Kawasan Khusus dan Asa Tumbuhnya Kantong Ekonomi Baru
Upaya pemerataan pembangunan ekonomi di luar Pulau Jawa dan Sumatera terus dilakukan, salah satunya melalui pembentukan dan pengoperasian kawasan ekonomi khusus (KEK).
Kehadiran KEK yang bertujuan mendorong daya saing suatu wilayah dalam perjalanannya masih menemui berbagai hambatan. Hingga kini, dari target terwujudnya 25 KEK pada 2019, baru empat KEK yang resmi beroperasi.
Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia Sanny Iskandar menilai, walaupun masih banyak masalah yang dihadapi dalam pembentukan dan pengoperasiannya, KEK akan berperan penting dalam pemerataan ekonomi.
Dari target terwujudnya 25 KEK pada 2019, baru empat KEK yang resmi beroperasi.
”Kawasan ekonomi khusus cukup efektif di negara negara lain dan telah terbukti ampuh mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing investasi,” ujar Sanny yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi, di Jakarta, Kamis (11/9).
Pada perkembangannya yang terakhir, pemerintah melalui Presiden Joko Widodo meresmikan pengoperasian KEK Mandalika di Nusa Tenggara Barat, Jumat (20/10).
KEK Mandalika diharapkan dapat menyerap 58.000 pekerja langsung dan menggerakkan perekonomian masyarakat di sekitarnya.
Salah satu KEK dengan tema pariwisata itu diproyeksikan menyerap investasi Rp 726 triliun pada 2020 (Kompas, 21/10).
Sejak 1970
Mengutip publikasi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di tahun 2015 tentang Kawasan Ekonomi Khusus dan Strategis Indonesia, model kawasan strategis seperti KEK telah dicanangkan sejak tahun 1970.
Saat itu, kawasan strategis yang dibentuk untuk meningkatkan kinerja ekspor, menarik investasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi itu bernama Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB).
Sumber: Kemenko Perekonomian Sekretariat Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus
Hingga pada perkembangannya konsep tersebut menjadi KEK pada 2009. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus dan Peraturan Pemerintah No 100/2012 (sebagai revisi dari PP No 2/2011) tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus menjadi payung hukum dari penyelenggaraan KEK di Indonesia saat ini.
Keberadaan KEK diharapkan mampu menjadi solusi dari timpangnya postur perekonomian Indonesia yang lebih didominasi di wilayah barat (Jawa dan Sumatera).
Data Kementerian Perindustrian menjelaskan, hingga tahun 2009, PDRB kawasan timur Indonesia hanya menyumbang 19 persen dari total PDRB di seluruh daerah.
Sampai tahun 2017, telah disetujui 12 KEK. Dari 12 KEK, hanya satu yang berada di Pulau Jawa, yaitu KEK Tanjung Lesung di Provinsi Banten
”Kenapa sebagian besar di luar Pulau Jawa? Karena memang kami ingin ada pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Pulau Jawa. Namun, memang, hingga saat ini, dari 12 KEK, yang beroperasi baru empat, yaitu KEK Sei Mangkei di Sumatera Utara, KEK Palu di Sulawesi Tengah, KEK Tanjung Lesung di Provinsi Banten, dan KEK Mandalika di NTB. Dari empat KEK, dua merupakan KEK bertema wisata, Mandalika dan Tanjung Lesung, sedangkan dua lainnya bertema manufaktur,” tutur Wahyu Utomo, Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Perekonomian.
Sumber: Kemenko Perekonomian Sekretariat Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus
Merujuk UU No 39/2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, terdapat empat kriteria lokasi yang dapat diusulkan menjadi KEK. Empat kriteria tersebut adalah sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan tidak mengganggu kawasan lindung; adanya dukungan penuh dari pemerintah provinsi, serta pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan; terletak pada posisi yang dekat dengan jalur perdagangan atau pelayaran internasional, atau terletak di wilayah dengan potensi sumber daya alam unggulan; dan usulan tersebut mempunyai batasan wilayah yang jelas.
Kemudahan
KEK akan menjawab masalah yang biasa dihadapi investor yang ingin berinvestasi di Indonesia. Wahyu mengatakan, berbagai cara dilakukan agar investor tidak memiliki halangan.
Sumber: Kemenko Perekonomian Sekretariat Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus
”Kami ada kemudahan bagi investor, yaitu proses perizinan KEK 3 jam, konsep pengajuan tunggal (single submission), dan konsep daftar periksa (checklist),” kata Wahyu.
Wahyu mengatakan, agar KEK dapat berjalan sesuai tujuan, diperlukan berbagai infrastruktur yang menunjang.
Agar dapat bersaing secara global, infrastruktur ”penyambung”, seperti pelabuhan, tol, bandara, ataupun rel kereta, dibutuhkan di KEK.
Kebutuhan infrastruktur dalam konteks pengoperasian KEK diamini Benny Hermawan, Kepala Bidang Perencanaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Infrastruktur
Menurut dia, selama kebutuhan KEK sejalan dengan program prioritas nasional, dukungan akan terus diberikan.
Sampai tahun 2017, dukungan yang diberikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sejak 2015-2017 terhadap pengembangan KEK mencapai Rp 14,28 triliun.
Sumber: Kemenko Perekonomian Sekretariat Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus
Menurut Benny, dukungan pembangunan infrastruktur diperlukan karena melihat daya saing Indonesia yang cenderung tertinggal dari negara lain.
Bahkan, pada 2016-2017, berdasarkan Global Competitiveness Index, peringkat Indonesia turun di posisi ke-41. Padahal, di periode sebelumnya, Indonesia berada di posisi ke-37.
”Dari indikator waktu tempuh sejauh 100 km di Indonesia, butuh sekitar 2,5 jam. Sementara di Malaysia 1,5 jam dan Vietnam 1 jam lebih. Oleh karena itu, harus dibangun banyak jalan bebas hambatan agar sirkulasi logistik di Tanah Air bisa lebih baik,” tutur Benny.
Meskipun KEK yang beroperasi baru empat, Benny optimistis target 25 KEK hingga 2019 akan tercapai. ”Kalau dilihat dari kesungguhan Pak Presiden Joko Widodo, saya masih yakin target akan tercapai. Contoh saja Tol Becakayu yang baru diresmikan, setelah puluhan tahun proyeknya tidak selesai,” kata Benny.
Kendala
Salah satu tantangan yang dihadapi KEK dalam pengembangannya yaitu persoalan ketersediaan aliran listrik yang dapat menunjang industri di daerah tersebut.
Meski demikian, Direktur Perencanaan Korporat PT PLN (Persero) Syofvi Felienty Roekman mengatakan, kondisi saat ini sudah lebih baik daripada 3-4 tahun yang lalu. Persoalan ketersediaan aliran listrik sudah bergeser menjadi kebutuhan akan ketahanan aliran listrik.
Syofvi juga menyoroti belum terpenuhinya beban listrik di daerah industri, ketika PT PLN sudah memberikan aliran listrik sesuai dengan kebutuhan beberapa daerah industri.
”Contoh di Sei Mangkei kami sudah berikan 1.000 megawatt, tetapi bebannya baru tersalur sekitar 10 persen. Di Bantaeng juga kami sudah bangun gardu listrik baru, tetapi masih ada kendala dalam pembangunan smelter. Saya harap semua itu dapat dipercepat pembangunannya karena ini juga investasi pihak PLN. Kami sudah tidak mau lagi terima jika hanya sekedar janji-janji saja,” tutur Syofvi.
Hingga tahun 2026, menurut rencana PLN akan menambah transmisi yang totalnya mencapai 67.400 kilometer sirkuit (kms) dan gardu induk yang totalnya 165.200 MVA. Sementara itu, dalam kurun 2017-2026 PT PLN akan membangun 77,9 GW.
Sementara itu, Linda Sunarti, Direktur Utama PT Pertagas Niaga, mengatakan siap mengakomodasi kebutuhan gas industri di Indonesia.
”Kami siap untuk penyaluran gas karena kami juga melakukan penyaluran gas dengan metode LNG trucking,” ujar Linda.
Sumber: Pertagas
Menurut Linda, kendala yang ditemui saat penyaluran ialah ketersediaan infrastruktur, misalnya pelabuhan.
Pihaknya kesulitan menyalurkan gas ke daerah industri yang belum tersedia pelabuhan yang memadai untuk kapal berukuran besar. (DD14)