Siasat Gemblung
Rupanya bukan saja namamu yang Gemblung, tapi juga siasatmu untuk membuatku gagal meraih cinta Ratminah juga tak kalah gemblung!
Mang Daspan
Tidak tahu persisnya, bagaimana bisa Baridin anak dari seorang abdi dalem bijaksana itu mau melakoni elmu milik Gemblung yang jelas-jelas dirinya sendiri tidak mampu mengikuti jejak bapaknya. Tidak tahu pula bagaimana persisnya yang akan terjadi setelah semua kuceritakan padanya. Tapi selepas itu, seketika kulihat merah padam mukanya meninggalkanku dengan kasar mengatakan: ”Gemblung!”
Baridin
Sudah semestinya dari dulu aku tidak percaya dengan omong kosongmu. Aku menyatakan ini karena dapat kulihat mukamu yang seperti babon pengin kawin itu terus-terusan memaksaku agar melakoni tirakat untuk elmu yang kamu rogoh dari lepitan peci merahmu yang sering tersengat matahari itu. Dengan penuh rayuan dan dalih nenek moyang, lipatan kertas usang yang bertuliskan Jawa kuno itu kamu sodorkan padaku.
Maaf jika hal ini aku sampaikan dengan seolah-olah menyalahkanmu. Karena pada kenyataannya, pada malam Jumat, ketika aku tengah menjadi pemuda putus asa karena telah ditolak cinta Ratminah—perempuan montok anak Bapak Dam itu, kamu datang menemuiku sebagai seorang teman yang sepertinya tidak masalah jika aku menyebutnya dengan bajingan. Dalihmu sederhana, kamu menganggap jika seorang lelaki sakit hati karena perempuan dengan cara yang kejam itu harus dibalas dengan pelajaran yang setimpal. Seperti dibuat gila, agar kelak dirinya yang kemudian berbalik mengejarku.
Maka selepas kejadian itu, hidupku tak pernah tenang. Kamu hanya menambah beban panjang masa penderitaanku sebagai seorang perjaka tua yang sedang mendambakan bagaimana rasanya bersanding dengan seorang perempuan dan kawin.
Seperti keharusan, setiap solusi yang kamu berikan padaku selalu saja memiliki dampak masalah yang hanya menambah masalah kembali. Hidup dengan menyandang miskin seperti ini bagai esa hilang dua terbilang. Seperti slogan Macan Koramil, katamu: ”Hilang satu masalah, tumbuh lagi seribu masalah.”
Kemudian kamu memberikan solusi—lebih tepatnya masalah lagi—layaknya seorang sahabat dengan bijak membantu keluar dari masalah dan keinginan hatiku ini dengan petuah peninggalan orangtuamu dulu. Tapi sayangnya, aku tidak menyadari sejak awal kalau sahabatku ini tidak lebih sepertiku; pemuda yang dirundung derita.
Heh, mau apa? Kamu diam saja di kursimu, minumlah kembali teh bruk-mu dan habiskan ubi rebus yang ada di mejamu! Aku datang ke sini hanya untuk menyampaikan penyesalanku pada kejadian itu. Sekaligus menuntut tanggung jawab atas segenap nama dan hidupku.
Kamu juga mungkin heran kenapa aku tiba-tiba datang ke rumahmu dengan keadaan seperti ini. Aku sudah kepalang tanggung hidup susah, Mblung, tapi kamu malah menambahinya dengan permasalahan seperti ini. Kamu pikir, dengan menyelamatkanku dari elmu gendengmu itu akan membuatku berterima kasih padamu? Tidak! Aku lebih baik mati daripada hidup dengan tuduhan banyak orang seperti ini lantaran Ratminah terbunuh karena perbuatan guna-gunaku.
Memang benar seperti apa yang almarhum bapakku sampaikan. Jika temannya, Kaslan, yang memilih untuk menekuni elmu batin itu, kelak hanya ada dua kemungkinan: jika tidak berhasil memikat hati semua orang, pasti elmu batin pengasihan itu akan mencelakakan orang lain. Sudah terbukti kamu sendiri tidak mau mewarisi elmu itu dari bapakmu seperti yang dikatakan Mang Daspan sore lalu. Selain tidak kuat tirakat seperti kakek buyutmu, tapi kamu juga hanya seorang pecundang yang mengobral omong kosong atas nama besar leluhurmu.
Lagi-lagi, memang semestinya aku tidak memercayai omong kosongmu. Aku seharusnya menyadari siapa kamu sebenarnya, orang yang tidak jauh lebih melarat dari hidupku sendiri sok-sokan memberikan bantuan dan jalan keluar. Aku memang memahami bantuan tidak hanya dengan uang, tapi setidaknya kamu tidak menambahkan masalah lain seperti ini.
Dengan berlagak memahami jagat kebatinan, kamu terus-terusan mendesak untuk meyakinkanku agar melakoni tirakat yang konon dari orangtuamu itu. Aku memang mengetahuimu lazimnya sahabatku semenjak kecil, kamu memang anak dari Mang Kaslan seorang abdi dalem Keraton, sama sepertiku. Tapi dulu yang masih menekuni itu adalah bapa tua-mu. Bapakmu memang masih memegang teguh keyakinan itu, tapi apakah sampai padamu masih mengamalkannya? Aku mengenalmu lebih dari orang lain, Mblung. Jika memang kamu ahli tirakat sakti mandraguna seperti bapa tua-mu, badanmu tidak akan tambun seperti itu!
Sebelumnya aku baik-baik saja, Mblung, setelah aku selamat dari tirakat gendengmu itu. Sebelumnya juga aku menerima, Mblung, jika harus kehilangan perempuan yang sangat aku cintai. Tapi pada akhirnya, keadaan semua berubah setelah aku mendengar semuanya dari Mang Daspan di Warung Wedang Bi Watem.
Di warung itu aku mengetahui, kalau ternyata orangtua kita memiliki elmu kebatinan dari tempat yang sama. Mang Kaslan bapakmu dan bapakku merupakan keturunan abdi dalem keraton, mereka datang satu minggu sekali ke keraton untuk sekadar menghaturkan sembah pada Sinuhun serta membantu dan bekerja sesuai tugasnya. Namun, ketika mereka satu per satu ketiban masalah, mereka meminta tolong serta petunjuk kepada Sinuhun untuk dibantunya. Dari situ aku mengetahui kalau bapakku memilih elmu batin Sahadat Alam lantaran menyadari dirinya seorang petani. Maka tak heran aku selalu dihindari hama sawah seperti tikus dan ular begitu mewarisinya. Sedangkan Mang Kaslan bapakmu mengambil elmu batin pengasihan. Pilihan itu dipilih lantaran nafsunya menjadi dukun kondang belum saja tercapai sampai padamu yang hanya sok-sokan.
Di warung itu pula aku mengetahui, kamu ini sangat mirip dengan bapakmu yang serakah, serta haus dipandang banyak orang sebagai orang yang baik dan berjasa. Dengan tabiatmu yang seperti itu, aku merasa kamu juga memperlakukanku demikian.
Saat itu, setelah Mbok Wangsi ibuku pulang melamar Ratminah dengan menadah air mata, sebenarnya secara perlahan aku telah menerima kenyataannya. Tapi ketika kamu menemuiku, aku telah banyak menerima khasiat yang menggiurkan dari elmu gendengmu itu. Kamu mengatakan: ”Pemuda yang dibuat malu harus membuatnya malu kembali, Din,” katamu penuh dendam membelaku. Kamu juga mengatakan kalau orang sombong seperti Ratminah dan bapaknya itu harus pula menanggung malu seperti kita. Dunia harus berputar.
”Sudah, Din, sudah... Ak....”
Diam! Kamu diamlah saja di tempatmu dan makanlah ubi rebusmu itu seperti dulu yang juga kamu berikan padaku.
Memangnya kamu mau bicara apalagi, Mblung? Aku belum menyampaikan semuanya padamu. Orang-orang kampung juga belum mengetahuimu yang sebenarnya. Selama ini mereka mengetahuimu sebagai seorang sahabat sejati yang selalu membantu ketika aku ditimpa masalah ”perkara anak muda”.
Ke mana dan apa saja yang telah kamu lakukan selama aku bertirakat dengan elmu gendengmu itu, Mblung, Hah? Ternyata dengan kamu bekerja menjadi penjaga empangnya membuatmu lebih leluasa menyusupi Bapak Dam agar dia tidak dapat mempertimbangkanku untuk dipilih menjadi menantunya.
Sebenarnya apa maksudmu mencegahku agar tak bisa mendapatkan Ratminah, Mblung? Bukankah seharusnya kamu senang ketika melihatku duduk bersanding dengan perempuan yang aku cintai. Bukankah kelak aku akan bisa hidup minimal lebih layak tidak seperti ini. Aku masih belum mengerti dengan maksudmu, Mblung. Apakah kamu masih saja menganggap kalau aku ini wong blesak, miskin, dan khawatir untuk tidak dapat mengimbangi kehidupan istriku kelak?
Mblung, asal kamu tahu, seperti yang sudah kusampaikan sewaktu aku baru dimabuk kepayang pada Ratminah permataku itu, ”Asmara tidak ada yang salah, selagi wajar sesama manusia.” Aku ini mencintai Ratminah tulus, tidak ada niat untuk berbuat yang lain, terlebih menguasai hartanya. Tidak sepertimu yang diam-diam menyusupi Bapak Dam agar tidak menerimaku lantaran kamu iri jika aku bisa bersanding dengan anaknya.
”Hentikan, Din, kamu sudah berlebihan!”
Aku mengerti Mblung, kamu memang memberikanku sebuah warisan doa milik kakek buyutmu, tapi semestinya aku juga sadar selama ini doa-doa bapakmu itu bukanlah doa yang dapat membuat mulia, melainkan hanya merusak jiwa. Tapi, kamu tetap meyakinkanku dengan berkata; ”Din, doa ini bukan sembarang doa,” katamu kupastikan hingga akhirnya kamu menjawab kalau doa itu adalah doa: ”Kemat Jaran Guyang”. Aku tidak mau menyebutkannya langsung, lantaran dengan doa yang kamu berikan itu aku jadi hidup jauh lebih sengsara seperti ini.
Baca juga : Dua Orang Pendoa
Katamu doa itu bukanlah doa biasa sehingga aku yang kala itu sedang rapuh terpikat dengan orasi pengetahuan leluhurmu. Kamu menjelaskan dengan mantap kalau doa itu adalah doa yang cocok untukku, ”Siapa pun yang merasa terhina oleh perempuan, dengan dibacakan doa ini, pasti ada buktinya!” katamu menyarankan.
Aku tidak menyangka hanya dengan mantra demikian dapat menghancurkan semuanya seperti ini. Rupanya bukan saja namamu yang Gemblung, tapi juga siasatmu untuk membuatku gagal meraih cinta Ratminah juga tak kalah gemblung! Aku tidak mau hidup hanya untuk meramaikan dunia ini saja, Mblung. Apalagi jika aku mati dengan keadaan seperti itu, kelak aku hanya jadi bahan hinaan anak cucuku lantaran kakek buyutnya mati konyol hanya karena perempuan dan perdaya siasat gemblungmu.
Pecundang sepertimu harusnya meminta maaf kepadaku dan warga kampung atas apa yang telah diperbuatnya dan segera mengasingkan diri seperti pandu ayah para pandawa yang memanah rusa jelmaan resi yang sedang bercinta sebagai tebusan dosanya. Aku harap kamu menyadari itu tanpa paksaan dari siapa pun, atau setidaknya kamu mengakui itu padaku.
Aku sudah muak melihat muka....
”Sudah, Din, cukup! Maafkan aku. Aku mengakui, ini semua kulakukan karena diam-diam aku juga menghendaki permatamu.”
”Ya! Aku mencintai Ratminah, sama sepertimu.”
Surabaya, 2023
Untuk tanah kelahiranku
**
Catatan:
- Elmu: sebutan ilmu di Cirebon, khususnya ilmu kebatinan
- Bapa tua: kakek
- Blesak: orang jelek
- Kemat Jaran Guyang: nama jenis ilmu pengasihan
A Djoyo Mulyono lahir di Cirebon, 1999. Tinggal di Surabaya, menulis fiksi dan nonfiksi, menjadi mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya dan pengajar di SMA Hang Tuah 4 Surabaya.