Teman Perjalanan
Kereta itu siap menjemput para penumpang seperti kita, menyediakan gerbongnya yang besar untuk tempat singgah sementara. Dia lalu mengantarkan kita ke tempat-tempat yang berbau asing.
Bagian yang paling aku suka dalam hidup ini adalah menjadi teman perjalananmu dan itu adalah momen saat kita berdua menggenggam tiket bepergian dengan tujuan sama.
Kamu akan merobek plastik pembungkus sampul buku dan aku mengikuti gerakanmu. Bunyi plastik yang berpisah dari tubuh buku terdengar begitu merdu, mirip bunyi kereta api yang tiba di stasiun. Peluit kondektur, deru mesin memburu, serta tatapan puluhan orang yang menunggu-nunggu perihal perjalanan baru adalah keindahan yang candu!
Kereta itu siap menjemput para penumpang seperti kita, menyediakan gerbongnya yang besar untuk tempat singgah sementara. Dia lalu mengantarkan kita ke tempat-tempat yang berbau asing. Membawa kita yang tanpa perlawanan ke tempat-tempat yang jauh dari keseharian tanpa janji apa pun kecuali bayangan-bayangan kita sendiri. Selalu begitu.
Dan oh iya halaman pertama buku juga selalu wangi.
”Tapi bukankah bau awal perjalanan memang seperti itu? Hidupku diramaikan dengan bermacam-macam bau, namun bau buku selalu menjadi yang terbaik.” Begitu katamu kepadaku.
”Aku sangat suka menciumi bau halaman pertama buku dan kebiasaan itulah yang membuat kita bertemu,” tambahmu.
”Ya ya ya. Aku sepakat denganmu dan kau tahu tidak kalau hidung orang yang suka buku itu berbeda.” Berganti aku yang berkata demikian kepadamu.
”Apa yang membuatnya berbeda?” tanyamu menahan tawa.
”Hidung itu hanya untuk mencium orang yang suka buku juga.”
Kau tertawa terbahak mendengar jawabanku dan mengatakan bahwa aku benar sekali. Mencium buku dan keinginanmu menciumku adalah kebutuhan dasarmu. Ah, kau memang suka berlebihan meski diam-diam aku suka mendengarnya.
”Dan aku sungguh tak bisa memilih antara kau atau buku,” keluhmu.
”Kalau begitu jangan memilih. Aku tidak memintamu memilih kan,” jawabku. Kau menganggukkan kepalamu dan aku tahu kau diam-diam juga bersyukur untuk itu.
Setelah sesi menciumi aroma buku, tangan kita berdua dengan cekatan membuka halaman prakata, mencermati sekilas barisan bab demi bab lalu memandang tajam buku di genggaman. Kau lalu memandangku dari kejauhan sambil bertanya, ”Sudah siapkah kau?” Dan jawabanku selalu sama dari waktu ke waktu.
”Untuk apa kau tanyakan hal itu?” desisku.
”Ah,” desahmu pendek sebelum kemudian kembali ke halaman buku.
Aku memandang wajahmu dan buku di genggamanku berganti-gantian. Kalau kupikir-pikir memang tidak seharusnya aku menjawab seperti itu. Bagaimanapun yang kau ucapkan itu sebenarnya bukan kalimat tanya. Itu adalah kalimat dukungan untukku.
Sebuah buku adalah perjalanan panjang seperti halnya rute kereta api jarak jauh: kadang butuh waktu sehari, dua hari, tiga hari, atau bahkan terkadang seminggu, tergantung kesibukan kita masing-masing di usia yang bukan remaja lagi ini.
Saling menyesuaikan agar tiba di jam yang sama sering kali menjadi persoalan tersendiri.
Kesedihan-kesedihan yang tiba, air mata yang mengalir kadang-kadang, risau yang datang tanpa kabar, deretan tawa dengan makna macam-macam, lalu kemudian hening panjang di halaman terakhir menjadi ritual kita sesudahnya.
Aku senang genggaman tanganmu membuatku punya teman tersesat yang sungguh setia. Itu karena dalam sebuah perjalanan buku tidak ada GPS yang bisa menjadi pemandu kita. Pun tidak ada petunjuk apa pun sebelum kita mulai membaca—petunjuk yang meminta kita berhati-hati di tempat-tempat tertentu, sejenis instruksi antisipasi atau juga sejenis buku how to untuk mengakrabi huruf supaya tak tersesat di antara halamannya.
”Tersesat?” sebuah cengiran menghias wajahku.
”Padahal itu yang kita cari,” jawabmu terkekeh. Aku ikut tertawa bersamamu saat menyadari bahwa memang itu sebenarnya yang kita berdua cari. Terkadang tersesat memang malah menjadi tujuan utama kereta kita dan yang begitu juga tidak apa-apa.
Sebuah buku, apa pun itu, tidak pernah menawarkan tujuan pasti macam terminal statis atau stasiun kuno yang selalu di situ-situ saja. Buku membuat kita bebas menentukan tujuan di awal, berubah di pertengahan, atau bahkan di detik-detik terakhir perjalanan.
”Jadi berapa kali kita tersesat?” tanyamu.
Aku berusaha mengingat-ingat lagi belasan perjalanan kita berdua dan kusadari semuanya itu adalah ketersesatan. Kita berdua selalu mencari dengan serius stasiun yang tidak ada di peta, percakapan-percakapan yang panjang, keresahan yang datang saat malam makin gelap, tangisan yang membuat tubuh kita gemetaran, lagu-lagu Spotify agar kita berdua tidak menjadi gila, lamunan, genggaman tangan yang makin erat, pelukan yang makin kuat, lalu kita melanjutkan perjalanan hingga seperti biasa tiba-tiba tujuan sudah di depan mata. Halaman terakhir!
Di tempat tujuan itu kau lalu memanggilku mendekat. Itu juga momen yang sangat kurindukan. Aku beruntung karena kita tak pernah terpisah terlalu jauh. Kau hanya perlu berteriak pelan agar aku mendekat, sangat dekat hingga hanya ada kau dan aku. Lalu di saat itulah kau akan bertanya bagaimana perasaanku….
Dan sekali lagi, menjadi teman seperjalananmu pada akhirnya memang menjadi candu. Kau tahu kan candu itu? Candu adalah kegemaran yang menyebabkan ketagihan. Kupikir aku memang ketagihan pada dirimu dan pada buku-buku yang kau kirim ke kantorku.
Tiket bepergian darimu itu bermula dari sebuah buku bersampul biru muda yang warnanya mirip wajah langit pada pagi hari. Ada bagian putih di tengah buku itu untuk tempat judul dengan warna hitam. Aku terdiam sesaat ketika menatap buku tersebut.
Kau tahu, melihat buku itu terasa seperti menatap awan-awan berarakan di langit yang begitu terang. Buku itu memberiku harapan tentang berbagai kemungkinan di hari yang cerah. Namun, entahlah… font warna hitam yang digunakan untuk judul itu terus terang sedikit menggangguku.
Kukatakan padamu bahwa sampul buku itu lebih mirip buklet biro perjalanan yang membuatku serasa ingin melesat pergi pada saat itu juga. Kau tertawa mendengar pengandaianku dan bertanya bagaimana aku bisa tahu bahwa kamulah yang mengirimkan buku tersebut.
”Sebab baru kali ini aku mendapat hadiah buku dari seorang pengirim tanpa nama. Jadi itu jelas bukan buku dari temanku, apalagi sahabatku. Lagi pula ini buku puisi. Tidak ada seorang pun temanku yang suka puisi. Dari jutaan orang pun, dengan mata terpejam pun, aku tahu kaulah yang mengirim buku ini, Orang Asing,” begitu jawabku.
Lagi-lagi laki-laki itu tertawa mendengar jawabanku.
Orang asing. Begitulah caraku memanggilmu.
Aku kerap membatin dalam hati. Betapa susahnya tidak menempatkan dirimu sebagai orang asing karena nyatanya aku memang tak pernah bertemu denganmu, sekali pun tidak. Kita berdua rasanya tak pernah bersama dalam satu ruang dan waktu yang sama.
Kali pertama kita bertemu dan berinteraksi hanyalah di ruang maya. Sekali itu saja. Momen tersebut adalah saat aku menjadi pengisi pelatihan esai dan kau menjadi salah satu pesertanya. Aku duduk di kursi sambil menatap kamera di sebuah kota di Jawa dan kau menatap wajahku dari seberang lautan. Perjalanan kita dimulai dari situ sebab semenjak itu kau menjadi ”orang asingku” dengan sebuah kebiasaan baru.
Kau selalu membeli dua buku setiap kali berbelanja ke toko buku. Satu buku untukmu sendiri dan satunya lagi untukku. Sebuah fakta yang membuatku geli hingga saat ini.
”Dengar, dua eksemplar buku Hasta Indriyana; dua eksemplar Kembang Selir Muna Masyari; dua eksemplar Sepotong Senja untuk Pacarku Seno Gumira Aji; dua eksemplar Man’s Search for Meaning Viktor E Frankl, dan dua eksemplar-eksemplar lainnya. Kau spesialis dua eksemplar Orang Asing,” kataku terbahak.
”Mau bagaimana lagi,” balasmu. ”Hanya lewat buku aku benar-benar bisa terhubung denganmu.”
Aku terdiam lama karena tak tahu apa yang harus kukatakan. Kupikir sebuah pertemuan memang sama misteriusnya seperti kehidupan. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana puzzle utuhnya: bagaimana awalnya dan bagaimana akhirnya karena kehadiranku toh hanya di tengah-tengah film yang sedang diputar. Semuanya serba aneh, serba ganjil, dan serba teka-teki. Itu termasuk hobimu yang mengajakku berjalan-jalan dengan buku baru dan yang lebih aneh lagi, itu termasuk pertemuan-pertemuan kita yang nyaris.
Nyaris. Kau tahu kan kata nyaris? Nyaris adalah hampir saja terjadi. Kita sering kali nyaris bertemu, jadi kita tidak pernah benar-benar bertemu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut nyaris adalah hampir saja terjadi (terutama untuk sesuatu yang membahayakan). Alisku bertaut saat membaca definisi itu.
”Membahayakan? Kenapa membahayakan?” Aku membatin dalam hati. Kubaca lagi definisi kata nyaris itu dan menemukan contoh kalimat yang mendukung definisi membahayakan.
”Gedung SMU nyaris terbakar.” Sekali lagi alisku bertaut. Apakah nyaris bertemu kita itu juga seberbahaya seperti gedung SMU yang nyaris terbakar?
Kini aku mengingat-ingat lagi. Di antara belasan tiket perjalanan yang kau kirim padaku memang ada beberapa pertemuan yang nyaris. Kau ingat bukan saat kita sama-sama menikmati makan siang di restoran di sebuah kota yang bukan tempat tinggal kita.
Baca juga : Senyum di Wajah Jamilah
Kita ada di restoran yang sama, di jam yang sama, dan hanya terpisah satu ruangan. Kuulangi, restoran yang sama, jam yang sama, kota yang sama. Hasilnya adalah kita tidak bertemu karena kita sama-sama tak tahu fakta itu. Kita baru menyadari kebersamaan yang ganjil itu saat pandangan kita tertambat di jendela pesawat, saat kita kembali ke kota masing-masing.
”Kebetulan yang sungguh sialan!” Aku meneleponmu sambil berteriak keras begitu kakiku menginjak lantai bandara. Menangis keras-keras tanpa peduli puluhan orang yang menunjukkan wajah bingung sekaligus cemas saat memandangku!
Dan lelucon itu pun belum cukup. Yang kedua adalah saat pameran buku di kota berbeda. Nah, kau ingat juga bukan momen itu. Sebenarnya aku berbohong detail kecil padamu perihal momen itu.
”Itu adalah pertemuan yang nyaris juga.” Kau mendecakkan lidahmu dengan nada kesal.
”Aku datang saat kau pergi ya. Maafkan aku Nayanika, seharusnya aku bisa datang lebih awal ke pameran itu agar kita bisa bertemu. Nyaris lagi dan lagi,” katamu dengan suara yang terdengar jelas dari ujung telepon, sejelas ingatanku pada sosokmu di pameran itu. Bastian, sebenarnya aku melihatmu saat itu.
Aku ada di belakangmu ketika itu, berdiri mematung saat memandangmu yang sedang sibuk mengisi keranjang plastik merah dengan macam-macam buku untuk tiga anakmu yang berjalan di depanmu dan istrimu yang selalu setia mengikutimu dari belakang.
Bastian… Kamus Bahasa Indonesia itu benar, itu juga pertemuan yang nyaris….
***
Ayu Prawitasari, jurnalis yang juga pengajar Bahasa Indonesia di sebuah kampus di Solo. Cerpennya telah dipublikasikan di macam-macam media massa.