Sigit Ibrahim, Penyelamat Primata Teraniaya
Dari Bandung selatan, pelestarian primata endemis Jawa terus dilakukan Sigit Ibrahim dan PRPJ-Aspinall Foundation. Keberadaannya lebih dari sekadar memperbanyak populasi di alam, tapi juga menjaga kesejahteraan manusia.
Sempat menjalani hidup sebagai pemburu satwa liar di hutan-hutan, Sigit Ibrahim (33) berubah menjadi sosok perawat dan penyelamat satwa. Sudah lebih dari satu dasawarsa ini ia menjadi teman bagi primata yang teraniaya manusia.
Maria, seekor lutung jawa timur (Trachypithecus auratus) berusia empat tahun, tiba-tiba mengeluarkan air seni bening saat petugas Pusat Rehabilitasi Primata Jawa (PRPJ)-The Aspinall Foundation hendak memberi makan daun kaliandra merah, Rabu (3/2/2021).
Saking banyaknya, air seni itu hampir mengenai Sigit dan petugas lain di bawahnya. Lutung lain di sebelah Maria juga turut bertingkah. Satwa berambut keemasan itu seketika melompat ke sudut atas kandang berukuran 2 meter x 2 meter setinggi sekitar 3 meter. Dia terbiasa menjauhi manusia yang mendekatinya.
Melihat perilaku mereka, Sigit justru tertawa bahagia. Bagi dia, ulah dua lutung itu memperlihatkan keberhasilan pendampingan. Dia semakin yakin, keduanya bakal siap dilepasliarkan tahun ini. ”Perilaku itu tanda mereka sehat dan siap dilepas di alam liar. Air seni bening tanda lutung tidak dehidrasi,” kata Sigit.
Baca juga : Primata Rehabilitasi Aspinall Foundation Jawa Barat
Kondisi itu kontras dibandingkan saat lutung-lutung tersebut datang pada Agustus 2020. Seperti banyak primata yang lama dipelihara manusia, mereka kehilangan sifat liar. Lutung itu sudah terbiasa berjalan menggunakan kaki, bukan bergelantungan. Hal itu dipicu kandang kecil yang tidak punya tempat untuk menggelantung selama mereka dipelihara manusia.
Bahkan, Sigit pernah menemui primata lainnya, owa jawa (Hylobates moloch), yang hidup seperti manusia. Makan makanan manusia dan tidur di kasur. Owa yang diberi nama Puput ini butuh lebih kurang lima tahun hingga dia kembali menemukan insting liarnya.
”Kalau seperti ini masih belum bisa dilepas di alam liar. Mereka bisa jadi sasaran empuk predator. Owa juga harusnya bergelantungan di pohon. Karena itu, di sini kami coba minimalkan kontak manusia dengan satwa, dan berikan ruang bagi mereka untuk berkomunikasi dengan sesama,” ujar Sigit.
Banyak belajar
Petualangan Sigit bersama PRPJ-Aspinall mendampingi primata korban perburuan liar hingga perdagangan ilegal dimulai sejak 2011. Selain lutung jawa, di sana ikut dirawat owa jawa dan surili (Presbytis comata).
Berada di lahan seluas 12 hektar, tempat ini berlokasi di lembah Gunung Tikukur dan Gunung Patuha, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tahun ini, selain dua lutung itu, ada 55 primata lain yang menghuni 28 kandang rehabilitasi.
Bagi saya, ini seperti penebusan dosa dari masa lalu sebagai pemburu. (Sigit Ibrahim)
Kisah petualangan Sigit itu tidak terjadi begitu saja. Sigit muda pernah ikut memburu hewan liar di hutan. Dia biasa pergi bersama ayahnya bermodal senjata rakitan. Hingga akhirnya, ulah itu berhenti pada tahun 1998 saat ditegur aparat keamanan ketika sedang berburu.
”Dari sana, saya sadar bahwa berburu itu salah. Bapak saya setelah itu juga tidak mau berburu lagi. Kami justru lebih peduli terhadap alam,” ujarnya.
Meninggalkan senjata rakitan, Sigit memilih menjadi sukarelawan hutan. Tahun 2006, ia ikut memadamkan kebakaran di kawasan Gunung Tilu, Kabupaten Bandung. Di sana, ia bertemu Made Wedana, Country Director The Aspinall Foundation-Indonesia Program, yang mengajaknya bergabung. ”Bagi saya, ini seperti penebusan dosa dari masa lalu sebagai pemburu,” kata Sigit.
Baca juga : Hazman Fillin Yusron, Merawat Hutan Kecil di Permukiman
Bersama Made, Sigit mengawali kecintaannya terhadap primata sebagai asisten peneliti. Dia lantas menjadi perawat satwa sebelum menjadi Manajer Operasional PRPJ-Aspinall sejak tahun ini.
Bukan perkara mudah menyelamatkan satwa liar. Gigitan, jambakan, dan cakaran sudah biasa ia dapatkan. Sigit punya kenang-kenangan abadi di pergelangan tangannya, berupa 10 bekas jahitan akibat digigit seekor lutung pada 2018.
Akan tetapi, ia tetap bahagia menjalani pilihan hidupnya. Banyak ilmu menarik yang ia dapatkan, mulai dari mencari persebaran satwa, memahami kondisi satwa di alam, hingga mengetahui peran mereka bagi alam. Dia juga belajar beragam metode yang harus dilakukan untuk mendukung terapi primata teraniaya itu.
Salah satunya meletakkan makanan di ketinggian dan menanam beragam pohon yang kerap disinggahi primata itu. Sigit mencontohkan pohon saninten. Selain kuat mencengkeram tanah, saninten menyediakan buah terenak bagi surili sekaligus menyediakan asupan antibakteri.
Pohon-pohon itu juga dikenal manusia sebagai tanaman pencegah longsor sekaligus obat. Ironisnya, itu bukan jenis pohon yang mudah ditemukan lagi. Surili seperti mengingatkan pentingnya kekayaan alam Nusantara. (Sigit Ibrahim)
Ada lagi daun pohon rasamala yang biasa dipilih surili saat mengalami gangguan pencernaan. Atau simak juga khasiat pohon huru (Cinnamomum porrectum) atau pasang (Quercus sundaicus). Daun kedua pohon ini efektif sebagai antirematik.
”Pohon-pohon itu juga dikenal manusia sebagai tanaman pencegah longsor sekaligus obat. Ironisnya, itu bukan jenis pohon yang mudah ditemukan lagi. Surili seperti mengingatkan pentingnya kekayaan alam Nusantara,” ujar Sigit.
Tidak hanya menjadi tempat bertahan hidup, pohon-pohon itu juga menjadi tempat perjodohan sempurna. Di sana, primata bisa mengenal satu sama lain untuk mandiri kelak di alam liar.
”Kami memang seperti biro jodoh. Lebih khusus untuk owa jawa. Mereka biasanya dilepas dengan pasangannya karena hewan monogami,” tutur Sigit.
Pendampingan pada primata itu tidak selesai pada saat mereka kembali liar. Observasi rutin, setidaknya sejak seminggu dilepaskan dari kandang habituasi, harus terus dilakukan.
Ada tiga tempat pelepasliaran di Jabar, yakni Cagar Alam Gunung Tilu di Kabupaten Bandung, Situ Patenggang di Kabupaten Bandung, dan Gunung Burangrang di Kabupaten Bandung Barat.
Baca juga : Owa Jawa, Owa Kita!
Untuk manusia
Sejauh ini, Sigit mengatakan, ada 71 ekor primata yang telah dilepasliarkan. Banyak dari mereka sudah mandiri dan beranak pinak. Hal itu juga yang mendorongnya ingin terus setia.
Apalagi, penyelamatan ini lebih dari sekadar menambah populasi mereka di alam. Keberadaan satwa liar erat kaitannya dengan kesejahteraan manusia.
Surili, kata Sigit, efektif menyebar benih pohon. Saat banyak pohon tumbuh, peran Gunung Tilu, misalnya, sebagai penyedia air lewat 20 aliran sungai, akan terus terjaga.
Selain itu, dalam rantai makanan ekosistem, surili adalah salah satu makanan macan tutul jawa (Panthera pardus melas). Di beberapa hutan Jabar, keberadaan surili mampu mencegah macan tutul jawa mendekati permukiman manusia sekitar hutan.
”Banyak kasus pertikaian antara macan tutul jawa dan manusia dipicu makanan terbatas. Saat hewan buruan seperti surili tak mudah ditemukan, macan tutul jawa yang putus asa suka mendekati permukiman manusia,” ucap Sigit.
Baca juga : Kiryono, Jumpono, Dasimto, Tiga Bersaudara Memulihkan Puncak
Ke depan, Sigit sangat sadar kampanye perlindungan primata tidak bisa berjalan sendiri. Butuh peran serta masyarakat untuk menjamin masa depan tetap ada. Atas dasar itu, ia ikut serta memberikan edukasi dalam rangkaian pembuatan film Spesies Liar. Film yang dibuat dalam rangka menyambut Hari Primata Nasional tanggal 30 Januari 2021 itu diperankan seniman pantomim Wanggi Hoediyatno (32).
”Saya tidak terlibat dalam pembuatan film, tetapi diminta memberi edukasi. Kebetulan waktunya bersamaan dengan pandemi. Saya beri gambaran bahwa terkurung itu tidak menyenangkan, lebih enak bebas di alam,” tutur Sigit sembari tertawa.
Gaya santai dan penuh humor Sigit itu juga yang selalu diingat Wanggi. Meski serius menggeluti upaya pelestarian satwa, Sigit mampu memberikan edukasi dengan caranya yang unik.
”Gurauannya selalu hadir dalam setiap kegiatan, tetapi tetap menyadarkan orang-orang untuk peduli terhadap alam. Ini adalah upaya baik menggerakkan kesadaran bahwa satwa liar dan habitatnya tetap lestari,” ujarnya.
Sigit dan Wanggi benar. Tiada mahluk hidup, termasuk primata, ingin diburu atau terkurung. Salah apa mereka sampai harus hidup di balik jeruji.
Baca juga : Harimau ”Corina” Dilepasliarkan di Semenanjung Kampar
Sigit Ibrahim
Lahir: Bandung, 12 Mei 1988
Pendidikan: SMAN 1 Ciwidey (2006)
Jabatan:
Manajer Operasional Pusat Rehabilitasi Primata Jawa-Aspinall Foundation (2021-sekarang)
Kepala Perawat (2014-2020)