Warga Nilai Kasus Novel Taruhan Citra Polri
JAKARTA, KOMPAS — Publik mengapresiasi perhatian Presiden Joko Widodo terhadap penanganan kasus penyiraman air keras dengan korban penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan. Bahkan, ada warga biasa yang merasa janggal jika kepolisian mengaku sulit untuk mengungkap kasus itu.
Sejumlah warga yang ditemui di Jakarta, Sabtu (4/11), mengharapkan Polri mengambil langkah cepat, nyata, dan akuntabel untuk menindaklanjuti pengusutan kasus tersebut, jangan menunggu ditanya terlebih dahulu oleh Presiden Joko Widodo.
Menurut mereka, pengungkapan kasus Novel menjadi pertarungan penting dalam menjaga citra Polri. Kemarin, di Bekasi, Jawa Barat, Presiden meminta Polri agar mengusut kasus Novel dengan jelas dan tuntas. Presiden berjanji akan memanggil Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian untuk menanyakan perkembangan kasus itu.
Publik bertanya-tanya, mengapa sudah lebih dari 200 hari kasus itu tidak ada titik terang.
Seharusnya kasus itu bisa ditangani Polri, dan tidak perlu sampai harus ditanya oleh Presiden.
”Publik bertanya-tanya, mengapa sudah lebih dari 200 hari kasus itu tidak ada titik terang,” kata Yanto Sudarmo (30), pengusaha di Jalan Proklamasi, Jakarta, Sabtu (4/11).
”Padahal, polisi sudah memeriksa sejumlah saksi, melihat kamera pemantau, dan memeriksa toko-toko penjual air keras,” katanya.
Yanto menyatakan, publik merasa janggal jika Polri mengatakan kasus ini sulit diselesaikan. Selama ini, banyak sekali kasus kriminal yang minim petunjuk dan alat bukti justru dengan sangat mudah bisa diungkap Polri secara tuntas sampai ke akar-akarnya.
Lambatnya pengungkapan kasus Novel juga menimbulkan berbagai ragam interpretasi, yang tentu saja dapat menjadi taruhan pagi citra baik Polri.
Padahal, kata warga, kasus itu begitu terang-benderang. Mereka sepakat dengan pandangan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang sebelumnya mengatakan, kasus Novel sebenarnya tidak sulit untuk diungkap.
Harus terbuka
Bob Humisar (29), seorang pengacara di Jakarta Pusat, mengatakan, Polri kesulitan mengungkap kasus Novel patut diduga karena sejumlah kepentingan politik di balik kasus itu.
”Banyak pihak yang berkepentingan terkait keberadaan KPK. Kita, kan, bisa melihat itu, banyak yang secara terbuka menginginkan KPK diperlemah atau bahkan dibubarkan. Kasus Novel tidak terlepas dari isu tersebut,” katanya.
Menurut Bob, secara teknis penyelidikan, hampir tidak ada kesulitan dalam mengungkap kasus Novel. Kesulitannya, pengungkapan kasus Novel justru ada pada latar belakang kasus itu sendiri.
Polri seharusnya terbuka kepada Presiden kalau mereka kesulitan mengungkap kasus itu.
Walau demikian, Polri juga harus terbuka agar Presiden juga tidak harus ikut bertanya-tanya seperti halnya warga.
”Polri seharusnya terbuka kepada Presiden kalau mereka kesulitan mengungkap kasus itu. Dengan begitu, Presiden bisa mempertimbangkan pembentukan tim gabungan pencari fakta yang melibatkan pihak di luar Polri,” katanya.
Hendra Manurung, mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan, mengatakan, dirinya menilai, belum ada upaya penyelidikan lebih maju yang dilakukan Polri untuk mengungkap kasus Novel.
”Polri belum bisa menunjukkan bahwa mereka melakukan upaya penyelidikan serius untuk mengungkap kasus itu,” katanya.
Menurut Hendra, sebagai warga masyarakat yang sangat peduli kepada Polri, ia melihat Polri hanya ingin mengungkap fakta permukaan dari kasus penyiraman air keras itu. Polri belum memeriksa lebih dalam lagi untuk mengungkap latar belakang kasus novel. Padahal, sudah jelas kasus Novel itu tidak berdiri sendiri.
Ada kepentingan?
”Kepercayaan publik kepada Polri, khususnya dalam mengungkap kasus Novel, semakin luntur ketika Polri dengan cepat dan sigap menjadikan Novel sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik. Jangan disalahkan jika publik menduga ada sejumlah oknum petinggi Polri yang punya kepentingan terhadap keberadaan Novel di KPK,” katanya.
Kasus penyiraman air keras ke wajah Novel dilakukan oleh dua pengendara sepeda motor pada 11 April 2017. Hingga kini, Novel masih dirawat di Singapura.
Pada 31 Juli lalu, Presiden pernah memanggil Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian ke Istana Merdeka dan kemudian meminta Tito secepatnya mengungkap pelaku penyerangan terhadap Novel.
Saat itu Tito mengatakan, sudah ada 59 saksi yang dimintai keterangan, mengamankan 5 orang, memeriksa 50 kamera pemantau (CCTV) yang berada dalam radius satu kilometer dari lokasi kejadian, dan mendatangi sekitar 100 lebih toko kimia yang menjual air raksa atau air keras (Kompas, 1/8).
Lambannya pengungkapan kasus itu membuat Presiden Joko Widodo ikut berkomentar. Ia mengatakan, penanganan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, harus jelas dan tuntas. Presiden akan menanyakan pengusutan kasus tersebut kepada Kepala Polri.
Saat ditanya tentang usulan pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) untuk mendorong pengusutan kasus Novel itu, Presiden menjawab, ”Nanti. Itu nantilah.”
Semua masalah harus gamblang, harus jelas, harus tuntas.
”Saya panggil Kepala Polri. Proses (penanganan kasus Novel)-nya sudah sejauh mana. Yang jelas, semua masalah harus gamblang, harus jelas, harus tuntas,” kata Presiden di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (3/11).
Dari saksi-saksi yang dimintai keterangan, menurut Kapolri, belum ada yang melihat langsung atau mengetahui wajah tersangka penyiram air keras terhadap Novel.
Prioritas Polri
Pada Minggu (5/11), Tito dijadwalkan tiba di Tanah Air dari kunjungan kerja ke Amerika Serikat.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan, penyelesaian kasus Novel tetap jadi salah satu prioritas Polri. Namun, kasus itu tidak mudah dipecahkan karena polisi kesulitan mengumpulkan keterangan dari saksi dan alat bukti.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, kasus Novel sebenarnya tidak sulit untuk diungkap. ”Tinggal mau (mengungkap) atau tidak,” ujarnya.
Guna mendorong agar kasus itu segera terbongkar, lanjut Mahfud, usulan pembentukan TGPF yang dilontarkan masyarakat sipil, merupakan hal yang wajar. Jika tak kunjung terungkap dan TGPF juga tak dibentuk, kasus itu akan terus menimbulkan pertanyaan rakyat.
Ketua KPK Agus Rahardjo, secara terpisah, mengatakan, pembentukan TGPF tidak akan menghilangkan peran polisi. Proses hukum kasus Novel tetap akan ditangani polisi.
”TGPF hanya untuk membantu agar dapat mempermudah. TGPF tidak berwenang untuk menuntaskan secara hukum,” ujar Agus.
Kalangan masyarakat sipil siap memberikan data terkait kasus penyerangan terhadap Novel kepada Presiden. Temuan itu diharapkan menjadi masukan bagi Presiden untuk menentukan langkah terkait kasus itu.
”Pemuda Muhammadiyah dan kalangan masyarakat sipil lainnya, termasuk para tokoh mantan komisioner KPK, siap menyampaikan data dan fakta temuan kami kepada Presiden,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Nasir Djamil mengatakan, ketika penanganan kasus Novel oleh kepolisian belum juga menunjukkan titik terang, keberadaan TGPF memang diperlukan.
Namun, sebelum tim itu dibentuk, Presiden sebaiknya memang menanyakan dahulu perkembangan pengusutan kasus itu kepada Polri. ”Jika memang kepolisian angkat tangan, Presiden baru membentuk tim tersebut,” ujarnya.
Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo mengingatkan, jika TGPF ingin dibentuk, perlu dipastikan kerja tim itu nantinya lebih baik.
”Harus dilihat urgensinya, misalnya, ada atau tidak bahan atau bukti yang menunjukkan kalau kasus Novel ini ditangani oleh TGPF akan menjadi lebih baik jika dibandingkan ditangani kepolisian? Kalau tidak ada jaminan jika ditangani TGPF akan lebih baik, tidak ada gunanya dibentuk tim itu. Pembentukan tim bisa sia-sia,” katanya.
Upaya kepolisian untuk mengusut kasus Novel, lanjut Bambang, sudah optimal. Dalam beberapa kali rapat Komisi III DPR dengan kepolisian, upaya kepolisian itu selalu dipaparkan.
”Sudah banyak saksi diperiksa, dan hingga kini pengusutan kasus itu terus diupayakan kepolisian,” ujarnya.
Bambang mengingatkan, saat kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir pada tahun 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga membentuk tim pencari fakta (TPF) yang diketuai Marsudhi Hanafi. Namun, pembentukan tim itu juga tidak membuat kasus pembunuhan Munir menjadi terang benderang.
Bahkan, beberapa waktu lalu sempat muncul polemik terkait pembukaan dokumen hasil kerja TPF. Pemerintah menyatakan belum bisa mengumumkan dokumen hasil kerja tim tersebut. Alasannya, pemerintah hanya menguasai salinan dokumen hasil kerja TPF Munir.
Catatan Kompas, pembentukan tim untuk mendorong penyelesaian polemik terkait KPK juga pernah dilakukan Presiden Yudhoyono pada 2009.
Saat itu, Presiden membentuk Tim Delapan atau Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Pimpinan nonaktif KPK, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah.
Rekomendasi tim yang diketuai Adnan Buyung Nasution ini berperan penting dalam penyelesaian kasus yang ketika itu disebut dengan Cicak-Buaya. (NDY/APA/NTA/SAN/AGE/IAN/MDN)