasa kekhawatiran akan problem kesehatan mental.
Bisa jadi kekhawatiran yang meningkat sejak tahun 2021 dipengaruhi pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Tak dapat dimungkiri kekhawatiran publik saat itu terhadap virus yang mematikan tersebut hingga level 70 persen.
Yang menarik, tren kekhawatiran pada problem kesehatan mental ini terus meningkat dan melebihi kekhawatiran pada penyakit degeneratif, seperti kanker, yang disebut 40 persen responden, diabetes (18 persen), dan penyakit jantung (15 persen).
Kekhawatiran terhadap penyakit degeneratif ini bahkan masih di bawah kekhawatiran terhadap masalah kesehatan yang disebabkan gaya hidup seperti obesitas (25 persen) dan penyalahgunaan narkoba (22 persen).
Problem stres yang berkaitan dengan kesehatan mental juga terpantau tinggi di urutan ketiga sebesar 30 persen dengan tren yang juga meningkat.
Sorotan dunia pada kesehatan mental cukup beralasan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2019 melaporkan, satu dari setiap delapan orang, atau 970 juta orang di seluruh dunia, hidup dengan gangguan mental, dengan gangguan kecemasan dan depresi yang paling umum.
Data tingkat depresi antarnegara tahun 2023 yang dimuat laman World Population Review menyebutkan, Ukraina berada di urutan pertama sebagai negara dengan penduduk terdepresi, sebanyak 2.800.587 kasus atau sebesar 6,3 persen dari jumlah penduduk.
Urutan kedua ditempati Amerika Serikat dengan 17.491.047 kasus (5,9 persen), disusul Australia 1.318.599 kasus (5,9 persen), dan Estonia 75.667 kasus (5,9 persen). Adapun di Indonesia ditemukan 9.162.886 kasus depresi dengan prevalensi 3,7 persen.
Data prevalensi depresi di Indonesia tersebut turut memperkuat bahwa kesehatan mental sudah menjadi problem kesehatan yang serius. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 Kementerian Kesehatan menunjukkan, satu dari sepuluh orang Indonesia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Sebanyak 6 persen tergolong depresi dan 7 dari 1.000 orang menderita skizofrenia.
Data lain menunjukkan, sebanyak 8 dari 10 warga lanjut usia (lansia) mengalami depresi tak terkontrol, 32 persen ibu mengalami depresi pascapersalinan, 25 persen mahasiswa baru mengalami kecemasan, serta 50 persen buruh pabrik di Jawa mengalami depresi ringan (Kompas.id, 15/11/2023).
Baca juga: ”Niat Mulia” yang Keliru di Balik Bunuh Diri
Picu bunuh diri
Gangguan kesehatan mental, jika tidak segera ditangani, bisa memicu tindakan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti tindakan bunuh diri.
Terbaru, kasus bunuh diri satu keluarga yang melibatkan orangtua dan dua anak remaja yang melompat dari lantai 22 sebuah apartemen di Penjaringan, Jakarta Utara, diduga akibat putus asa dalam menghadapi suatu masalah. Kriminolog menyebut kasus semacam itu dengan istilah desperate death alias kematian putus asa.
Keputusasaan yang dialami keluarga itu memicu keputusan untuk melakukan bunuh diri sebagai pilihan terakhir. Miris, karena tindakan tersebut juga menyertakan anak-anak yang mungkin tidak bisa menolak karena adanya faktor relasi kuasa dari permintaan orangtua. Motif kasus bunuh diri pada Sabtu (9/3/2024) tersebut kini masih didalami pihak kepolisian. Diduga tindakan bunuh diri dilatarbelakangi masalah ekonomi.
Insiden bunuh diri itu semakin menambah panjang deretan kasus bunuh diri lainnya. Sebelumnya, pada Desember 2023, peristiwa bunuh diri sekeluarga terjadi di Malang, Jawa Timur. Dalam insiden itu, seorang ayah mengakhiri hidupnya bersama istri dan anaknya yang masih berusia 12 tahun (Kompas, 13/12/2023).
Motif beban keuangan karena utang diduga melatarbelakangi tindakan nekat tersebut. Sementara, kasus bunuh diri akibat depresi dan kesepian yang melibatkan seorang ibu dan anak dilaporkan terjadi di wilayah Cinere, Depok, Jawa Barat, pada September 2023.
Tiga kasus bunuh diri bersama dalam keluarga menggambarkan bahwa tindakan bunuh diri rentan terjadi, bahkan dalam sejumlah kasus seluruh keluarga turut menjadi korban atas beban masalah yang sedang dihadapi.
Mengutip data Pusat Informasi Kriminal (Pusiknas) Polri, dalam rentang waktu lima bulan (Januari–Mei 2023), Polri mencatat penindakan terhadap kasus bunuh diri mencapai 451 kasus. Jika dirata-ratakan, sejak awal 2023, setidaknya tiga orang melakukan bunuh diri setiap hari. Kasus terbanyak dilaporkan terjadi pada Maret dan April, masing-masing 109 kasus.
Satuan kerja (satker) setingkat provinsi yang tercatat melakukan penindakan paling banyak ialah Polda Jawa Tengah dengan 174 kasus. Diikuti Polda Jawa Timur dengan 82 kasus dan Polda Bali 42 kasus. Dilaporkan 74 persen kasus bunuh diri tersebut terjadi di perumahan/permukiman.
Bunuh diri juga menjadi fenomena global. WHO mencatat, lebih dari 700.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahun atau setiap 40 detik terdapat satu orang meninggal karena bunuh diri.
Bunuh diri terjadi sepanjang masa hidup dan merupakan penyebab kematian keempat terbesar pada kelompok usia 15-29 tahun secara global pada tahun 2019. Bunuh diri tidak hanya terjadi di negara-negara berpendapatan tinggi. Faktanya, lebih dari 77 persen kasus bunuh diri terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Baca juga: Bunuh Diri, Fenomena Sosial yang Dapat Dicegah
Pentingnya mitigasi
Insiden bunuh diri adalah puncak persoalan kesehatan mental yang tak tertangani. Sejatinya bunuh diri bisa dicegah. Mengenali atau deteksi dini faktor risiko ide bunuh diri bisa menjadi salah satu upaya mitigasi.
Oleh karena itu, jangan meremehkan keinginan seseorang untuk melakukan bunuh diri. WHO memberi catatan, untuk setiap bunuh diri, ada lebih banyak lagi orang yang mencoba bunuh diri.
Bunuh diri memang dikaitkan dengan sejumlah gangguan mental sebagai faktor penyebab. Untuk itu, upaya pencegahan sebagai mitigasi bisa dilakukan dengan mengenali kategori gangguan kesehatan mental atau jiwa, yakni anxiety (kecemasan) yang ditandai dengan perasaan resah dan tidak tenang, depresi, dan pada tahap akhir menjadi skizofrenia.
Bunuh diri adalah masalah yang sangat kompleks. Tidak ada penyebab tunggal untuk setiap kasus. Data Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Internasional (IASP) menunjukkan, orang dengan depresi 20 kali lebih mungkin meninggal karena bunuh diri dibandingkan dengan orang lain yang tidak depresi.
Gambaran prevalensi orang dengan masalah kesehatan mental menurut provinsi berdasarkan data Riskesdas 2018 bisa menjadi acuan pemerintah daerah untuk mengambil langkah-langkah mitigasi.
Misalnya, dari laporan Riskesdas tersebut ditemukan 16 provinsi dengan prevalensi gangguan mental di atas rata-rata nasional (lebih dari 10,35 persen). Tiga tertinggi adalah Sulawesi Tengah (19,8 persen), Gorontalo (17,7 persen), dan Nusa Tenggara Timur (15,7 persen).
Ketiga provinsi tersebut juga terpotret memiliki prevalensi penduduk dengan tingkat depresi tertinggi. Secara berurutan adalah Sulawesi Tengah dengan prevalensi depresi dua kali lipat nasional (12,3 persen), Gorontalo (10,3 persen), dan Nusa Tenggara Timur (9,7 persen).
Sementara itu, Bali, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat tercatat memiliki prevalensi penduduk dengan skizofrenia tertinggi, yaitu gangguan mental yang sudah kronis atau parah.
Meski skizofrenia bisa diobati, sebelum kondisi itu terjadi, bahkan sebelum orang sampai memutuskan tindakan yang mengancam keselamatan jiwa, upaya pencegahan harus mendapat perhatian lebih serius, dengan memperhatikan tanda-tanda terjadinya gangguan mental.
Kuncinya adalah kepedulian dan membangun kesadaran bahwa masalah kesehatan mental hingga bunuh diri adalah masalah bersama yang memerlukan kolaborasi berbagai sektor di masyarakat. Kepedulian kitalah yang bisa mencegah orang lain yang ingin mengakhiri hidupnya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Deretan Kasus Bunuh Diri Sekeluarga, dari Depresi hingga Tekanan Ekonomi