Akhir Era Kemplang Pajak
Bocornya jutaan dokumen Paradise Papers menghebohkan dunia. Seperti halnya Panama Papers yang dirilis April 2016, laporan ini mengungkap nama-nama politisi dan tokoh dari seluruh dunia yang diduga berupaya menghindari pembayaran pajak.
Terungkapnya data rahasia pada Paradise Papers dan Panama Papers seolah menandai berakhirnya era kemplang pajak dan negara tax haven (surga pajak).
Apalagi, mulai tahun depan akan diberlakukan Automatic Exchange of Information (AEOI) yang memungkinkan tiap negara berbagi informasi keuangan milik wajib pajak sesuai yurisdiksinya masing-masing.
Paradise Papers merupakan laporan jurnalistik investigatif hasil kolaborasi 380 jurnalis dari 95 media di enam benua yang diinisiasi oleh International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ).
Laporan ini berisi daftar politisi, tokoh, pengusaha, dan orang kaya dari seluruh dunia yang diduga berupaya menghindari pembayaran pajak dengan membuat perusahaan cangkang (shell company) di negara-negara yang memberikan keringanan pajak (tax haven) bagi investor asing.
Laporan itu berawal dari jurnalis surat kabar Jerman, Süddeutsche Zeitung, yang memperoleh bocoran data sebanyak 13,4 juta file dari firma hukum konsultan pembuatan perusahaan cangkang, Appleby, dan perusahaan trust, Asiaciti, serta 19 yurisdiksi rahasia.
Data yang dibocorkan dari Appleby berisi 7 juta perjanjian pinjaman perusahaan serta laporan keuangan perusahaan cangkang di Bermuda dan negara sekitarnya.
Surat kabar itu kemudian bekerja sama dengan ICIJ untuk mengungkap nama-nama tokoh di seluruh dunia yang ada di laporan.
Data yang dibocorkan dari Appleby berisi 7 juta perjanjian pinjaman perusahaan serta laporan keuangan perusahaan cangkang di Bermuda dan negara sekitarnya. Adapun data yang dibocorkan dari Asiaciti berisi laporan transaksi keuangan di Antigua-Barbuda.
Informasi yang terungkap antara lain kepemilikan perusahaan cangkang milik Ratu Elizabeth, kepemilikan perusahaan cangkang milik vokalis band U2, yakni Bono, sampai terungkapnya kedekatan Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross dengan menantu Presiden Vladimir Putin.
Indonesia
Dari Indonesia, ada 215 nama orang Indonesia yang disebutkan dalam laporan itu. Beberapa di antaranya adalah tokoh ternama seperti Prabowo Subianto, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek Soeharto).
Mengutip Paradise Papers yang diunduh dari laman situs ICIJ, Prabowo disebut sebagai direktur dan wakil pemilik Nusantara Energy Resources, sebuah perusahaan yang didaftarkan di Bermuda pada 2001. Dalam catatan Appleby, perusahaan itu memperoleh predikat ”penunggak utang” dan tutup pada 2004.
Menurut laporan itu, kemudian muncul perusahaan asal Singapura yang juga bernama Nusantara Energy Resources yang sekarang bagian dari Nusantara Group. Adapun Nusantara Group, menurut laporan itu, adalah perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki Prabowo.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan, tidak ada kaitan antara Nusantara Energy Resources Ltd dan Prabowo. Namun, ia membenarkan, entitas usaha itu memang pernah dibentuk.
”Saya kira, kalau ada nama seperti itu (Prabowo), mungkin ada listing saja. Pak Prabowo ada namanya atau tidak, saya juga tidak tahu. Tapi tak pernah ada aktivitas apa pun terkait bisnis usaha,” ujar Fadli, Senin (6/11).
Ia menambahkan, dirinya juga belum tahu apakah Prabowo akan memberikan klarifikasi atau tidak. Namun, ia mengaskan, Prabowo tidak terlibat sama sekali tentang apa yang sudah dicantumkan dalam laporan itu.
Mantan saudara ipar Prabowo, Tommy Soeharto, juga disebutkan dalam laporan itu. Dalam laporan Paradise Papers, Tommy disebut sebagai Direktur dan pemilik Asia Market Investment Ltd. Perusahaan ini tercatat di Bermuda tahun 1997 dan tutup 2000.
Data Appleby yang dikutip dalam laporan itu mengungkapkan, ada kesamaan alamat antara Asia Market Investment Ltd dengan V’Power Corp.
Adapun menurut data Securites and Exchange Commision yang dikutip dalam laporan itu, V’Power Corp disebut sebagai perusahaan milik Tommy.
Data Appleby juga mengungkap informasi, sebuah perusahaan patungan di Bermuda milik Tommy adalah anak usaha Humpuss Group (perusahaan yang hingga saat ini dimiliki Tommy) yang kemudian bekerja sama dengan NLD (perusahaan papan iklan reklame asal Australia).
Berdasarkan laporan lokal yang dikutip dalam laporan Paradise Papers, tahun 1997, perusahaan patungan itu memberikan Tommy dan rekan Australianya konsesi untuk mendirikan papan iklan di negara bagian Australia, yakni Victoria.
Selain itu juga di Filipina, Malaysia, Myanmar, dan China. Data Appleby yang dikutip dalam laporan tersebut menyebutkan, perusahaan itu tutup pada 2003 dan mempunyai predikat ”penunggak utang”.
Tak hanya Tommy, anggota keluarga Cendana lainnya juga turut masuk dalam laporan itu. Adik Tommy, yaitu Siti Hutami Endang Adiningsih atau yang lebih dikenal dengan Mamiek Soeharto, juga disebut-sebut pernah memiliki perusahaan cangkang.
Dalam laporan Paradise Papers, Mamiek disebut sebagai Wakil Presiden Golden Spike Pasiriaman Ltd dan pemilik Golden Spike South Sumatera Ltd bersama Maher Algadri.
Adapun Maher, seperti ditulis dalam laporan itu, merupakan petinggi Kodel Group dan salah satu konglomerat era Soeharto. Kedua perusahaan itu terdaftar di Bermuda tahun 1990-an dan sekarang sudah tutup.
Kuasa hukum Tommy dan Mamiek, Elza Syarief, menjelaskan, informasi dalam laporan Paradise Papers itu harus dibuktikan kebenarannya. Ia juga mengatakan, menurut informasi dari laporan itu, perusahaan tersebut sudah lewat lebih dari satu dekade lalu.
”Jadi itu perusahaan lama, disebut-sebut lagi. Seperti mau cari sensasi saja,” ujar Elza, Selasa (7/11).
Ia menegaskan, pihaknya patuh dan tunduk dengan segala aturan hukum dan undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Perusahaan cangkang
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, seperti halnya Panama Papers, beredarnya Paradise Papers menunjukkan sekali lagi kepada dunia bahwa pemanfaatan tax haven adalah praktik yang sudah lazim di seluruh dunia.
Ia mengatakan, para pembuat perusahaan cangkang belum tentu otomatis melanggar hukum. Ia menjelaskan, ada tiga motif seseorang membuat perusahaan cangkang.
Pertama, menghindari pajak di negara tempat perusahaannya beroperasi. Ia mencontohkan di Indonesia, pajak penghasilan untuk perorangan dan perseroan terbatas mencapai 25-30 persen. Sementara itu, di negara tax haven lima kali lebih rendah, hanya 6 persen.
”Sejarah terciptanya tax haven memang karena secara natural seseorang memang bertendensi untuk menghindari pajak,” ujar Yustinus.
Alasan kedua pembuatan perusahaan cangkang adalah untuk menyembunyikan aset. Dengan membuat perusahaan cangkang, aset perusahaan dan aset pribadinya menjadi tidak mudah terlacak.
Yustinus menjelaskan, kedua alasan ini memang cenderung bertendensi negatif. Namun, ada juga motif pendirian perusahaan cangkang semata hanya untuk tujuan bisnis, yakni untuk mempermudah memperoleh pinjaman dan menjalankan proses due diligence.
Ia menjelaskan, negara tax haven memiliki aturan hukum yang sederhana. Hal ini mempermudah bisnis mereka.
”Aturannya sederhana dan tidak tumpang tindih. Selain itu juga ada kepastian hukum yang jelas,” ujar Yustinus.
Banyaknya WNI yang membuat perusahaan cangkang di negara tax haven seharusnya menjadi momen bagi pemerintah untuk berintrospeksi, mengapa para pengusaha ini sampai membuat perusahaan cangkang?
Ini berarti iklim usaha di Indonesia masih memberatkan mereka sehingga mereka memilih alternatif tempat lain untuk memulai bisnis.
Yustinus menyarankan kepada pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, untuk memanfaatkan data dalam Paradise Papers dalam rangka membangun kepatuhan pajak yang lebih baik.
Menurut penelitian lembaga penelitian pajak, Tax Justice Network (TJN), pada 2012, jumlah total aset orang Indonesia di negara tax haven mencapai 331 miliar dollar AS (sekitar Rp 4.500 triliun).
Era baru
Ia mengatakan, ke depan, praktik menyembunyikan pajak ini bakal segera berakhir. Sebab, ratusan negara di dunia sudah sepakat untuk melaksanakan Automatic Exchange of Information (AEOI). AEOI adalah kesepakatan pertukaran informasi mencakup informasi wajib pajak secara otomatis di sejumlah negara.
”Praktiknya nanti, pemerintah antarnegara akan saling berbagi informasi tentang dugaan penyimpangan pajak yang ada. Wajib pajak yang diduga mengemplang itu akan menerima sanksi sesuai hukum negara wajib pajak itu,” ujar Yustinus.
Dengan demikian, lanjut Yustinus, pengusaha yang berusaha menghindari pembayaran pajak dengan menyembunyikan asetnya di luar negeri bisa terdeteksi apabila negara-negara sudah memberlakukan AEOI.
Pemerintah negara tempat menyembunyikan aset itu akan mengirimkan informasi terkait ke pemerintah negara asal pengusaha itu sehingga bisa diproses sesuai hukum yang berlaku di negara asal wajib pajak.
Di Indonesia, AEOI dipertegas dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
”Saat ini, Indonesia sudah memiliki bingkai dan payung hukum yang cukup kuat untuk mendorong kepatuhan pembayaran pajak. Harapannya, sudah berakhir era sembunyi dari pajak dan memasuki era baru yang transparan,” ucap Yustinus.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 akan diberlakukan April 2018 dan AEOI akan mulai berlaku September 2018.
Hal senada diungkapkan Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono. Dengan pemberlakuan Perppu No 1/2017, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan bisa mengakses data keuangan nasabah di bank-bank dan lembaga-lembaga finansial lainnya untuk kepentingan data perpajakan.
”There\'s no place to hide. Begitu kira-kira kesimpulan yang bisa kita petik dari perppu itu,” ujar Tony (Kompas, 29 Mei 2017).
Yustinus menjelaskan, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 akan diberlakukan April 2018 dan AEOI akan mulai berlaku September 2018.
Dalam perhitungannya, apabila keduanya itu sudah berlaku, kepatuhan pajak akan meningkat. Dampaknya, dalam jangka pendek bisa meningkatkan pendapatan pajak yang pada ujungnya memberikan insentif pertumbuhan ekonomi.
Menurut perhitungan Yustinus, dalam jangka pendek atau sampai akhir 2018, pendapatan pajak akan meningkat hingga sekitar Rp 100 triliun. Hal ini akan meningkatkan rasio pajak Indonesia menjadi 1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dalam jangka menengah, pada tahun 2018-2020, rasio pajak terhadap PDB akan meningkat menjadi 4 persen.
”Pendapatan pajak yang meningkat juga akan memperkuat kesehatan fiskal negara. Negara akan memiliki keuangan yang kuat dan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Yustinus.
Meski demikian, diperlukan langkah konkret dan tegas dari pemerintah untuk mewujudkan hal itu. Ia mengatakan, penegakan hukum di sektor pajak perlu ditegaskan.
”Kalau memang wajib pajak itu terbukti bersalah, ya, harus dihukum. Ini supaya timbul efek jera dari para pengemplang pajak itu,” ucap Yustinus. (APA/RAZ)