Tunggu Aku di Tugu
Kutatap cangkir tehku yang kosong, terjebak pada sebuah hari di Tugu saat aku memutuskan tak akan menemuimu lagi.
Putaran ketiga sendok teh yang mengelilingi cangkir abu-abu tepat pukul setengah lima pagi mengantarkanku ke Stasiun Tugu tepat di jalur empat. Keretaku akan tiba pukul tujuh malam dan kamu sudah menungguku sejak pukul enam sore tadi. Satu jam lebih awal, selalu begitu.
Meskipun ponsel dalam tas belum kubuka, aku tahu isinya pastilah sudah penuh dengan pesanmu.
”Sampai mana?”
”Solo.”
”Ah, sebentar lagi sampai berarti. Tak sampai satu jam kita akan bertemu. Aku pakai kaus biru yang kau belikan untukku. Kau masih ingat, kan?”
Lalu hanya beberapa menit sesudahnya, pesanmu pasti akan masuk lagi di ponselku dengan pertanyaan sama seakan-akan kau tak cakap dalam berhitung maupun memahami keterangan, betapa pun sederhananya keterangan itu.
Padahal, kau adalah si juara kelas dengan nilai-nilai yang tak pernah buruk di mata kuliah apa pun, ketua entah di berapa organisasi karena kau memang suka berteman dan berdiskusi dengan banyak orang, dan kau bahkan berhasil menikmati Aminef Fulbright yang kuiimpikan, namun tak pernah kudapatkan.
Ah, sebentar lagi sampai berarti. Tak sampai satu jam kita akan bertemu. Aku pakai kaus biru yang kau belikan untukku. Kau masih ingat, kan?
Hanya denganku, kau secara alamiah menjadi orang linglung—kerap kusampaikan fakta ini padamu yang selalu membuatmu tertawa, memeluk, dan kemudian mencium tengkukku. ”Tengkukmu adalah tempat favoritku dari seluruh bagian dunia yang pernah kutahu.” Begitu bisikmu yang selalu membuatku membeku.
Kau memang senang sekali bersembunyi di tengkukku, entahlah, aku tak ingat sejak kapan kau memulai kebiasaan itu. Kau lalu dengan halus mencium tempat anak-anak rambutku itu tumbuh dalam waktu sangat lama. Matamu terpejam seperti tidur malam panjang tak berkesudahan.
Dan perlahan-lahan kupejamkan pula mataku. Kau tahu, kan, Mas, sentuhanmu selalu berhasil menyihirku, menghentikan segala aktivitas dan akal sehatku tanpa paksaan apa pun. Luruh.
Kuputar lagi sendok tehku pelan-pelan hingga tepat di putaran kelima saat gula-gula mulai menghilang seperti juga diriku pada tubuhmu yang liat. Di dapurku ini aku bahkan mulai bisa merasakan hangat tubuh dan kehadiranmu.
Aromamu yang tersimpan rapi di ingatan menyengat hidungku bersamaan dengan aroma racikan teh yang baru saja kutuang dari ketel kaca di cangkir lainnya. Suara air yang mengalir mengantarkan ingatanku pada pantai tempat kau duduk sendirian sewaktu punggung bulan merambat menuju peraduan. Aku menghampirimu diam-diam.
Baca juga: Telunjuk
”Kenapa tak membangunkanku? Kau mau melihat matahari terbit sendirian? Untung saja matahari belum terbit. Hmmmm, nyaris terbit. Kurang sedikit lagi. Kenapa meninggalkanku?” protesku keras-keras padanya.
Laki-laki itu sedikit terkejut ketika melihatku. Sekilas aku melihat wajahnya yang mendung dan itu membuatku lebih terkejut. Apakah dia bersedih? Apakah dia kesakitan? Apa yang dia pikirkan? Kenapa wajahnya tak seperti pagi di sekelilingnya?
Mungkin laki-laki itu menangkap kebingunganku. Apakah dia cemas? Entahlah. Tak kulanjutkan lagi pikiranku karena laki-laki itu segera menarik keras-keras tanganku sambil memintaku duduk di sebelahnya.
Kini, senyum menghias wajahnya. Senyum itu sangat lebar, menghapus segera mendung yang tadi memenuhi wajahnya hingga aku menjadi ragu dengan pandanganku sendiri. Apakah tadi dia memang benar-benar bersedih?
”Sengaja,” begitu kata laki-laki itu kepadaku sambil kemudian mendekapku erat. Jawabannya itu sungguh membuatku melotot. Namun, demi melihat lengkung senyum indah yang muncul lagi di wajahnya, kemarahanku segera menguap tak tersisa. Laki-laki itu lalu tertawa keras-keras dan mencium hidungku yang kedinginan terkena angin laut.
Kenapa tak membangunkanku? Kau mau melihat matahari terbit sendirian? Untung saja matahari belum terbit. Hmmmm, nyaris terbit. Kurang sedikit lagi. Kenapa meninggalkanku?
”Nah, kau kedinginan, kan? Sudah tahu alergi dingin malah menyusulku ke sini. Orang yang alergi dingin itu di kamar saja, minum teh hangat, olahraga, baru kemudian keluar. Yuk, kembali ke kamar, kubuatkan teh mau?”
Kugelengkan kepalaku. Tidak-tidak. Aku sungguh-sungguh ingin menikmati pagi bersamamu. Rasanya menyenangkan melihat warna hari berubah bersama dirimu. Baru kali ini aku mengalaminya dan itu membuatku sungguh ingin meledak karena begitu bahagia.
Perlahan kupejamkan mataku saat aroma laki-laki itu, aroma laut, dan aroma tehku mulai bergelombang memenuhi dapur kecilku. Ah Mas, kenapa selalu ada aromamu di antara aroma teh pagiku? Bagaimana aku bisa begitu candu padamu? Bagaimana aku bisa meninggalkanmu? Dan rasanya cukup sudah kegilaanku mengingatmu….
Kuhentikan adukan sendok teh di gelasku yang entah di putaran keberapa, tak kuperhatikan lagi, saat melihat cairan manis warna kayu, kental, dan panas itu terasa amat memikat. Aku bayangkan dia mengaliri tubuhku dan membuat hidungku yang kedinginan sedikit menghangat seperti juga efek pelukanmu untuk tubuhku.
Namun, aku tahu, seberapa pun memikatnya teh panas itu, aku tak bisa meminumnya. Aku hanya bisa menunggu agar panasnya sesuai dengan lidahku. Persis seperti yang kau lakukan saat terpaku di ruang tunggu meski kereta yang membawaku telah tiba di stasiun.
Nah, kau ingat tidak, juga selalu kukatakan kepadamu, perihal mengapa dirikulah yang selalu berhasil melihatmu lebih dulu…. Kenapa bukan dirimu yang menemukanku? Seberapa pun keras usahamu mencariku, kenapa selalu aku yang menemukanmu. Kenapa begitu, Mas?
Baca juga: Hari di Mana Aku Menjadi Tua
”Mau naik becak atau kita panggil taksi ke hotel?” kata laki-laki itu membuyarkan lamunanku.
”Jalan kaki saja.”
”Hah?”
”Salah sendiri bertanya. Sejak kapan kita naik taksi ke mana-mana? Becak dan Jogja adalah kombinasi yang sempurna. Jangan diganti dong.”
Laki-laki itu meringis. Namun, aku justru menangis. Hidungku yang bekerja terlalu keras menghirup uap teh panas pagi itu pada akhirnya mengundang keberaniannya untuk menusuk mataku.
Sialan! Pada akhirnya aku mengumpat waktu. Bukan pada pukul lima pagi yang membawa terang di balik pintu dan jendela yang masih kututup rapat pada hari itu, namun pada waktu temu dan jalan-jalan pertemuan kita yang buntu. Pada dirimu.
Lengan kaus kusut seperti juga ingatanku padamu kugosok ke hidungku yang penuh ingus dan air mata yang membasahi wajahku.
”Kau tahu tidak, Mas, bahwa penyair kesayanganmu mengatakan jarak adalah pintu temu atau penguji kesetiaan, maka terkutuklah dia karena, ah, betapa sialnya aku pagi ini karena sedang banyak-banyaknya memikirkan dirimu,” rutukku dalam hati.
Dan apakah kau pikir aku juga tidak begitu. Samar-samar kudengar suaramu di antara helaan napas panjangku. Matahari kini benar-benar hadir sempurna dengan warnanya yang terang di seberang lautan. Membuat gelombang yang berulang kali datang dan pergi di bibir pantai terlihat jelas.
”Pertemuan dan perpisahan.… Stasiun, terminal, dan bandara. Begitu terus berulang-ulang. Tidakkah kau bosan, Derana?” begitu tanya laki-laki itu setengah bergumam tanpa berpaling dari bentang laut di hadapannya.
”Pernikahan… kenapa menjadi begitu sulit?” gumammu lagi entah kepada siapa.
Aku masih saja meringkuk tanpa memberikan jawaban dan lekas-lekas menghela napas panjang saat mendengar peluit panjang yang tadinya kupikir bunyi kapal yang kita naiki telah tiba di Jembrana. Sayangnya, bunyi itu rupanya hanya bunyi alarm jam beker dari kamar tengah yang menjerit-jerit diikuti suara klik di dekat kulkas.
Pernikahan… kenapa menjadi begitu sulit?
Ah, betapa cepat waktu berlalu. Beras sudah menjadi nasi di alat penanak. Aku segera menghentikan lamunan.
Kutinggalkan tehku di meja sambil bergegas menuju kulkas. Potongan wortel, bunga kol, jagung manis, dan sosis berjajar rapi di rak. Sebelum tidur, sudah kusiapkan semua agar pagi ini tak membuatku panik. Hari ini aku akan memasak sup dan perkedel kentang kesukaanmu. Aku melirik rak bawah dan melihat adonan kentang di mangkuk merah muda yang menunggu dimasukkan ke wajan sambil tersenyum puas.
”Kuharap kau akan makan banyak pagi ini. Kita tidak perlu pergi ke mana-mana karena aku memang tidak suka pergi ke mana-mana. Aku selalu suka kamar penginapan, rumah sewa, vila kecil sederhana, tenda outdoor, dan apa pun itu, asal hanya bersamamu, tidak perlu ada orang lain.”
”Jadi, jangan ajak aku ke mal karena aku lebih suka menonton film seharian bersamamu, membacakanmu puisi-puisi favorit kita, menghangatkan masakan pagi atau memesan Gofood untuk makan siang yang sangat terlambat, dan kemudian makan malam di warung-warung sekitar.”
Laki-laki itu tertawa keras mendengar rencanaku, membuat mata para pengunjung pasar tradisional mengarah kepadanya dan akhirnya dialah yang menjadi salah tingkah.
”Derana, kau tahu tidak. Kita berpisah hampir setahun dan kesempatan bertemu yang hanya beberapa hari ini kita isi dengan bertualang di pasar. Sungguh anti-mainstream. Ah, sayangku, kenapa pertemuan ini jadi merepotkanmu?”
”Kau suka sup kan, Mas? Kau pernah bilang begitu, kan? Nah, kali ini aku buatkan sup untukmu.”
”Tapi, kita bisa beli sup saja di warung, kan, Derana? Itu jauh lebih mudah.”
Aku mengangkat alis, sementara kau mengangkat tanganmu sambil tertawa, namun kali ini lebih pelan. ”Baiklah, baiklah, sayangku. Tapiiii…, besok lagi mungkin aku pilih kamar hotel yang tidak ada dapurnya saja supaya kau tidak perlu memasak dan ribut sendiri. Sungguh aku tidak ingin membuatmu repot, Derana.”
”Lagi pula siapa yang bilang aku repot?”
”Maksudmu?”
”Kau harus membantuku memasak, Mas. Apa kau pikir aku akan memasak sendirian? Tidak, tidak. Kau bukan tuan besar.”
Baca juga: Rumah Telinga
Laki-laki itu tertawa lagi sehingga aku pun ikut tertawa bersamanya. Namun sayangnya tawaku tak bisa lama karena minyak di wajan yang menciptakan ledakan-ledakan kecil berhasil memecah lamunanku. Pagi sudah benar-benar terang ketika aroma dapurku mulai berganti menjadi aroma kaldu sup yang harum.
”Matang semuanya. Kau bisa menikmatinya.”
Anak laki-laki di depanku memandangku sambil tersenyum. Tangannya mencubit pipiku. Begitulah kebiasaan paginya. Mencubit pipiku, menciumku, dan kemudian memelukku. Kelakuannya mirip sekali denganmu, Mas. Sangat manja, namun sekaligus begitu protektif. Anak kebanggaanku.
”Tumben ibu super sibukku memasak, sup lagi. Ini masakan kesukaan ayah, kan?”
”Tapi, kesukaanmu juga, kan?” balasku terkejut mendengar komentarnya yang tak kuduga. ”Ibu juga ingin memasak untukmu, Nak.”
Anak laki-lakiku itu menatapku tajam—wajahnya yang begitu mirip denganmu itu Mas melihatku lama-lama sekali hingga aku menjadi goyah.
”Ibu masih rindu kepada ayah, ya?” tanya dia tiba-tiba. Ah….
Entah karena pagi yang dingin, uap sup, atau pertanyaan remaja di depanku, namun rasanya sesak tiba-tiba memenuhi dadaku. Kutatap cangkir tehku yang kosong, terjebak kembali pada sebuah hari di Tugu saat aku memutuskan tak akan menemuimu lagi. Tidak akan pernah.
Mas, saat itu, dari sudut Tugu, aku sebenarnya bisa melihatmu dengan jelas sedang berdiri di ruang tunggu. Aku menguatkan diriku untuk tidak menghampirimu yang terus saja bergerak-gerak gelisah dengan wajah mendung dan mata yang menyapu bersih sekelilingmu.
Aku sungguh tahu perasaanmu, Mas—kau adalah pencemas nomor satu dan kau pasti sedang mencemaskan diriku saat itu. Meski tak tega, aku putuskan untuk tetap tak menghampirimu.
Pukul delapan malam, sudah lebih dari satu jam sejak kereta yang membawaku datang ke stasiun ini. Kau pastilah sangat lelah dan kebingungan.
Kita memang berjanji bertemu di Tugu pada hari itu dan aku telah memenuhi janjiku, Mas. Kau tak bisa menuduhku mengingkarinya sebab aku tak pernah berkhianat padamu. Sekali pun tak pernah.
Kau harus tahu bahwa aku sudah sampai di Tugu seperti janji kita, namun aku hanya tak mau bertemu denganmu. Itu saja.
Sebuah kabar penting yang sebenarnya hendak kusampaikan kepadamu, namun entahlah, tiba-tiba saja aku juga memutuskan mengurungkannya. Kupikir itu semua tidak akan menjadi penting lagi bagimu.
Di sudut Tugu itu, aku terus saja memperhatikan dirimu yang berkali-kali mengecek ponsel di genggaman seakan takut sebuah notifikasi paling jelas pun luput dari perhatianmu. Kau pasti kebingungan menghubungiku karena ponselku memang sengaja kumatikan.
Ibu masih rindu pada ayah, ya?
Dan sebenarnya, bukan hanya ponselku, tapi aku juga mematikan nomorku agar kau tak bisa menghubungiku lagi. Itu semua kulakukan karena aku tak ingin wanita yang mengaku istrimu itu menghubungiku lagi.
Wanita itu…. Tahukah kau Mas…. Kata-katanya yang begitu menyakitkan sungguh tak akan pernah bisa kulupakan seumur hidupku. Kata-kata itu mengendap tebal di memoriku seperti ampas kopi pahit, minuman yang paling kubenci di muka bumi ini karena selalu membuat lambungku kesakitan.
Istrimu itu, dialah satu-satunya manusia di dunia ini yang menyebutku wanita jalang dan sampah neraka. Dialah satu-satunya. Telepon tengah malam terburuk yang pernah kuterima adalah telepon dari istrimu. Ah…, kau dan istrimu itu…. Rasanya semua ini memang sudah lebih dari cukup.…
Sekarang kulangkahkan kakiku menuju kedai teh di bagian depan stasiun. Aku tahu sudah tidak ada lagi yang harus dipertahankan. Perjalanan kita sudah sampai, bukankah begitu, Mas?
Dari sudut mataku, kulihat dirimu masih saja berdiri di ruang tunggu.… Kutarik napas panjang untuk menenangkan diriku, entah sampai kapan kau akan terus berdiri di situ: menunggu sambil terus mencoba meneleponku.
Kali itu, untuk yang terakhir dalam hidupku, kukuatkan diriku untuk sungguh-sungguh wajahmu yang begitu keruh yang segera mengingatkanku pada ekspresimu di pantai kala itu.
Lalu, sebuah doa kupanjatkan ketika mataku tak lagi bisa menangkapmu yang tertinggal jauh di belakangku. Doa terbaik untuk kita berdua dan bayi mungil di dalam perutku.
Stasiun Tugu, Desember 2023.
Ayu Prawitasari, Penulis adalah jurnalis dan pengajar Bahasa Indonesia di UIN Raden Mas Said Surakarta. Cerpen dan esainya terbit di berbagai media.