Mahdi Usati, ”Profesor” Kopi dari Gayo
Bicara tentang kopi Gayo lebih sah jika mendengar dari sosok petani, pedagang, sekaligus cupper profesional Mahdi Usati.
Jika Anda mencari tahu siapa warga Gayo, Provinsi Aceh yang sangat paham tentang seluk-beluk kopi, maka mayoritas akan menunjukkan Mahdi Usati (44), seorang petani, eksportir, dan pencicip kopi gayo. Memang benar, pengetahuan Mahdi tentang kopi gayo layaknya seorang profesor kopi.
”Kajian tentang kopi gayo tidak akan ada habisnya karena kopi gayo ini unik,” ujar Mahdi kepada Kompas saat ditemui di rumah produksi kopi miliknya di Desa Karang Rejo, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah, Senin (27/11/2023).
Usahanya diberi nama MDC Coffee House. Kopi olahannya telah melanglang buana ke belahan dunia. Mahdi hanya memproduksi kopi berkualitas ekspor yang sering disebut specialty atau istimewa.
Bangunan permanen itu berdiri tidak jauh dari kaki gunung berapi, Burni Telong. Udara yang sejuk dan harumnya aroma kopi membuat siapa saja betah berlama-lama di sana.
Rumah produksi dibuat multifungsi, yakni untuk pengolahan, kafe, dan kursus privat perkopian. Satu ruangan khusus di lantai dua digunakan untuk ruang belajar. Dia tidak membedakan tamu, siapa saja yang mau belajar kopi dibawa ke ruangan itu. Di sana Mahdi yang awalnya terlihat kalem berubah jadi energik. Dengan antusias, dia akan menjelaskan kopi gayo dari hulu hingga hilir.
Seperti seorang dosen sedang mengajar, Mahdi mengambil spidol, lalu menggambarkan piramida perdagangan kopi gayo di pasar global. Kolom bagian bawah sebesar 15 persen disebut kopi asalan atau kualitas rendah, biasanya dipakai untuk kebutuhan industri makanan atau pabrik kopi kemasan.
Pada bagian tengah sebesar 65 persen disebut pasar komersial. Di pasar komersial tersebut para pembeli dan eksportir bertarung. Harga jual kopi gayo dalam bentuk biji beras (green bean) di pasar ini tergolong tinggi antara Rp 120.000 dan Rp 130.000 per kilogram.
”Kopi gayo merupakan harga kopi komersial termahal di dunia, bisa tiga kali lipat dari kopi lain,” ujar Mahdi.
Sementara kolom puncak disebut pasar specialty dan excellent, biasanya kopi yang dipakai untuk kontes. Namun, menurut Mahdi, pasar specialty dan excellent tak ubahnya entertainment atau hiburan di dunia kopi. Harga kopi gayo di pasar ini antara Rp 150.000 dan Rp 200.000 per kg.
”Sebenarnya pasar specialty dibentuk agar pemain di pasar komersial tidak terganggu. Padahal, cita rasa tidak jauh beda, malah kadang sama,” kata Mahdi.
Baca juga: Kopi gayo punya cerita
Menurut Mahdi, tingginya harga kopi gayo di luar negeri karena keunikan karakter dengan kompleksitas citarasanya. Proses pascapanen dilakukan dalam bentuk giling basah yang menghasilkan karakter kuat sehingga sangat potensial dijadikan sebagai campuran kopi utama atau base blend kopi dunia.
Selain itu, kopi gayo dibudidayakan oleh petani secara alami dengan tetap menjaga ekosistem hutan. Dengan demikian, Uni Eropa memasukkan kopi gayo masuk dalam standar sertifikasi kopi organik.
Menurut Mahdi, kopi gayo kualitas citarasanya sulit untuk konsisten, tetapi tetap memiliki karakteristik khusus sebagai kopi arabika gayo berupa heavy body dan light acidity. Umumnya citarasa kopi gayo masuk dalam kelas specialty dengan cupping nilai antara 83 dan 85.
”Kami tidak mampu memenuhi permintaan pembeli di luar negeri. Berapa pun produksi, pasar dunia siap menampung kopi gayo,” kata Mahdi.
Tidak konsistennya rasa kopi gayo dipengaruhi banyak faktor, seperti perbedaan ketinggian lokasi tanam, perbedaan tanaman pelindung, dan ragam varietas dalam satu lahan. ”Justru inkonsistensinya rasa kopi gayo membuat dia semakin unik, sukar ditebak,” ujar Mahdi.
Sandaran hidup
Mahdi lahir di Bener Meriah. Ayahnya seorang mantri kesehatan dan ibunya seorang guru sekolah dasar. Zaman itu pendapatan mantri dan guru rendah. Untuk menutupi kebutuhan hidup, mereka bersandar pada kopi.
Warga Gayo mayoritas mendiami Provinsi Aceh bagian tengah, yakni Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues. Berada di dataran tinggi membuat kopi tumbuh subur. Gayo dan kopi ibarat dua sisi mata uang, tidak bisa dipisahkan.
Baca juga: Kopi, Nongkrong, dan Gairah Industri Gen Z dan Milenial
Menurut sejarah, kopi Gayo jenis arabika dibawa dan ditanam pertama kali di dataran tinggi Gayo pada masa pemerintahan kolonial Belanda, tahun 1930. Mengutip buku Kopi dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Gayo (2012) terbitan Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh, lokasi awal perkebunan di dua tempat, Belang Gele, Aceh Tengah dan Bergendal, Bener Meriah.
Mahdi bercerita, saat remaja sepulang dari sekolah, dia selalu membantu orangtuanya menanam dan merawat kopi. ”Kami disekolahkan dari hasil kopi,” ucap anak ketiga dari sembilan bersaudara itu.
Tahun 1998, seusai menamatkan Sekolah Menengah Teknologi Industri (SMTI) di Banda Aceh, dia pulang ke Gayo. Jalannya hidup tak bisa jauh dari kopi. Dia bekerja di perusahaan ekspor kopi hingga tahun 2002. Pengetahuan Mahdi tentang kopi kian mendalam.
Kemudian dia bergabung ke perusahaan Kopi Toba Mas Indonesia di Sumatera Utara. Di masa itu, Mahdi mulai belajar menjadi cupper atau pencicip rasa kopi. Dia termasuk cupper senior di Indonesia dan memiliki licence Q-Grader dari Coffee Quality Institute. Dia juga tim panelis dan juri dalam lelang kopi specialty Indonesia.
Tahun 2017, Mahdi memutuskan untuk mendirikan perusahaan sendiri. Sebagai putra Gayo, Mahdi merasa sudah saatnya dia menjadi pemain inti dalam pengembangan dan perdagangan kopi Gayo.
Di tengah persaingan kopi dunia yang ketat, orang Gayo berkewajiban meningkatkan produksi dan menjaga kualitasnya. Mahdi menginisiasi lahirnya Gayo Cupper Team (GCT) dan membangun sekolah perkopian MD Coffee Institute (MCI)
GCT menjadi satu-satunya komunitas cupper di tingkat lokal di Indonesia. Dengan adanya GCT, para pelaku usaha perkopian di Gayo memiliki tempat yang mudah dijangkau untuk menguji kualitas kopinya agar sesuai dengan permintaan konsumen.
Masalah kopi saat ini bukan pada kualitas, melainkan produktivitas yang rendah. Harusnya semua ’stakeholder’di Gayo berpikir untuk meningkatkan produksi.
Sementara MCI menjadi pusat pembelajaran perkopian dari pratanam hingga proses pascapanen. Biaya kursus perkopian di MCI sebesar Rp 1,8 juta untuk dua hari pertemuan. Mahdi sendiri yang membimbing peserta didik. Peserta juga dibebaskan mengajukan topik atau tema apa yang dia ingin pelajari.
”Masalah kopi saat ini bukan pada kualitas, melainkan produktivitas yang rendah. Harusnya semua stakeholder di Gayo berpikir untuk meningkatkan produksi,” kata Mahdi.
Rata-rata produksi kopi gayo per hektar antara 600 kilogram dan 800 kilogram. Padahal, di luar negeri, seperti Vietnam dan Brasil, produksi per hektar bisa mencapai 1,5 ton.
”Petani harus diedukasi untuk lebih rajin merawat kebun dan menerapkan pola pertanian yang baik agar produktivitas meningkat,” kata Mahdi.
Waktu berjalan dengan cepat. Tidak terasa sudah dua jam Mahdi menjelaskan tentang kopi gayo, tetapi dia masih terlihat antusias. Sebenarnya Mahdi adalah cerminan orang Gayo, yang selalu antusias saat membicarakan kopi.
Ara kupi ara cerite. Ada kopi ada cerita.
Mahdi Usati
Lahir: Pondok Tengah, Bener Meriah, 12 Mei 1979
Pendidikan terakhir: SMTI Banda Aceh