Kota Penyambung Asa
Sampai larut malam aku mencari. Ditemani rembulan, dilanda lelah yang menguasai fisik, aku tidak peduli. Semua yang baik butuh pengorbanan. Kepada Dewa aku meminta pertolongan dan atas kehendak-Nya lah kami akan bersua.
Suara gamelan, kidung yang mengalun, asap dupa yang harum, udara yang kuhirup selalu terasa sejuk telah merasuk ke dalam jiwaku. Aku tak mengenal yang lainnya, rangkaian upacara yang silih berganti mengikutsertakan langkahku, canda ceria sahabat sahabat, teman andai taulan, adalah isi alam Baliku yang menumbuhkembangkan jiwa dan ragaku.
Sampai saat ini kupikir rasanya tak perlu kemana lagi aku untuk menikmati damainya hatiku, inilah tanah kelahiranku Bali. Aktivitas rutin kujalani tanpa curiga suatu saat akan berubah, karena keyakinanku yang begitu mengakar bahwa takdirku selamanya di tanah kelahiranku, semua yang berlalu sepanjang usiaku sudah begitu kental menyatu dalam aliran merah di nadiku. Sampai suatu saat di kala senja, kata-kata bapakku seperti membelah tengkorak kepalaku.
”Bapak sube ngurusang mekejang file pindah sekolah Tantri-ne” (Bapak sudah mengurus file pindah sekolahmu Tantri) ”De nyen buin leha-leha metamped cening, segera ning...! Segera...!” (Jangan lah berleha-leha, berkemas anakku, segera nak, segera). Suara bapak yang halus tapi tegas terasa berat untuk telingaku terima. Keyakinanku akan kekekalan abadi terhadap hidup di Bali hangus bak arang terlahap api.
Keadaan memaksaku meninggalkan Bali. Selamat tinggal Bali, selamat datang Gowardan. Tempat bernama Gowardan yang akan menjadi tempatku kini melanjutkan langkah hanya memberikan raut sendu di wajah. Hari-hari terasa seperti masakan tanpa garam, hambar. Seruling yang aku bawa dari Bali tak pernah mengumandangkan kemerduannya. Gowardan seperti meredam api dalam diriku untuk melakukan segala aktivitas.
Bahkan pergi ke sekolah baru menyuguhkan rasa tak nyaman. Di sini riuh suara baru dari teman baru tak dapat menggetarkan kalbu, hanya Bali yang mampu untuk itu. Sudah berselang sepekan aku menapakkan kaki di sekolah baruku ini, tetapi kapas apapun tak dapat menghapus topeng muram dan masam di wajahku.
Keyakinanku akan kekekalan abadi terhadap hidup di Bali hangus bak arang terlahap api.
Sampai suatu hari, di mana hitam di atas putih dibagikan ke tangan siswa, berisi pesan seleksi untuk ajang ”Cipta Musik” menyuguhkan ketertarikan di benakku. Ditambah tertulis berkelana ke tanah bernama ”Agra” adalah bonusnya.
Aku merasa hal ini adalah kesempatan baik agar aku tetap bisa memainkan serulingku ini. Hanya dengan ini, aku tidak akan pernah lupa Bali-ku. Aku pun ikut ambil peran dalam seleksi. Berbekal kepiawaianku bermain alat musik seruling, kukerahkan yang terbaik di antara ribuan yang lebih baik, membiarkan hasil menjadi anugerah Yang Maha Kuasa.
Suara menggelegar memenuhi tiap sudut sekolah, tiga nama dikumandangkan dengan lantang, Titih, Bima dan salah satunya adalah namaku yang disebutkan. Suara dari moncong toa itu merekahkan senyumku, kini berkelana ke Agra ada dalam genggamanku. Jauh dari semua itu kesempatanku untuk tetap bermain seruling Baliku ini terwujud.
Baca juga: Siasat Ki Juru Martani
Di hari itu juga, dikumpulkannya kami untuk membahas segala persiapan bepergian ke tanah Agra. ”Kita akan pergi dengan satu tujuan, yaitu mencari inspirasi,” ucap Pak Rajo. Kami bertiga tak tahu pasti kenapa tanah Agra yang dipilih mencari inspirasi. Yang aku tahu adalah aku harus berusaha yang terbaik. Kami bertiga mendekatkan diri satu sama lain dan berucap kata kekompakan dan satu tujuan di hari itu.
Perjalanan pun dimulai. Sekaligus dengan Pak Rajo, kami berempat sudah menginjakkan kaki di tanah Agra. Jauh dari perkotaan, berteman dengan alam, begitu adanya Agra menyuguhkan kami pemandangan indahnya. Disambut kepala desa setempat, kami diantar menuju tempat di atas tanah seluas 2,5 hektar di mana sanggar seni dibangun oleh Bapak Sukma, tempat ia berkarya dengan puluhan seniman yang berasal dari penduduk setempat.
Pak Sukma memamerkan perabotan musik yang beliau punya. Satu per satu, ruang tempat penyimpanan alat musik yang beliau punya kami susuri. Kami berhenti di ruang dengan pilar-pilar kayu sebagai penopang dan beberapa alat musik daerah sebagai pelengkap ruangan itu. Kami diminta duduk setengah lingkaran.
Beliau bertanya kepada kami, ”Kalian bisa main alat musik apa?”
Suara hening cukup lama menghinggapi diri kami sampai salah satu dari kami bernama Bima mengeluarkan suaranya. ”Aku bisa main alat musik sampe, Pak. Titih piawai bermain gambus, sedangkan Tantri jagonya bermain seruling,” ucap Bima pamer. Untuk membuktikan, Pak Sukma menyodorkan kami alat musik yang kami sebutkan, kemudian memainkannya di hadapan beliau.
Baca juga: Menjadi Burung Pingai dalam Lima Babak
”Titih, permainan musikmu membuatku ingin menari. Syahdu, sangat syahdu alunan musik dari gambusmu. Kau ternyata sudah sangat piawai memainkan alat musik ini. Keren.”
”Untuk Tantri, dalam bermain seruling ada yang namanya mengolah napas kau pahamilah hal itu, agar permainan serulingmu tidak terputus–putus.”
”Dan untuk Bima, petikan jari jemarimu menghipnotis jiwa. Permainan sampemu sangat indah, Kau pasti sering berlatih, ya?”
Masukan beliau kami cerna dan lumat agar mudah ditelan. Pak Sukma beranjak izin meninggalkan kami bertiga. Titih dan Bima bangun dari duduknya bersorak girang atas pujian yang ia dapat. Pujian itu membuat mereka seperti dapat menguasai langit ketujuh, menginjak yang tak dapat menandingi besarnya kaki mereka.
”Musik daerahku lebih elok terdengar! Lihat kan kalian bagaimana Pak Sukma melontarkan pujiannya kepadaku?” ucap Bima.
Di sisi lain, alis Titih mengkerut menunjuk raut tak senang. ”Hei! Kau lupa, Bima? Aku bermain hingga membuat Pak Sukma ingin menari. Itu artinya suara musik daerahku yang patut mendominasi!”
’Musik daerahku lebih elok terdengar! Lihat, kan, kalian bagaimana Pak Sukma melontarkan pujiannya kepadaku?’
Silat lidah mengusik renungku. ”Diam!” teriakku. ”Kalian lupa kah, kita kemari dengan tujuan apa?”
Suara lain dari seorang pemuda kemudian meninggi menelan suaraku. ”Bodoh kau, alat musik apa itu tadi?! Kau berkata sok pahlawan karena permainan dan alat musik daerahmu yang buruk itu.”
Datang jauh-jauh ke Agra berniat mencari inspirasi dan belajar bersama untuk meraih penghargaan di ”Cipta Musik”, tapi ego diri masing-masing justru yang menggagalkannya. Cangkir kami penuh. Ketika masih ada air di dalamnya, bagaimana bisa mengisinya dengan apa-apa yang membantu kami bermusik?
Titih bahkan berkata, ”Ah, sudahlah. Dari pada berdebat, aku lebih baik pergi. Masih banyak hal-hal di Agra ini yang dapat membantuku bermain musik lebih indah.”
Tak mau kalah, Bima juga melakukan yang sama. Sang pemuda beranjak dari tempatnya duduk dan segera menjelajah sisi lain Agra untuk mengasah permainan sampenya. Aku hanya bisa menghela napas. Yang berasal dari Bali tak banyak tahu tentang tanah Gowardan, apalagi Agra. Aku hanya bisa berkeliling sanggar seni tempat Pak Sukma berada.
Bentang alam Agra sungguh berbeda. Selagi mendinginkan hati setelah dibakar emosi, aku mengamati bangunan-bangunan Agra, orang-orang Agra, dan macam-macam budaya setempat. Semuanya berbeda dengan Bali. Bagiku, pulau di mana untuk pertama kalinya aku belajar jalan dan pulau di mana selama bertahun-tahun memberiku kasih sayang adalah tempat terindah di muka bumi. Kehilangan suasana yang telah menemaniku nyaris seumur hidup menghasilkan rasa masam di lidah. Alisku terkulai layu, sedangkan cahaya di mataku meredup.
Baca juga: Nyanyian Maritim Nusantara
Pak Rajo mungkin khawatir melihat semangat pergi dari tubuhku. Pria paruh baya yang kebetulan berpapasan denganku itu menghampiriku dan bertanya, ”Tantri, mengapa kau sendiri? Ke mana yang lainnya?”
Aku menggeleng dengan lesu. Suaraku hambar saat menjawab, ”Entahlah. Kata mereka mau mencari inspirasi.”
”Kau sendiri bagaimana? Tidak mencari inspirasi juga?”
Aku menaik-turunkan pundakku. ”Mungkin. Entahlah. Agra dianggap sebagai tempat yang mampu memberi ide dengan kekayaan alamnya, tapi aku berbeda. Bali-ku hanyalah tempat yang bisa membuat hatiku tergerak.”
Percakapan itu sungguh pilu. Alam bawah sadarku tahu perkataanku mungkin menyakiti hati Pak Rajo. Pujianku terhadap Bali bisa saja dianggap sebagai penghinaan Agra. Setidaknya, hanya dalam benak aku berprasangka. Pak Rajo bukanlah orang yang mudah tersinggung. Guru yang baik justru khawatir melihatku murung.
Pak Rajo berkata, ”Tantri, Bapak yakin apa yang kamu katakan itu benar. Bapak belum pernah mengunjungi Bali-mu, tapi yakin itu tempat yang indah. Meski begitu, maukah kamu memberi Agra kesempatan? Maukah kamu memberi tanah yang baru bagimu ini kesempatan untuk membantu senyum di bibirmu merekah?”
Pupilku melebar. Kuamati sekeliling dengan kikuk. Awalnya hanya monokrom yang kudapat. Butuh waktu lama untuk mengabulkan permintaan Pak Rajo dalam menerima sekitar. Merasakan kegelisahanku, sang pendidik menambahkan, ”Tidakkah pohon besar di sana membuat hatimu tergerak?” Ia menunjuk tumbuhan terbesar di halaman sanggar seni. Mirip dengan pohon kayu putih di Bali, tapi rantingnya lebih lebar menaungi. ”Di bawahnya, upacara adat penduduk setempat sering diadakan. Burung-burung yang bermigrasi dari Kosala sering kali hinggap di dahannya.”
Percakapan itu sungguh pilu. Alam bawah sadarku tahu perkataanku mungkin menyakiti hati Pak Rajo.
Pak Rajo ingin menunjukkan warna yang ada di Agra dan pria itu berhasil. Tubuhku terasa ringan ketika kaki melangkah tuk berkeliling dengan sendirinya. Panca indra mencerna, memproses apa-apa yang tidak kulihat, kudengar, kuhirup, kusentuh, dan kurasa sebelumnya.
Tak seperti Bali yang memiliki tata cara penuh arti dalam membangun griya, Agra begitu berantakan ketika menyusun bata demi bata tempat tinggal warga mereka. Rumah-rumah memunggungi gunung, menyerong ke sungai. Tinggi di atas nyiur, terbenam di bawah bebatuan. Penopangnya dari kayu lapuk yang ditakdirkan hancur menjadi debu. Aku yang terbiasa dengan keindahan, jelas hanya menggelengkan kepala ketika pertama kali melihatnya.
Tak seperti Bali di mana debur ombak yang menabrak karang menjadi nyanyian pengantar tidur oleh samudra, Agra hanya memiliki keheningan malam begitu lampu dipadamkan. Doa yang dipanjatkan pada Sang Dewa, permintaan untuk dilindungi dari yang tak kasat selepas surya terbenam. Adat dan kebiasaan itu, umat Bali dan Agra memiliki perbedaan yang tak mampu diproses oleh benak fanaku.
”Namun, tahukah kamu untuk menumpuk bata demi bata, mendirikan tiang demi tiang, seluruh warga Agra terlibat? Adalah peluh dan cinta kami yang membangun Agra hingga kini. Tanpa peduli kemegahan apa istana di luar sana, bagi kami, di sinilah surga.”
”Sesaji dihaturkan, nama Tuhan dikumandangkan, dupa dinyalakan, kening menyentuh tanah, tangan dicakupkan. Itu hanyalah beberapa dari sekian banyak cara untuk memuja Yang Kuasa dan mengucap syukur atas kebaikan semesta. Tidakkah pada akhirnya pujian-pujian itu bermuara pada entitas yang sama?”
”Sama halnya seperti makanan. Baik nasi, rebusan ubi, atau panggangan roti, semua itu ada untuk mengenyangkan perut dan melanjutkan hidup. Sama halnya dengan minuman. Baik air murni, seduhan teh, atau perasan sari buah, semuanya sama-sama diteguk demi melepaskan dahaga.”
”Pinggul digoyangkan menciptakan tarian. Gerakannya cepat atau lambat, sang penari dapat dipastikan merasa bebas mengekspresikan hatinya. Alunan melodi dikumandangkan. Ada yang menggelitik telinga, ada juga yang berdentum menggetarkan jiwa. Berasal dari alat musik yang berbeda, tapi kesenian itu sama-sama mampu meramaikan hati yang sunyi.”
Menyelam di antara undagi Arga, pemilik warung makan tradisional, dan balai tari Agra membuat cangkirku terisi dengan pemikiran itu.
Baca juga: Kuda Panandang Kajar
Suasana di Bali dan Agra tumpang tindih di dalam benakku. Perbedaan keduanya begitu kontras namun aku tidak menemukan keburukan di dalam masing-masing wilayah. Yang ada, sebuah ide brilian yang nampaknya orisinal terbesit di benakku. Bagaimana jika budaya-budaya Bali dan Agra dikolaborasi? Tidakkah keduanya akan melengkapi satu sama lain?
Meskipun Agra berbeda dengan Bali, selama menginjakkan kaki di bumi pertiwi, akan ada beberapa yang serupa. Udara yang dapat dihirup patut disyukuri. Pepohonan yang menjadi tabir dari terik sang mentari berjasa bagi orang-orang yang bernaung di bawahnya.
Inspirasi sebenarnya bisa datang dari mana saja. Tiba-tiba aku merasakan ketenangan yang kupikir hanya bisa didapatkan dari tanah aku dibesarkan. Seruling kuangkat. Napas kuhembuskan ke rongga di dalamnya. Begitu udara melewati celah lubang-lubang, alunan merdu penyejuk jiwa terdengar. Jemari menari di atasnya dan musik pun tercipta.
Matahari mulai meredup di ufuk barat dan aku masih menikmati permainan serulingku. Mata kupejamkan, hati kudedikasikan sepenuhnya dalam penghayatan, dan aku pikir musik ini akan lebih indah jika ada petikan sampe dan gambus yang mengiringinya. Suara dari masing-masing alat musik akan memperkaya lagu. Bersama-sama, ketiganya akan menguatkan satu sama lain.
Kebijaksanaan semesta sontak menyadarkanku. Jemariku membeku di udara dan permainan seruling pun terhenti. Perlahan, aku membuka mata dan keindahan senja segera menyambut. Ketenangan jiwa membuat kepekaan pada alam sekitar menajam. Waktu dapat dikatakan senja ketika matahari hendak terbenam, bergantian menerangi bumi dengan bintang-bintang yang gemerlapan.
Namun, apakah hanya matahari yang berperan dalam menciptakan indahnya senja? Bagaimana dengan padi-padi yang berubah keemasan? Bagaimana dengan guratan ungu kemerahan langit yang menjadi tanda bagi hewan-hewan malam untuk bangun dan mencari makan? Segerombolan burung terbang meramaikan angkasa. Siulan mereka seolah menjadi musik alam penenang jiwa.
Di bumi ini, keindahan tidak dapat dicapai hanya dengan satu elemen. Melalui penggabungan yang mati dan yang hidup, yang besar dan yang kecil, hewan, tumbuhan, dan manusia, semuanya berbeda namun membentuk keselarasan dan menciptakan eksistensi baru yang satu. Melalui seruling, sebuah lagu mampu kucipta. Tapi jika mendapat perpaduan sampe dan gambus, mungkin tim sekolahku akan memiliki kesempatan untuk memikat hati para pendengar.
Di bumi ini, keindahan tidak dapat dicapai hanya dengan satu elemen. Melalui penggabungan yang mati dan yang hidup, yang besar dan yang kecil, hewan, tumbuhan, dan manusia, semuanya berbeda namun membentuk keselarasan dan menciptakan eksistensi baru yang satu.
Dengan kesadaran itu, aku segera berlari menemui Pak Rajo. Raut wajahku jelas berbeda. Itu membuat sang guru tersenyum menghapus kekhawatirannya yang sempat ada. Dengan detak jantung yang menderu, aku berkata, ”Izinkan saya untuk mencari teman-teman. Saya membutuhkan mereka seperti mereka membutuhkan saya.”
Di bawah pantulan bulan yang mulai bersinar di langit malam, manik mata Pak Rajo berbinar. Entah kebahagiaan apa yang beliau rasakan di hatinya. Yang aku dengar hanya kabar dari sang guru yang baru saja disampaikan. ”Titih izin pergi ke kuil di selatan Agra dan Bima memutuskan untuk mengunjungi keluarganya di dekat sini, bawa lampu semprong sebagai bekal perjalananmu.”
Semangat yang menggebu di hatiku membuatku tak sabar untuk menemui teman-temanku. Perdebatan beberapa jam yang lalu seolah sudah sangat lama terjadi. Penghinaan yang sempat kudapatkan tak lagi menjadi bensin yang membakar amarah. Optimisme dalam genggaman. Sembari menyusun kata maaf dalam benak yang nantinya hendak disampaikan, aku melangkah lebih jauh meninggalkan rasa nyamanku.
Berkeliling di sekitar sanggar seni, batang hidung Bima tak kunjung nampak. Menyeberangi wilayah hingga ke selatan, kuil yang seharusnya menjadi tempat Titih berkunjung tak ditemukan. Ego dan kesombongan manusia menjadi penyebab perpecahan. Merasa kedamaian mampu dicapai seorang diri dan memandang rendah yang lain.
Baca juga: Ikan Tua dan Laut
Aku memahami pemikiran mereka. Tidakkah aku juga seperti itu selama ini, mengagungkan Bali di atas Gowardan, membandingkan Bali dengan Agra? Sekarang, setelah menyadari kebenaran hakikat, aku bersedia menjadi pionir untuk meruntuhkan dinding pembatas.
Sampai larut malam aku mencari. Ditemani rembulan, dilanda lelah yang menguasai fisik, aku tidak peduli. Semua yang baik butuh pengorbanan. Kepada Dewa aku meminta pertolongan dan atas kehendak-Nya lah kami akan bersua. Jika hari ini belum bisa, aku akan mencoba lagi besok.
Wajahku terguyur raut lesu. Semangat kebersamaan masih membara, tapi aku tak bisa mengabaikan kekecewaan yang ada. Wajah tertunduk, langkah memberat, dan pundak merosot. Seperti itulah penampilanku di saat menyerah menjadi pilihan yang menggiurkan. Ada keraguan yang terbesit di benak. Jika hanya satu yang berangan, bagaimana bisa dua lainnya menerima? Apakah maaf akan cukup untuk membawa mereka kembali? Apakah penjelasan akan makna persatuan tidak dianggap hanya angin lalu oleh orang-orang yang sibuk mengagumi kelebihan diri?
”Bima, Titih, kalian di mana?” bisikku pada kehampaan. Dan seolah Dewa membantah keraguanku, suara orang-orang yang memenuhi kepalaku siang dan malam terdengar. ”Kami di sini,” seolah menjadi mantra yang mampu merekahkan hati yang sempat layu. Aku mendongak.
Dua sosok yang kukenal berdiri agak jauh di belakangku, tengah menyambutku dengan senyum hangat dan binar mata seterang bintang di langit utara. Bima dan Titih di sana, Wajah mereka damai tanpa ego yang belakangan ini kuanggap menghantui kemurnian hati mereka. Sekarang, tak lagi penting siapa yang salah dan benar. Karena kita sudah kembali bersama
Kami bertiga kemudian memandang satu sama lain. Itulah kedamaian. Membiarkan angin berhembus melalui kita, menjadikan kesunyian untuk memproses keindahan semesta. Permintaan maaf tak lagi dibutuhkan. Penjelasan akan apa-apa yang kami lalui hingga bisa kembali bertemu tak perlu disampaikan. Kami mengerti. Merasakan hati masing-masing kami sudah memahami kalau persatuan yang kami pilih.
Perjalanan hidup akan terus berlanjut. Yang lalu akan menjadi kenangan berharga untuk bekal kebijaksanaan di masa depan. Tempat baru, orang-orang baru, dan situasi baru tentu akan menyulitkan di awal. Dengan sedikit adaptasi, perbedaan tidak lagi menjadi jurang yang menghalangi seseorang untuk berkarya. Ketika perbedaan itu dirangkul dan menjadi warna- warna dalam barisan cat, kanvas putih yang kosong dapat melahirkan lukisan indah.
Ni Komang Nitiari Utami, lahir di kota Klungkung, Bali. Saat ini tengah menempuh pendidikan di SMA Negeri 1 Semarapura