Ibuku, Perempuan dari Pulau Rote
Ia rindu lagu tradisional Rote ”Ova Langga”, rindu pada suara petikan sasando bercampur debur ombak Pantai Nembrala.
Teman-temannya selalu memanggil dia dengan nama Perempuan dari Pulau Rote. Dia memang tak mau menutupi asal-usulnya. Baginya Rote tak sekadar pulau yang membuat dia ada. Tapi, pulau itu telah menggiringnya hingga dia menjadi perempuan yang mampu menghadapi segala problema kehidupan yang dialaminya. Perempuan itu pernah tinggal di sana selama hampir dua belas tahun. Dari pulau itu pula dia memiliki marga, yaitu Saba, marga yang disandang kakek dan ayahnya.
Kakeknya pernah menuturkan kalau silsilah keluarga mereka masih ada hubungannya dengan Raja Bilba yang ke-19. Menurut kisah kakeknya, Raja Bilba itu bernama Stefanus Saba, dia memerintah ndao (pulau) di Rote pada abad ke-18. Perempuan bermarga Saba ini tidak mempermasalahkan jika ia juga dipanggil Nona Rote. Ia pun santai saja tatkala teman-teman menggodanya dengan mengatakan, keturunan Raja Bilba yang tak nyata. Artinya, bisa saja ia berbohong tentang kisah asal-usulnya itu agar disangka keturunan ningrat.
Meski sosok sang raja tak pernah diketahuinya dan apakah dia benar-benar pernah memerintah di Rote Ndao, dia tak mau ambil pusing. Marga ayahnya Saba, itu yang menjadi wujud nyata dari silsilah dan sejarah kehidupannya.
Perempuan bermarga Saba ini tidak mempermasalahkan jika ia juga dipanggil Nona Rote.
Ketika ayahnya yang berprofesi sebagai mantri cacar dimutasikan ke Bima, Sumbawa, maka perempuan yang berasal dari Pulau Rote tersebut menyimpan kenangan tentang tempat tinggalnya di sebuah desa kecil bernama Ba’a. Ia harus ikut orangtuanya ke Bima, ia juga musti mengikuti keinginan Ibunya yang bermarga Taka, masuk ke Sekolah Guru Bawah (SGB) di kota itu.
Bagi Ibunya, menjadi guru adalah profesi yang sangat bermartabat karena bisa mencerdaskan generasi yang akan datang. Dan satu lagi kebanggaan sang Ibu, dengan menjadi guru putrinya si Perempuan dari Pulau Rote itu akan ditahbiskan sebagai pegawai negeri sipil. ”Nanti setelah lulus kau masuk Sekolah Guru Atas. Lalu kami akan mengurus segala persyaratan agar kau menjadi pegawai negeri seperti bibi, paman, dan saudara Ibu yang lain. Jangan mencari pekerjaan yang berbeda, hidupmu akan susah, nanti kau tidak mendapat uang pensiun bulanan. Papamu meski seorang mantri cacar, dia PNS. Itu sebabnya kita tidak pernah kekurangan makanan. Kau camkan nasihat Ibu,” kata ibunya.
Maka, Perempuan dari Pulau Rote itu dengan terpaksa harus meninggalkan pulau yang meski gersang, namun menurutnya indah. Ia sangat cinta pada makanan yang kesemuanya diperoleh dari pohon lontar. Di Bima, pohon lontar mungkin tak ada, pikirnya. Perempuan ini kemudian merenungi kelak seperti apa nasibnya jika tinggal di sana. Namun, ia harus patuh pada orangtuanya. Tinggal di Pulau Rote dengan saudara-saudara ayahnya bukan pilihan yang menggembirakan. Terkadang apa yang mereka ucapkan kerap tak sesuai harapan. ”Iya, nanti kami jaga adik Nona baik-baik di sini. Bu jangan cemas,” ujar pamannya ketika dia melihat Perempuan dari Pulau Rote itu tampak enggan ikut orangtuanya ke Bima.
”Tidak, lebe baek dia ikut kitong. Di Bima pendidikannya akan lebe bagus. Dia harus jadi guru seperti sepupu-sepupu dia pung Mama," kata ayahnya. Dan, sang ayah tampaknya mengerti benar tentang arti ketulusan ucapan. Ada ungkapan dengan dua kata yang bernada satir. Sindiran dengan sebutan ”otak Rote” pada suku itu, terkadang benar adanya. Ayah Perempuan dari Pulau Rote ini sangat paham dengan karakter orang sekampungnya, yaitu lebih banyak ucapan yang keluar dari mulut, tapi berbeda dengan kenyataan yang ada. Ketika tugas untuk pindah ke Bima dari Rote datang, ia senang. Ia merasa berkarier di Bima akan lebih cerah dan memiliki kehidupan yang lebih baik dibanding dengan kampungnya sendiri.
Baca juga: Namaku Demensia
Dugaannya benar. Karier sang mantri cacar dengan cepat melesat. Di Bima, orang-orang sekitarnya sudah menganggap dia seperti dokter. Tak hanya penyakit cacar, penyakit lainnya pun mampu ia obati. Dan, sang putri si pemilik nama Perempuan dari Pulau Rote ini tetap menggunakan nama itu meski nama tersebut agak panjang dan sedikit aneh. Teman-teman sekolahnya cepat akrab dengannya. Ia cerdas dan pandai ilmu pasti. Selain berwajah cantik, Perempuan asal Pulau Rote ini mulai membaur dengan teman-teman di tempatnya menimba Ilmu. Ia populer, hingga suatu saat, ada seorang guru yang masih bujangan jatuh cinta padanya. Dan, guru itu juga berasal dari Rote Ndao, bersuku Thie. Ia bermarga Messakh.
Gelagat cinta bak Romeo dan Juliet, terbaca oleh sang ayah. Nona Rote ini juga mengalami gejala yang sama. Terpikat dan luluh pada kasih sayang yang disodorkan sang guru. Maka, cinta yang meluncur bagai anak panah itu tertuju pada sasaran yang tepat. Perempuan dari Pulau Rote ini menerima lelaki itu menjadi suaminya usai lulus SGB. Ayahnya si mantri cacar dan sang Ibu tak bisa menolak pinangan Sang Guru, sebab mereka pemuja profesi guru. Pernikahan terjadi sesingkat kisah cinta antara sang murid dan si guru. Adat Rote yang menurut ayah Perempuan dari Rote itu rumit, tidak masuk ke dalam ritual pernikahan ini. Mereka menikah seperti layaknya pernikahan di negeri Barat sana; diberkati di gereja, makan-makan, setelah itu sang pengantin perempuan dibawa oleh si pengantin laki-laki ke rumahnya, sebuah rumah instansi pemerintahan yang dikhususkan untuk para guru.
Empat anak kemudian lahir dari pernikahan itu. Kegelisahan menjadi guru dengan gaji yang kerap datang terlambat di masa itu membuatnya resah. Sang guru yang menyukai dunia teater dan sastra merasa menjadi guru di daerah terpencil tidak lagi memiliki masa depan yang cerah sekaligus memberikan kehidupan yang lebih baik untuk anak-anak dan istrinya. Sepasang suami istri asal Rote Ndao ini mulai memikirkan jalan keluar terbaik yang harus mereka lakukan.
Gelagat cinta bak Romeo dan Juliet terbaca oleh sang ayah.
Sang Guru akhirnya mengambil keputusan yang tegas. ”Kitong harus pindah ke Jakarta,” katanya pada sang istri.
”Lalu, kau mau kerja apa di sana? Kau mau tinggalkan kariermu sebagai guru dan PNS?” tanya istrinya. Perempuan dari Pulau Rote itu terlihat cemas.
”Iya. Sekarang saja kau tahu kitong sudah tiga bulan belum dapat gaji. Untung ada kebon jagung dan ubi. Tapi kalau anak-anak terus makan jagung juga ubi, mereka akan kekurangan gizi. Nanti mereka tidak pandai di sekolah,” ujar sang guru khawatir.
Istrinya merenung. Ia teringat akan ibu dan ayahnya yang selalu bangga dengan profesi guru dan PNS. ”Apa yang terjadi kalau Papa dan Mama tahu kitong pindah ke Jakarta dan kau keluar dari PNS?” tanya istrinya.
Sang Guru terdiam. Setelah menunggu selama empat bulan, gajinya sebagai guru barulah datang dari Jakarta. Dan, Sang Guru sudah tak bisa mentolelir lagi perasaannya, ia siap menghadapi risiko. Ketika dia desersi dari tugasnya sebagai guru SGA yang PNS, lalu memboyong anak-anak dan istrinya ke Jakarta, pemutusan hubungan sebagai menantu terjadi secara sepihak. Ibu si Perempuan dari Pulau Rote mengamuk dan tidak lagi mau mengakui Sang Guru sebagai menantu. Semua barang termasuk sepeda yang menjadi moda transportasi yang pernah diberikan diminta kembali oleh ibu mertuanya.
Baca juga : Emas dan Batuk Tarman yang Menggila
”Dasar menantu gila. Sudah bagus jadi guru dan PNS, ini malah mau ke Jakarta dan jadi tukang tulis,” gerutunya. Yang ia maksud tukang tulis adalah wartawan. Sebab, seperti yang diucapkan Sang Guru menantunya itu, dia akan menjadi tukang tulis untuk sebuah koran setelah berada di Jakarta nanti. Dia juga akan menghidupi keluarganya dengan gaji dari menulis.
Perempuan dari Pulau Rote pasrah mengikuti alur keinginan sang suami menjadi jurnalis. Sebuah profesi yang baru ia ketahui. Jakarta telah menggiringnya pada wadah kehidupan baru yang jauh berbeda dari tanah Rote.
Tak ada yang pernah menyangka bahwa suatu saat kelak, tatkala sang suami beralih menjadi seorang penulis sastra seutuhnya dan meninggalkan dunia jurnalistik. Kehidupan perekonomian mereka kian bertambah runyam. Perempuan dari Pulau Rote ini harus berjuang dengan bekerja di sebuah perusahaan asuransi untuk membantu perekonomian keluarganya.
”Jika tahu begini nasibku, lebih baik aku tetap berada di Rote Ndao. Kawin dengan pemuda Rote, menyadap nira, membuat gula lempeng, membuat tenun ikat dan menjualnya pada para turis-turis yang melakukan olahraga surfing di Pantai Nembrala. Hidupku akan lebih sejahtera ketimbang menikah dengan lelaki yang memilih jadi seniman ini,” katanya kesal seperti menyalahkan dirinya sendiri. Perempuan dari Pulau Rote itu juga menyesali jalan hidupnya, mengapa ia tidak menjadi guru dan ASN, seperti yang diinginkan ibunya.
Hidupku akan lebih sejahtera ketimbang menikah dengan lelaki yang memilih jadi seniman ini.
Begitulah, kisah mereka kusimpan baik-baik di benak ingatanku. Ayahku Sang Guru yang penulis itu telah tiada, ia dimakamkan di TPU Fatukoa Kupang, Nusa Tenggara Timur. Aku selalu ingat pesannya, ”Nak, beta ingin pulang kampung, tanam jagung dan pohon lontar.”
Tentang ibuku, aku merenunginya bersama absurditas kehidupan yang teramat menyedihkan. Kesedihan dan tempaan hidup membuat Perempuan dari Pulau Rote ini lupa pada dirinya sendiri. Kisah hidupnya menjadi cerita yang sangat memilukan bagiku. Aku selalu meneteskan air mata bila ingat akan ibuku. Ia yang kerap mengitari kota Jakarta, lupa jalan untuk pulang. Penyakit demensia yang ia derita semakin parah, ia menghilang tanpa pernah ditemui jejaknya.
Sebagai anak, janjiku padanya tak pernah terlaksanakan. Perempuan dari Pulau Rote itu selalu berkata ingin kembali kampung halamannya. Ia rindu pada lagu tradisonal Pulau Rote atau Rote Ndao yang berjudul ”Ova Langga”, rindu pada suara petikan sasando yang terdengar sayup-sayup bercampur suara debur ombak Pantai Nembrala. ***
Baca juga: Hantu dalam Foto Alexey Titanrenko
Fanny J Poyk, bernama lengkap Fanny Jonathans Poyk, lahir di Bima, Sumbawa. Menulis cerita anak dan puisi sejak tahun 1973/77 di majalah anak Bobo, Tom Tom, Halo, Ananda, kolom Sahabatku Sinar Harapan, kolom anak Suara Karya, majalah anak Kuncung, dan lain-lain. Menulis cerita dewasa/remaja di majalah Sarinah, Pertiwi, Puteri Indonesia, Gadis, Kartini, surat kabar Sinar Harapan, Jurnal Nasional, Suara Karya, Pikiran Rakyat, Bali Post, Surabaya Post, Kompas, Jawa Pos, Dalang Publishing (Amerika Serikat), Timor Expres, Koran Ekspres Sabah Kinabalu, dan lain-lain. Fanny tinggal di Depok dan masih terus menulis.