Harry Sapono dan Sekantung Foto
Kota itu tak ubahnya hutan gaya baru yang dihuni oleh manusia-manusia berwatak binatang.
Kunjungan tak terduga Harry Sapono ke sebuah kota melahirkan satu pertanyaan: ”Sebegitu murahkah harga kebenaran?”
Kota itu kini terkemas rapi dalam kertas-kertas foto beraroma tajam yang tak lepas dari pelukannya. Tiada barang lain selain koper kecil berisi pakaian seadanya, plastik kusam berisi foto-foto, dan kamera lawas miliknya. Harry Sapono percaya jantungnya terlalu tua untuk semua ini, tapi bukankah kebenaran tak mungkin terbeli dan bukankah Tuhan memandanginya dari atas sana?
Bersama seorang lelaki asing pembawa gerobak yang kelihatan tak berakal sehat, subuh itu juga si pengarang yang tak lagi setenar dahulu itu meninggalkan kota dalam kegelisahan yang dahsyat. Tak ada pikiran selain bahwa mungkin dia berakhir di kuburan pahlawan; orang-orang itu dibayangkan mengejar dirinya, memburunya selaiknya binatang lemah, mengepungnya dalam radius tertentu, dan saat misi mereka tercapai, kematian melingkupi tubuh renta Harry Sapono dengan jalan yang terlalu ngeri untuk dikhayalkan. Orang-orang itu sudah pasti bakal menggali tanah untuknya, lalu melempar tubuh tak bernyawanya ke lubang itu, tubuh yang barangkali bersimbah darah atau mungkin juga terpotong menjadi beberapa bagian atau lumat atau tiada lagi yang dapat terlihat sebagai sisa-sisa manusia kecuali hanya sebagai tumpukan tulang dan kulit dan rambut, dan para pemburu menguruknya tanpa doa atau upacara dengan tangis air mata dan kata-kata penghormatan.
Baca juga: Jodoh Piutang
Harry Sapono tak merasa ia pahlawan. Tak banyak yang diperbuatnya sedari muda kecuali mengarang banyak buku dan memikat sekian banyak manusia yang menurutnya bodoh; ia tak menganggap buku-buku karyanya baik untuk pencari ilmu sejati atau penggila sastra. Harry Sapono merasa ia menulis cuma untuk bertahan hidup. Namun, jika saja dia harus mati hari ini, dia tahu di mana tempatnya berakhir.
”Bagaimana Anda yakin bakal dikubur bersama para pahlawan?” tanya seseorang setelah perjalanan dengan gerobak reot itu memakan waktu lebih dari tujuh jam.
Kini Harry Sapono agak bisa bernapas lega karena kota itu tertinggal cukup jauh di belakang. Meski begitu, dia tetap waspada. Dia dan pemilik gerobak beristirahat di sebuah kedai minum.
”Tak cukup waktu mengisahkannya,” jawab Harry Sapono.
Bagaimana Anda yakin bakal dikubur bersama para pahlawan?
Si penjaga kedai terlihat bingung sekaligus tak puas atas jawabannya, tetapi tak ada lagi kata-kata.
Pengarang tua itu mengira ia tak perlu terlalu banyak bicara, kecuali mengutarakan apa yang membuat mereka berdua tadi terlihat cemas dan kelelahan ke penjaga kedai.
Di hari-hari begini, sedikit orang yang dapat dipercaya. Bahkan saudara sendiri bisa memangsa saudara kandung demi uang yang tak seberapa. Itulah kenapa Harry Sapono sedikit mengubah cerita; ia mengaku diburu beberapa perampok dari hutan yang kejam dan mereka sudah pasti akan membunuhnya dan jasad tuanya akan dibuang sekenanya.
Hanya saja, penjaga kedai tak terlalu paham. Bahkan orang yang menariknya sejak tadi dengan gerobak itu pun juga tampaknya tak terlalu mengerti tentang apa yang sebenarnya berlangsung di sebuah kota di kaki gunung, yang beberapa abad lalu sempat menjadi kota terindah di selatan negeri ini.
Baca juga: Mengapa Mereka Tak Kunjung Datang
Di mata Harry Sapono, orang-orang seperti inilah yang berbahaya jika terus dibiarkan dicekoki ide-ide anti-kebenaran, dan tak sedikit dari mereka kemudian cenderung bersikap tak manusiawi. Kota itu dihuni entah berapa banyak manusia macam si penjaga kedai dan penarik gerobak; tidak butuh waktu lama sejak bencana dahsyat meluluhlantakkan seisi kota, cara hidup orang-orang di kota tersebut berbalik 180 derajat dari para leluhur mereka yang beradab.
Harry Sapono menyaksikan itu dengan mata kepalanya sendiri; harga kebenaran amat murah, dan tidak laku seandainya seseorang menjualnya dengan sekeping koin dengan nilai terendah. Orang-orang lemah tertindas dan sebagian besar mati sia-sia.
Hanya dengan uang atau emas hal-hal tertentu bisa direngkuh. Tak ada yang dapat kabur. Si pengarang tua sendiri tak mengerti kenapa Tuhan tak memberinya petunjuk sedikit pun tentang itu? Kenapa tak ada informasi yang beredar tentang kota tersebut, yang kini tak ada bedanya dengan hutan rimba?
Baca juga: Uni Rubiyah dan Bang Kundat
Harry Sapono menimbang sekali lagi apakah dia melanjutkan langkah dengan Ali Subadri, si penarik gerobak, atau tidak? Sepanjang perjalanan, lelaki asing yang terlihat menganggur di bawah sebatang pohon kersen itu, yang ketika melihat Harry Sapono di kegelapan susah payah berlari dengan tubuh tuanya menawarkan bantuan agar lelaki tua itu tak lelah dalam mencapai tujuan (entah ke mana pun itu), sering bertanya apa yang bikin Harry Sapono harus lari tunggang langgang di waktu sepetang itu?
”Bahkan ayam jago belum beraksi, Pak Tua,” begitu kata Ali Subadri subuh itu, dengan tampang ceria hingga gigi-geliginya yang tonggos tampak berkilauan di depan cahaya senter yang pengarang itu sorotkan.
”Aku mungkin saja dikejar orang-orang kota itu!” jawab Harry Sapono.
”Oh, ya? Mari saya antar. Saya bisa menarik Anda secepat mungkin, walau ini gerobak busuk yang sudah bertahun-tahun mengangkut domba, tebu, padi, rumput pakan ternak, atau anak-anak saya yang sulit diatur! Mari naik!”
”Tolong bawa saya sejauh mungkin dari sini.”
”Memangnya siapa orang-orang kota itu?”
”Orang-orang yang mungkin saja bakal membunuh saya.”
”Kenapa?”
”Uang saya habis. Sudah, saya mohon jalan saja!”
Tolong bawa saya sejauh mungkin dari sini.
Gerobak Ali Subadri melaju, tetapi pria itu terus bertanya, dan tentu Harry Sapono memberi jawaban seperlunya. Mereka mengobrol beberapa lama sampai akhirnya si pengarang tua itu yakin betapa penarik gerobak ini tak terlalu berbahaya dan terlihat tak waras juga; ia lantas menuturkan kisah selengkapnya terkait kota yang baru saja mereka tinggalkan. Tujuh jam mereka berbincang-bincang, sementara penarik gerobak seperti tak kenal lelah membawa mereka berdua menjauh dan terus menjauh.
Ali Subadri bukan penghuni kota itu. Sepengetahuan Harry Sapono, tak ada penghuni kota asli yang berkeliaran di luar gerbang kota sebagaimana yang terjadi pada si penarik gerobak. Mereka menutup akses dari luar dan karena itulah tidak ada yang tahu rahasia-rahasia gelap kota tersebut.
Orang luar hanya mengira, ”Kota tua itu kehilangan masa jayanya.”
Dulu Harry Sapono berpikir begitu, tapi setelah melihat peristiwa dan fenomena mengerikan yang telah dianggap budaya dan rutinitas belaka di kota tersebut, ia bukan lagi menyebutnya ’kota yang kehilangan masa jaya’ melainkan juga ’kota yang mengubah wajahnya sendiri’.
Baca juga : Pindah Rumah
Betapa tidak? Kini kota itu dihuni orang-orang tidak beradab yang biasa menelan sarapan berupa sesama mereka. Segala upaya dihalalkan demi mencapai tujuan-tujuan. Kejahatan berkuasa dan kebenaran sama sekali tak berlaku. Kota itu tak ubahnya hutan gaya baru yang dihuni oleh manusia-manusia berwatak binatang. Hanya uang sajalah yang menolong si pengarang tua yang kebetulan tersesat itu; Harry Sapono berkali-kali mengutuk diri kenapa harus tersasar ke kota terkutuk macam ini? Kenapa petualangan yang telah dia rencanakan sejak muda, untuk mengisi masa-masa pensiunnya demi foto-foto indah dari penjuru dunia, harus berakhir di sini? Bagaimanapun, kini ia telah kabur dan berada cukup jauh dari kota itu.
Setelah membayar si penjaga kedai, Harry Sapono memutuskan ia tak harus pergi bersama Ali Subadri. Ia tak perlu bantuan gerobak kayu itu dan penariknya lagi. Ia tentu saja tak dapat membayar jasa si penarik gerobak yang terlihat tak waras dengan sekadar ucapan terima kasih. Ia letakkan sejumlah uang, lembar-lembar terakhirnya, di atas karung Ali Subadri dan pergi begitu saja.
Harry Sapono tahu ia perlu melarikan diri sekali lagi sampai benar-benar aman. Maka, ia mengambil jalan yang tak biasa; meninggalkan jalan umum dan masuk area hutan untuk terus menuju ke barat sebagaimana yang seharusnya ia lakukan. Ia memang sudah merasa cukup subuh tadi. Ia merasa cukup untuk mimpi menghabiskan waktu dengan berkelana di hari tuanya. Ia merasa cukup sehingga ia harus pulang, lalu mengabarkan pada dunia tentang kota yang mengubah kuburan para pahlawannya menjadi pusat pembuangan sampah dan kotoran dan hal-hal yang tak lagi mereka kehendaki; kota yang memberikan gelar para bajingan terlaknat sebagai orang-orang suci yang layak disembah.
Baca juga: Raja dan Batu Langit
”Foto-foto ini cukup sebagai bukti. Semoga aku bisa pulang dengan selamat. Jika pun tidak, moga orang yang waras menemukan semua foto ini dan mengabarkannya pada dunia agar tak perlu ada lagi kota-kota serupa di muka bumi,” batin Harry Sapono.
Ia pun berhenti sejenak dan menuliskan sesuatu di balik salah satu foto tersebut. Sebagai penenang diri seandainya tak mampu tiba di rumah tepat waktu.
Gempol, 2019-2024
KEN HANGGARA, lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), Buku Panduan Mati (2022), dan Pengetahuan Baru Umat Manusia (2024).