Orang (yang Tak Lagi) Sakit dari Asia
China memiliki sekitar 400.000 atlet pelajar pilihan. Mereka sejak awal sengaja direkrut untuk menghasilkan kelompok olahragawan elite kelas dunia. Jumlahnya kurang dari 4.000 orang saja. Lalu, hanya sekitar 400 orang yang kemudian—empat tahun sekali—pantas tampil di Olimpiade. Bahkan, di era dunia yang ”hiperatletisme” sekarang, tak ada satu negara pun yang mampu (bersedia, juga tega) melatih anak-anak dan remajanya sesistematis dan sekeras China.
AWAL September, sebuah diskusi untuk melihat ulang hasil kontingen Indonesia di SEA Games 2017 digelar dalam ruang pertemuan lantai 4 di Gedung Dewan Pers, Jakarta. Hasil dalam pesta olahraga yang berlangsung di Kuala Lumpur itu memang dinilai kelam. Para atlet elite Indonesia membawa pulang 38 emas dari target 55 keping. Bercokol di urutan kelima dari 11 kontestan.
Para tokoh kunci dari think tank sekaligus koordinator pemusatan latihan nasional Indonesia (Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas/Satlak Prima) hadir. Juga wakil dari Kementerian Pemuda dan Olahraga. Pengamat dan praktisi manajemen olahraga senior Fritz E Simanjuntak juga diundang.
Namun, bangunan itu masih amat sepenuhnya berdasarkan asas kesukarelaan.
Dalam ruangan yang penuh sesak dan cahaya lampu yang tak cukup benderang sore itu, Fritz melontarkan pertanyaan lama dari banyak praktisi dan akademisi olahraga. Apakah para atlet elite Indonesia sekarang adalah yang terbaik dari semua (populasi) yang dimiliki Indoesia? Begitu kira-kira refleksi tokoh yang ikut membidani strategi olahraga elite nasional, Program Indonesia Bangkit, di awal 2000-an itu.
Jawaban realistisnya tentu Fritz juga mafhum. Dengan kondisi olahraga Indonesia keseluruhan sekarang, jelas para atlet elite kita adalah yang terbaik dari yang ada. Mereka terbaik dari yang tersedia. Kita memang memiliki bangunan olahraga prestasi dari bawah. Dari tingkat pemula dan kelompok umur. Namun, bangunan itu masih amat sepenuhnya berdasarkan asas kesukarelaan.
Terutama, hanya bergantung pada mereka: anak-anak, remaja (atlet muda), dan para orangtua. Jika mereka mengatakan terus bergiat di olahraga—dengan menyiasati berbagai hal: waktu, izin sekolah, mencari peralatan latihan yang terkadang tak cukup mudah dan murah didapat, mereka akan terus. Insentif untuk mereka, begitu pula untuk pelatih, klub, organisasi olahraga, bisa dikatakan terbatas.
Yang sejak awal mengenyahkan olahraga sebagai pilihan beraktivitas agaknya lebih banyak. Bisa dengan alasan olahraga mengganggu sekolah, olahragawan tidak punya masa depan, dan sebagainya.
Menanggapi introspeksi lirih Fritz dalam pertemuan tersebut, Ketua Satlak Prima Achmad Sutjipto menampilkan grafis yang dia miliki lewat proyektor ke layar besar di dinding. Isinya berupa piramida jenjang olahraga prestasi China. Angka-angka yang juga ditampilkan oleh akademisi olahraga Fan Hong, Ping Wu, dan Huan Xiong dalam buku Modern Sport: The Global Obsession (Routledge, 2007) itu memang mencengangkan.
Pak Tjip (begitu Achmad Sutjipto dikenal di kalangan olahragawan) tentu tahu keras dan ”brutal”-nya pembinaan atlet untuk menghasilkan olahragawan elite di China. Namun, fenomena olahraga negeri sosialis yang melesat tinggi itu telanjur mencengangkan banyak pihak. Bisakah kita mengikuti cara China? Inginkah kita? Rasanya, jika sudah masuk dalam proses pembinaan olahraga elite, tak ada negara yang ”tega”. Negara sosialis lainnya pun tak akan mampu.
Orang sakit dari Asia
Obsesi China terhadap olahraga jauh berakar pada lahirnya negeri komunis itu. ”Kakaknya” Republik Rakyat China, negeri sosialis Uni Soviet, lahir dengan menggulingkan pemerintahan otokrasi tsar yang kapitalis. Vladimir Lenin dan kaum Bolshevik punya obsesi bahwa paham komunisme harus dibuktikan lebih hebat daripada kapitalisme. Parameternya adalah hasil industri yang lebih besar dan banyak.
Guna mendongkrak industri ”Rusia” yang kurang darah itulah, Lenin melirik olahraga. Olahraga pun dipandang sebagai cara yang murah, massal, dan efektif untuk menciptakan kaum proletar yang sehat, bugar, berkualitas (baca “Raksasa Berkaki Lempung”)
Pemimpin China komunis Mao Zedong menghadapi dunia yang lebih rumit. China komunis lahir di dunia yang sudah tegang dalam pertarungan ideologi. China komunis juga mewarisi kemelaratan masa lalu sehingga negeri itu sejak lama dijuluki sebagai Orang Sakit dari Asia, The Sick Man of Asia. Mao terobsesi mengubah stigma masyarakat China yang kurus, dekil, dan kurang gizi.
Sejak awal, RRC berkepentingan untuk menghasilkan olahragawan bintang karena tidak lagi sudi dicap sebagai Orang Sakit dari Asia.
Secara demonstratif, Ketua Mao pernah berenang menyeberangi Sungai Yangtze untuk membuktikan vitalitasnya. Segera setelah mendirikan Republik Rakyat China (RRC), sang ketua memerintahkan aparatnya untuk memburu bakat-bakat fisik terbaik guna membentuk wajah China yang baru (Time, 16 Agustus 2004).
RRC tidak hanya berkepentingan pada rakyat yang sehat dan bugar demi kemajuan ekonomi dan pertahanan. Sejak awal, RRC berkepentingan untuk menghasilkan olahragawan bintang karena tidak lagi sudi dicap sebagai Orang Sakit dari Asia.
Maka, sistem seleksi dan pelatihan olahragawan yang paling efektif sedunia pun dijalankan China. Pada 1950-an, China memperkenalkan politik Juguo Tizhi yang dapat diterjemahkan sebagai ”seluruh negeri mendukung sistem olahraga elite”. Secara resmi, sistem itu digulirkan sejak 1963 tatkala kementerian olahraga negeri itu menerbitkan Regulasi Atlet dan Tim Terkemuka, Regulations of Outstanding Athletes and Team (Fan Hong, Ping Wu, dan Huan Xiong dalam Modern Sport: The Global Obsession).
Sejak itu, para pencari bakat dikerahkan ke pelosok negeri, kota, dan desa untuk mencari bibit-bibit terbaik. Khususnya pada ciri-ciri fisik yang menonjol. Yang dimaksud dengan ”bibit” adalah anak-anak berusia enam hingga sembilan tahun. Anak-anak dengan pinggul kecil dan anggota tubuh yang lentur disalurkan ke olahraga senam artistik atau loncat indah. Bocah yang punya reaksi dan koordinasi gerak secepat kilat dilatih tenis meja atau bulu tangkis. Adapun anak-anak yang sintal masuk dalam pelatihan angkat besi.
Tak ada kata menolak, tak ada kesukarelaan, tak ada pilihan. Anak-anak belia itu digembleng tiga jam sehari, empat-lima hari sepekan. Setelah melewati periode latihan yang keras, potensi-potensi yang menjanjikan dipromosikan dalam latihan semiprofesional: latihan empat-lima jam sehari, lima-enam hari sepekan.
Jenjang itu menghasilkan anak-anak dengan potensi prestasi yang lebih tinggi. Merekalah yang disalurkan ke sekolah-sekolah olahraga yang jumlahnya ketika China bersiap menjadi tuan rumah Olimpiade Beijing 2008 telah lebih dari 3.000 di seluruh negeri.
Tak ada kata menolak, tak ada kesukarelaan, tak ada pilihan.
Di sekolah-sekolah tersebut, para atlet pelajar dilatih hingga enam jam sehari, lima hingga enam hari sepekan. Sistem seleksi yang amat keras adalah inti dari Juguo Tizhi. Metode latihan menggunakan metode Tentara Rakyat China: keras, disiplin, latihan intensif seperti perang yang sesungguhnya. Air mata adalah bagian keseharian bagi para atlet belia itu. Para atlet pelajar didoktrin dengan ”tiga tidak takut”: tidak takut pada kesulitan, letih, dan cedera. Mereka juga ”dipaksa” untuk memiliki ”lima ketangguhan”: ketangguhan dalam semangat, tubuh, keterampilan, latihan, dan pertandingan.
Pada 2004, hanya 5 persen dari anak-anak dalam sistem tersebut yang terus melaju hingga level puncak. Sebanyak 95 persen lainnya akan meninggalkan sekolah olahraga tanpa bekal kualifikasi pendidikan dasar atau menengah yang memadai untuk mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan membawa pulang hati yang patah, mimpi yang tak menjadi nyata.
Meski demikian, para atlet pensiun dini itu tetap mempertebal sumber daya pekerja garis depan China yang fit. Mereka jugalah ”mesin-mesin produksi” China yang berperan mendongkrak pertumbuhan ekonomi negeri itu yang kemudian melesat begitu China menganut politik ekonomi terbuka dan privatisasi bisnis.
Formula bahwa olahraga prestasi itu mahal tidak bisa dibantah.
Kemudian, perhatian terhadap nasib para atlet itu terus membaik seiring dengan meningkatnya perekonomian China. Pemerintah membantu para mantan atlet untuk bisa kuliah begitu pensiun dan para bintang memperoleh insentif finansial. Insentif materi itu semakin menggiurkan saat ekonomi dan bisnis China kian menguat.
Juguo Tizhi terus diasah, khususnya di sisi pengelolaan dan pendanaan. Apalagi ketika China membuka diri pada kompetisi internasional dengan menjadi anggota Komite Olimpiade Internasional (IOC) pada 1979. China tentu menemukan etalase strategis untuk memajang wajah mereka yang tangguh di panggung dunia.
Semula, pendanaan bagi olahraga prestasi menjadi beban berat pemerintah, pusat dan daerah. Namun, sejak 1994, China mulai menerima pendanaan bagi olahraga elitenya lewat sponsor dan keuntungan komersial seiring dengan semakin tangguhnya perekonomian negeri itu.
Formula bahwa olahraga prestasi itu mahal tidak bisa dibantah. Semakin kebutuhan dana terpenuhi, jalan menuju prestasi lebih tinggi terbuka juga dinikmati China. Doktrin dan sistem olahraga prestasi China yang keras dan dana yang terus mengalir terlihat pada prestasi China yang kian mengilap di panggung dunia.
Politik olahraga China menuai hasil mengagumkan di abad ke-21 ini. Prestasi mereka meroket dan industri olahraga negeri itu ikut secara langsung berkontribusi bagi pendapatan negara. Namun, penurunan prestasi di Rio 2016 menimbulkan sebuah pertanyaan. Apakah keberhasilan ekonomi yang dicapai—dengan olahraga berperan di dalamnya—menjadi bumerang bagi gaya hidup masyarakat negeri itu?
Riset The Economist Corporate Network 2016 menemukan, ”hanya” sekitar sepertiga penduduk China yang aktif berolahraga. Bisa jadi itu disebabkan besarnya penduduk China yang tinggal hingga di daerah-daerah pedesaan. Partisipasi di perkotaan memang tinggi, seperti Beijing yang 56 persen dan Shanghai yang 41 persen. Namun, di Shanghai, penelitian sejumlah ilmuwan menemukan, lebih dari 80 persen populasi anak muda di kota metropolis itu berperilaku sedentari dan tidak aktif (Journal of Physical Activity and Health, 2016, edisi 13 (Suppl 2), Human Kinetics Original Research).
Apa pun tren olahraga prestasi China ke depan, negeri itu sejak awal telah membangun sistem dan struktur olahraga prestasi mereka sejak awal. Prestasi tersebut tidak serta-merta berbuah tetapi berhasil.
Jelas, cara China itu sangat tidak cocok diterapkan di negeri kita—bahkan di hampir semua negara lain. Oleh karena itu, pelajaran yang dapat dipetik adalah apa yang harus kita lakukan dengan olahraga prestasi kita? Kita sudah punya struktur olahraga prestasi yang berjenjang. Pada sisi organisasi kemasyarakatan ada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dari tingkat pusat hingga provinsi. Setiap cabang olahraga punya organisasinya sendiri, dari tingkat kabupaten/kota hingga pusat.
Di pemerintahan, kita punya Kementerian Pemuda dan Olahraga, punya dinas pemuda dan olahraga di level provinsi dan kabupaten/kota. Indonesia juga punya sekolah olahraga yang dikenal dengan Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) di sejumlah kota.
Tentu akar semua pembenahan keolahragaan Indonesia adalah hadirnya sebuah politik olahraga negara, untuk kepentingan pragmatis negara dan bangsa dengan tujuan mendukung ketahanan nasional. Namun, dengan telah dimilikinya berbagai kelembagaan olahraga prestasi itu, Indonesia juga perlu cetak biru jangka panjang dan dirigen yang mampu memadukan dan menyelaraskan seluruh kegiatan olahraga prestasi nasional seperti China memiliki Juguo Tizhi.