Megatruh
Mulai malam itu pun tersiar kasak-kusuk Mbah Wasis tidak tapa ”ngluweng” tapi tapa ”ngalong” dengan menebarkan harum aroma kenanga. Kasak-kusuk itu menyebar ke mana-mana dengan tambahan bumbu yang juga ke mana-mana.
Tak ada yang ingat, kapan lelaki tua itu datang dan kemudian menetap di dusun kami, mungkin enam atau delapan tahun lalu. Lelaki yang sekarang berusia sekitar tujuh puluh tahun itu mengenalkan dirinya dengan nama: Wasisto. Seluruh penduduk dusun kemudian menyapanya sebagai Mbah Wasis. Perawakannya biasa-biasa saja, seperti lazimnya orang ndeso, dadanya bidang dan kulitnya melegam dipanggang matahari. Tak pendek, tak juga jangkung. Agak bungkuk namun berahang keras sehingga tampak kokoh dan liat menandakan tubuh yang akrab dengan kerja keras.
Yang membedakan Mbah Wasis dengan orang tua-orang tua di dusun kami lainnya, adalah rambut dan matanya. Rambut Mbah Wasis panjang sampai ke punggung. Selepas mandi Mbah Wasis acap kali membiarkan rambut putihnya yang panjang dan basah itu terurai. Setelah kering, Mbah Wasis mengikat rambut putihnya rapi-rapi dengan udeng berwarna hitam. Dengan rambutnya yang panjang di balik iket udengnya, Mbah Wasis tampak gagah seperti tokoh-tokoh silat dalam karya SH Mintardja atau Kho Ping Ho.
Mata Mbah Wasis tajam dan bening, tidak seperti kebanyakan mata orang tua yang buram dan suram. Alis mata Mbah Wasis juga berwarna putih. Hidungnya tak pesek tapi juga tak mancung dan tanpa kumis. Walau bermata tajam, berambut panjang putih, beralis putih, tak menjadikan orang lain takut pada Mbah Wasis, sebab bibirnya selalu tersenyum. Mbah Wasis selalu tersenyum pada siapa saja. Pada anak-anak, mbok-mbok, bapak-bapak, bakul-bakul, lelaki-lelaki yang berangkat ke sawah atau ke warung, pokoknya kepada setiap orang.
Walau bermata tajam, berambut panjang putih, beralis putih, tak menjadikan orang lain takut pada Mbah Wasis, sebab bibirnya selalu tersenyum.
Mbah Wasis tinggal di lorong kecil, paling utara sudut dusun kami, di dekat makam kuburan dusun. Setiap orang yang mengantar keranda jenazah ke kubur atau sepulangnya, akan melewati rumahnya. Mbah Wasis tinggal seorang diri. Tak ada yang tahu di mana anak dan istrinya. Selentingan kabar, Mbah Wasis memang tak punya istri dan anak karena wadat. Kabar angin lainnya, istri Mbah Wasis telah mati karena tenggelam saat Bengawan Solo bandang.
Rumah Mbah Wasis kecil, namun berpekarangan cukup luas. Dinding rumahnya terbuat dari papan kayu campur tripleks yang semua dicat putih. Sederhana namun bersih dan rapi. Lantai rumah Mbah Wasis terbuat dari batu bata merah yang selalu disiram air sehingga tampak sejuk dan tanpa debu. Ada tiga ruang yang disekat dengan papan tripleks yang juga bercat putih bersih.
Ruang depan merangkap ruang tamu sekaligus ruang pribadi. Di ruangan itu hanya ada kursi rotan dan meja bulat yang kuno. Di atasnya selalu ada kendi berisi air dan sebuah radio transistor kecil. Di dinding ruangan itu tergantung hiasan dinding berupa wayang Werkudara, Kresna, Hanoman, dan keluarga punakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Di bagian dinding lain tergantung sebuah capil lebar dan welasan berikut jorannya. Di bawah capil tergantung pula sebuah sabit dan parang.
Ruangan yang lain, lebih kecil. Tampaknya bilik tempat Mbah Wasis tidur. Tidak berpintu, hanya ada selambu atau tirai sederhana terbuat dari kain tipis berwarna putih keabuan. Di bilik itu ada sebuah ranjang atau tepatnya balai-balai tanpa kasur yang di atasnya terbentang sebuah tikar andong dan sebuah jarit yang terlipat rapi. Ada jendela di bilik itu sehingga udara selalu sejuk. Tak ada cermin di bilik itu.
Ruangan yang lain adalah dapur yang juga tak berpintu namun memiliki butulan ke luar belakang rumah. Tak banyak perabotan di sana. Hanya ada kompor minyak tanah, rak kayu kecil dengan beberapa piring seng, dua cangkir seng, satu gelas, sebuah layah dan ulek-uleknya, beberapa sendok, blek-blek kosong, ceret dan beberapa panci yang sudah tesok.
Pekarangan Mbah Wasis selalu bersih dan asri berpagar bambu yang bercat putih. Di dalam pekarangan itu ada beberapa rumpun bunga soka, puring, pandan, serai, kunir, kencur, dan melati yang selalu disiangi dengan rapi. Ada pula pohon belimbing wuluh dan pohon mangga yang besar dan tua. Di bawah pohon mangga itu, Mbah Wasis meletakkan sebuah lincak bambu untuk klekaran menikmati udara segar.
Baca juga : Bejo di Negeri Straya
Mbah Wasis adalah orang tua yang ramah dan ringan tangan menolong siapa saja dan apa saja. Mulai dari menyembelih ayam, menyembelih kambing, membetulkan genteng rumah yang bocor, mengecat rumah, membersihkan tegalan, menebang pohon, nguras sumur, memperbaiki sanyo air yang rusak, bahkan memijat.
Anak-anak pun menyukai Mbah Wasis karena pandai mendongeng. Saban sore, sehabis menyapu pekarangan rumahnya dengan sapu lidi bertangkai panjang, Mbah Wasis duduk di lincak di bawah pohon mangga, kami mengerumuninya, dan mulai merajuk memintanya mendongeng. Mendongeng apa saja. Mulai dari dongeng kancil nyolong timun, kancil menunggui gongnya Nabi Sulaiman, kisah cinta Roro Mendut, riwayat tragis Roro Jonggrang, keris Nagasasra Sabuk Inten, Saridin, Aryo Penangsang gugur, kisah pengembaraan cita Panji Asmarabangun dan Candra Kirana, hingga lakon-lakon wayang yang dipetik dari kisah Ramayana atau Mahabarata.
Mbah Wasis, piawai mendongeng. Terasa hidup di benak kami, tokoh-tokoh yang dikisahkannya. Terlongong-longong kami membayangkan kecantikan Roro Mendut yang dengan seksinya mengisap kreteknya lantas sisa kretek berbekas bibirnya itu dijualnya mahal-mahal. Terngungun-ngungun kami membayangkan arca Roro Jonggrang meneteskan air matanya di kala senja menyelimuti Prambanan.
Terpingkal-pingkal kami membayangkan kecerdikan kancil memperdayai musuh-musuhnya. Terbayang-bayang kami menjelma menjadi Mahesa Jenar, pendekar jagoan yang nglanglang memburu keris Nagasasra Sabuk Inten atau menjadi Saridin yang sakti tapi lugu yang sanggup menguras sungai dengan rinjing yang bolong, atau menjadi Aryo Penangsang yang sakti dengan kuda hitamnya bernama Gagak Rimang, menggenggam keris pusaka ampuh, Kyai Brongot Setan Kober. Kadang kami pun merasa menjadi Panji, petualang yang tampan dan digandrungi perempuan-perempuan cantik.
Yang paling memesona, jika Mbah Wasis mendongeng lakon-lakon wayang, utamanya tokoh-tokoh yang terpajang di dindingnya. Tak jarang saat mendongeng Mbah Wasis memainkan tokoh-tokoh wayang itu. Menimang-nimang tokoh Werkudara kesayangannya, Mbah Wasis mendongeng sekaligus berfilosofi, ”Ngger, Tole, ini adalah Werkudara, kesatria mbarep keluarga Pandawa. Disebut juga Brotosena atau Bimasena. Seorang kesatria sakti yang teguh pada janji serta patuh dan hormat terhadap gurunya. Sakti mandraguna dengan kekuatan tubuhnya yang dahsyat. Memiliki pusaka sakti berbentuk gada yang diberi nama gada rujak polo yang sanggup meruntuhkan gunung. Senjatanya yang lain berupa kuku panjang dan tajam di ibu jarinya bernama kuku pancanaka yang sanggup merobek-robek perut lawannya. Tubuhnya yang tinggi besar membayangkan keteguhan hati dan jiwa kesatrianya. Werkudara tidak pernah bicara krama inggil, selalu ngoko kepada siapa saja karena sikap egaliter dan keberaniannya mengkritik segala ketidakadilan,” kata Mbah Wasis sambil menggerak-gerakkan wayang Werkudara itu dengan beksan gagah. Kami pun hanya melongo. Dan, mengalirlah cerita Werkudara yang mengobrak-abrik lautan dan berperang dengan naga raksasa demi perintah gurunya.
Kadang kami pun merasa menjadi Panji, petualang yang tampan dan digandrungi perempuan-perempuan cantik.
Di sore yang lain, Mbah Wasis dengan lucu memainkan dan mendongeng para punakawan, yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Sambil mendongeng, Mbah Wasis mewejang, ”Tole, Ngger... punakawan-punakawan ini gambaran kita para manusia yang tak pernah sempurna. Semar yang gendut dan bersenjata kentut yang busuknya luar biasa adalah gambaran untuk mewaspadai keserakahan yang mendekam di tubuh dan jiwa kita. Gareng yang pincang, tangan kirinya ceko dan matanya mlolo, mengingatkan kita untuk waspada melihat segala kepincangan yang ada dalam diri sendiri dan di sekeliling kehidupan kita. Petruk yang tinggi jangkung selalu malangkirik dan menuding-nuding, merupakan perlambang diri untuk mengendalikan sikap sombong dan menyalahkan orang lain. Sedang Bagong yang gembrot, bermulut lebar, dan pelo melambangkan diri kita yang selalu tak puas memanjakan nafsu dan membicarakan orang lain.”
Kami pun hanya manggut-manggut sambil merem melek membayangkan siapa di antara kami yang jadi Semar, Gareng, Petruk, atau Bagong. Di sela-sela dongengnya yang membuai, Mbah Wasis selalu menyelipkan tembang-tembang sesuai isi cerita. Bila mendongeng punakawan, ditembangkannya tembang lelagon dolanan pucung yang lucu atau berupa cangkriman. Jika berkait dengan kisah-kisah cinta maka Mbah Wasis nembang sinom atau asmaradana. Sedangkan kalau ceritanya menggambarkan kepahlawanan atau peperangan Sang Werkudara atau Aryo Penangsang, maka Mbah Wasis menembangkan gambuh atau durma. Di setiap akhir cerita kami pun bersorak, bertepuk tangan, kemudian lari berhamburan, pulang sambil membayangkan menjadi tokoh-tokoh dalam dongeng tersebut.
/**/
Hampir dua bulan ini, Mbah Wasis tidak mendongeng. Mbah Wasis tiba-tiba menjadi pendiam dan mengurung diri di dalam rumahnya. Pekarangan rumah Mbah Wasis jadi tampak sunyi. Di sore hari Mbah Wasih tak lagi leyeh-leyeh klekaran di lincak bambu di bawah pohon mangga di pekarangan rumahnya. Tak pernah memerdulikan teriakan-teriakan kami, ”Mbah... Mbah... Mbah Wasis... ndongeng Mbah...!” Rumahnya pun tampak gelap dan suram. Suara radio transistor yang dulu saban malam berbunyi sekarang tak terdengar lagi. Bahkan lampu rumah Mbah Wasis yang dulu terang tampak lebih banyak gelap. Tanaman-tanaman soka, puring, serai, pandan, dan rumpun melati tumbuh liar tak terawat lagi. Daun-daun mangga yang kering berserakan di pekarangan tak pernah disapu.
Entah. Tak ada yang tahu mengapa Mbah Wasis mengurung diri dalam rumahnya. Para tetangga mulai dijangkiti penyakit usil dan rasa ingin tahu. Kasak-kusuk pun mulai berdengung, ”Mbah Wasis tapa. Semedi. Mbah Wasis tapa mbisu. Mbah Wasis tapa ngluweng!”
Baca juga : Makan Tak Boleh Beremah
Suatu sore menjelang surup, Kang Pardi Pesek memberanikan diri masuk ke pekarangan dan mengintip ke dalam rumah Mbah Wasis. Kang Pardi Pesek tidak berhasil melihat apa pun. Kang Pardi Pesek hanya melihat sosok Mbah Wasis yang remang-remang, duduk mencangkung di kursi rotan. Di warung kopi Pak Munaji, Kang Pardi Pesek nyerocos bercerita dengan berbagai bumbu dan reka-rekanya sendiri.
”Lik, Lik Munaji, aku tadi nginceng Mbah Wasis,” kata Kang Pardi Pesek kepada Pak Munaji, si pemilik warung.
”Ha, kamu lihat Mbah Wasis? Sedang ngapain Mbah Wasis mendekam di rumahnya? Apa yang dilakukannya? Apa bener Mbah Wasis nglakoni tapa ngluweng?” sergah Pak Munaji dengan wajah penuh rasa ingin tahu.
Pardi Pesek hanya menggeleng dan berkata pelan, ”Aku tak bisa melihat dengan jelas, Lik. Lampunya dimatikan. Aku hanya melihat sosoknya remeng-remeng.”
”Lho, Kamu ngincengnya, malam, too,” tanya Pak Munaji tambah bernafsu ingin tahu.
”Ya, Lik. Surup tadi. Aku hanya melihat sosok Mbah Wasis duduk di ruang kursi rotannya,” jawab Pardi Pesek yang semakin antusias bercerita melihat wajah Munaji yang penuh rasa ingin tahu.
Setelah nyruput kopi cingkirnya, Pardi Pesek melanjutkan ceritanya dengan dibumbui di sana sini, ”Aku melihat samar-samar Mbah Wasis duduk bersila di tengah ruangan, di atas kursi rotannya. Rambut putihnya yang panjang tampak terurai tak disisir.”
”Lho, Mbah Wasis ndak ngluweng, to. Seperti kabar selama ini,” potong Munaji.
”Tidak, Lik,” kata Pardi Pesek diam sejenak sambil memberi isyarat kepada Munaji untuk menambah air panas di cangkir kopinya. Lantas dilanjutkannya ceritanya, ”Mbah Wasis duduk bersila di tengah ruangan sambil mulutnya komat-kamit entah membaca apa.”
Baca juga : Buaian Rahim Patriarki
”Mbah Wasis, ngrampal mantra apa, Di?” potong Munaji tak sabar.
Pardi Pesek kembali menggelengkan kepalanya, lantas berkata, ”Aku tak mendengar dengan jelas apa yang dikomat-kamitkan Mbah Wasis. Tapi aku mencium bau kenanga yang tajam.”
”Kenanga?” tanya Munaji.
”Ya, kenanga yang wanginya menyengat tajam,” kata Pardi Pesek sambil menghabiskan kopi cingkirnya.
Mulai malam itu pun tersiar kasak-kusuk Mbah Wasis tidak tapa ngluweng tapi tapa ngalong dengan menebarkan harum aroma kenanga. Kasak-kusuk itu menyebar ke mana-mana dengan tambahan bumbu yang juga ke mana-mana. Namun, Mbah Wasis tak juga keluar rumahnya. Orang-orang sedusun makin kasak-kusuk. Rumah Mbah Wasis makin suram dan tampak wingit. Pekarangan rumah Mbah Wasis tambah sepi. Anak-anak tak lagi teriak-teriak memanggili Mbah Wasis minta didongengi. Bahkan tak ada lagi yang lari-lari melintas di pekarangan rumah Mbah Wasis.
/***/
Tiba-tiba, pagi itu, Mbah Wasis nongol keluar dari dalam rumahnya. Wajahnya tampak tegang dengan rahang yang mengeras. Matanya yang tajam tampak suram, menceruk ke dalam rongganya, dan berkedip-kedip gelisah. Bibir Mbah Wasis yang dulu selalu tersenyum kini tertutup rapat-rapat. Udeng ikat kepalanya dibiarkan terlepas dan tergantung di leher. Rambut Mbah Wasis yang putih, tergerai kusut tak disisir. Tubuhnya yang agak bungkuk tampak mengurus.
Mbah Wasis berjalan melintasi pekarangan rumahnya dengan bergegas. Tangannya erat-erat memegang sapu lidi bertangkai panjang. Langkahnya makin bergegas, tak menghiraukan anggukan orang-orang yang berpapasan dengannya. Wajah Mbah Wasis tampak juga makin menegang. Sambil berjalan, mulutnya komat-kamit. Mula-mula berjalan pelan, bersuara pelan, lama-kelamaan langkahnya mencepat dan suaranya makin nyaring, meninggi dan jelas, nembang megatruh.
Sesampai di depan rumah Kang Pardi Pesek, langkah Mbah Wasis berhenti, menatap tak berkedip rumah Pardi Pesek, kemudian pelan menyapu tanah halaman Pardi Pesek. Gumam tembang megatruh dari mulut Mbah Wasis makin nyaring: ”Mati iku pepesthen Gusti Hyang Agung, kabeh urip mesti mati, mula iku golek sangu cegah dahar lawan guling, nrima sabar jroning batos...”.
Seselesainya tembang megatruh itu, Mbah Wasis pun berbalik bergegas pulang. Mulutnya terkatup rapat, wajahnya masih tetap tegang. Matanya makin suram dan tangannya yang memegang sapu lidi bertangkai panjang tampak bergetar. Selepas bedug lohor tersiar kabar; Kang Pardi Pesek nggeblag terpeleset di pematang sawah lantas berhenti denyut jantungnya sebelum sempat dibawa ke puskesmas. Istrinya melolong-lolong.
’Mati iku pepesthen Gusti Hyang Agung, kabeh urip mesti mati, mula iku golek sangu cegah dahar lawan guling, nrima sabar jroning batos...’.
Jasad Pardi Pesek dikuburkan siang itu juga. Jalan menuju makam menjadi lebih ramai oleh para pelayat. Mereka melintasi rumah Mbah Wasis yang tampak tertutup rapat pintu dan jendelanya. Muncul selentingan yang mengait-ngaitkan kematian Pardi Pesek dengan tembang Mbah Wasis. Namanya selentingan, tentu saja hanya kabar kasak-kusuk yang segera kabur. Mbah Wasis tetap saja mendekam, tak keluar sejengkal pun dari dalam rumahnya. Tak ada dongeng. Tak ada tembang yang nglangut.
Tiga minggu kemudian. Hari sepagi itu sudah mendung. Tiba-tiba Mbah Wasis keluar rumah. Tubuhnya makin mengurus sehingga bungkuknya makin kelihatan. Wajahnya tampak tegang dengan rahang yang mengeras. Matanya yang tajam makin menyuram. Semakin menceruk ke dalam rongganya. Rambut Mbah Wasis yang putih, tergerai kusut tak disisir. Udeng ikat kepalanya dibiarkan terlepas dan tergantung di leher. Mulut Mbah Wasis semula terkatup rapat tiba-tiba komat-kamit makin lama makin bergumam keras. Kaki Mbah Wasis bergegas melangkah keluar pekarangan rumahnya. Tangannya tampak gemetar dan erat-erat memegang sapu lidi bertangkai panjang. Langkahnya makin bergegas, tak memerdulikan orang-orang yang menyisih dan menatapnya penuh tanda tanya. Sambil berjalan, mulut Mbah Wasis komat-kamit. Mula-mula berjalan pelan, bersuara pelan, lama-kelamaan langkahnya mencepat dan gumamnya makin nyaring, meninggi dan jelas. Gumam tembang megatruh.
Sesampainya di depan rumah Joyo Blantik, salah seorang terkaya di dusun kami, Mbah Wasis berhenti, gemetar menghadap pagar. Gumam megatruh di mulut Mbah Wasis makin mengeras. Tangannya makin gemetar menyapu tanah depan pintu pagar. Tembang megatruh dalam gumamnya makin nyaring dan terdengar nglangut: ”Mati iku pepesthen Gusti Hyang Agung, kabeh urip mesti mati, mula iku golek sangu cegah dahar lawan guling, nrima sabar jroning batos...”.
Setelah tembang itu purna, Mbah Wasis bergegas melangkah balik ke rumahnya. Mulutnya terkatup rapat, wajahnya masih menegang, dan tubuhnya gemetar. Burung gagak tampak terbang melintas menuju kuburan mendahului langkah Mbah Wasis. Sesampai di rumah, Mbah Wasis menutup rapat-rapat pintu dan jendela.Terdengar burung bence bersahut-sahutan. Sore harinya, sebelum matahari lingsir ke arah barat, terdengar kabar lelayu dari pengeras suara di langgar dusun: Joyo Blantik mati mendadak karena disepak sapinya.
Baca juga : Anjing-anjing Liar di Makkah
Kasak-kusuk pun berdengung seperti lebah. Kali ini tak segera kabur dibawa angin dan waktu. Mbah Wasis tetap mendekam di rumahnya yang kian suram dan wingit. Setelah kejadian itu, sebelum ada kabar lelayu, Mbah Wasis selalu keluar rumahnya sambil nembang megatruh berdiri di depan rumah ”sang calon mayat”, seolah berkabar tibanya hari kematian itu.
Orang-orang sedusun jadi takut dan giris jika melihat sosok Mbah Wasis keluar rumah. Tak ada seorang pun warga dusun yang sudi berjumpa dengan Mbah Wasis. Mereka menganggap Mbah Wasis sebagai yama dipati yang mencabut nyawa. Sampai di suatu hari, sejak pagi hingga menjelang malam, burung-burung gagak mengitari wuwungan rumah Mbah Wasis, burung bence dan kolik ramai bersuara di pekarangan rumah, bersahut-sahutan ...ceeitcuitt... cuitt... cet... cuitttkoliikkk... kolikk... likkk. Sejak pagi hingga malam terdengar suara Mbah Wasis lantang dan gemetar, tak putus-putus menembangkan tembang megatruh, ”Mati iku pepesthen Hyang Agung, kabeh urip mesti mati...”.
Pagi harinya, selepas subuh, pengeras suara dari langgar dusun menyiarkan kabar lelayu: Mbah Wasis meninggal dalam keadaan duduk dan tangannya memegang erat sapu lidinya yang bertangkai panjang. Saat jasad Mbah Wasis dimandikan, para pelayat seolah mendengar gumam lirih megatruh itu ditembangkan di telinga mereka: mati iku pepesthen Hyang Agung, kabeh urip mesti mati. Kini, rumah Mbah Wasis tinggal suram, tanpa dongeng dan tanpa tembang.
Tjahjono Widarmanto, sastrawan, lahir di Ngawi, 18 April 1969. Tulisannya berupa puisi, esai, artikel, dan cerpen telah dipublikasikan berbagai media. Buku puisinya Suluk Pangracutan dari Kampung Para Arwah (2023), Bersepeda dari Barat ke Utara hingga Tumbuh Bulu di Tulang Rusukku (2021), dan masih banyak lagi. Buku nonfiksinya antara lain Yuk, Nulis Puisi (2018) serta Kata dan Bentuk Kata dalam Bahasa Indonesia (2020).