Pembangunan Kembali Pulau Reklamasi Resahkan Warga Sekitar
JAKARTA, KOMPAS — Setelah pencabutan sanksi administrasi atau moratorium, Pulau Reklamasi C dan D langsung tancap gas mengebut pembangunan. Dampak negatif mulai dirasakan nelayan pesisir Jakarta Utara, yang berbatasan langsung dengan pulau itu. Sementara di Pulau G belum terlihat tanda-tanda pembangunan kembali.
Reklamasi di Teluk Jakarta merupakan perwujudan dari Peraturan Gubernur No 121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantura Jakarta yang menetapkan ada 17 pulau reklamasi untuk dibangun. Lewat pergub itu, pulau tersebut sudah diberi nama A sampai Q.
Pada 2016, reklamasi sempat dihentikan sementara oleh Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli. Namun, berselang satu tahunan, penerus posisi Rizal, yaitu Luhut Binsar Pandjaitan, mencabut moratorium Pulau C, D, dan G. Ketiga pulau tersebut diizinkan dibangun kembali.
Tim Kompas, Kamis (9/11), mencoba mengamati kelanjutan pembangunan pulau reklamasi dengan kapal nelayan. Pemantauan Kompas menunjukkan, aktivitas tidak terlihat di Pulau G. Di sini hanya terdapat bangunan seperti pos jaga, itu pun kosong. Rumput-rumput liar tumbuh secara acak. Pinggiran pulau mengalami abrasi sehingga banyak kubangan di dalam pulau seberang Ancol, Jakarta Utara, ini.
Berdasarkan data Litbang Kompas, Pulau G memulai pembangunan pada 2016. Namun, belum sempat membangun banyak, izin pulau ini dihentikan.
Berbeda dengan Pulau D yang sudah dibangun dua tahun lebih awal, 2014. Setahun setelah dibangun, Pulau C muncul bersebelahan dengan Pulau D. Namun, pada tahun ini kedua pulau yang awalnya menyatu ini dipisah.
Pengamatan berlanjut ke Pulau C dan D yang bersebelahan. Keduanya sudah memulai pembangunan. Terlihat alat-alat berat mengelilinginya. Pada Pulau D, tumpukan batu pembatas setinggi 2,5 meter terlihat kokoh. Pembatas itu memagari seluruh pulau.
Pulau D pun sudah dilengkapi puluhan ruko tiga lantai yang bederetan. Dari pengamatan melalui kapal, Pulau D terlihat menyatu dengan Pulau C.
Sementara di Pulau C hanya separuh pulau yang dibatasi pagar. Sisanya sedang dikerjakan. Ada truk dan alat berat serta tumpukan pasir yang menggunung di ujung pulau yang belum dipagari. Pembangunan baru sekitar 50 persen.
Pembangunan kembali itu secara langsung dirasakan nelayan pesisir di Muara Kamal, Jakarta Utara. Syekh (53) setiap malam terusik dengan kebisingan alat berat sejak sebulan ini. Apalagi, rumah Syekh berhadapan langsung dengan Pulau C yang hanya berjarak sekitar 300 meter. ”Dug... Dug...,” ucapnya menirukan suara alat berat, Kamis, saat dijumpai di rumahnya.
Syekh mengatakan, suara itu cukup sering muncul, terutama saat malam. Jadi, ia dan istrinya terganggu saat tidur.
Tak hanya itu masalahnya. Saat angin sedang berembus kencang, debu hasil pengerjaan menghampiri rumah nelayan. Akibatnya, seluruh peralatan yang ada di dalam dan luar rumah tertutup debu tebal. ”Bahkan kalau mau makan jadi tidak bisa. Debu masuk sampai ngotorin piring-piring,” kata Syekh.
Ekosistem rusak
Melihat itu, Syekh menyayangkan reklamasi yang kembali dibangun. Sebab, karena reklamasi, ia yang dulunya nelayan kerang hijau harus berhenti beberapa tahun silam. Penurunan pendapatan membuat Syekh tidak meneruskan usahanya. ”Dulu bisa dapat lima ratus ribu sekali berangkat. Bisa dapat 20 ember. Sekarang sudah susah,” katanya.
Kerang hijau yang berkurang, dinilai Syekh, karena limbah dari pulau. Ia mengatakan, sebelum ada pembangunan, air laut tidak sekotor sekarang. Kini, air di sekitar rumahnya keruh dan gatal. Apalagi, air kotor dari aliran sungai tidak bisa mengalir ke laut lepas. Ujung-ujungnya sirkulasi air kembali lagi ke rumah nelayan.
Hal senada disampaikan nelayan kerang hijau lainnya, Benga. Ia menilai pembangunan menghasilkan limbah. Hasilnya air laut pun tercemar. Padahal, kerang hijau akan mati bila itu terjadi. Pelaku usaha kerang hijau selama 20 tahun ini pun mengalami penurunan pendapatan secara drastis.
”Kalau perbandingan, tiga banding satu,” kata Benga. Sebelum reklamasi, ia bisa mendapat 300 ember kerang hijau di satu tempat. Namun, sekarang paling banyak hanya 100 ember dan itu juga sulit.
Tidak hanya kerang hijau, biota laut lain, seperti cumi-cumi, ikan, dan udang, berkurang. Tamrin (53), nelayan tangkap, tiga tahun belakangan kekeringan tangkapan. Nelayan yang menjadikan cumi-cumi sebagai tangkapan utama itu kini sulit untuk membiayai anak buah kapalnya.
Dulu Tamrin bisa membawa pulang dua kuintal cumi-cumi, tetapi kini 10-15 kilogram per hari pun sudah sulit. ”Sudah berbeda,” ucapnya.
Masa depan
Namun, Tamrin tidak ingin terus mengutuk kondisi. Apalagi, pulau-pulau itu pun sudah ada yang terlanjur dibuat. Ia berharap pulau itu adalah yang terakhir. ”Tidak apa-apalah, tetapi cukup tiga ini saja. Jangan nambah lagi,” katanya.
Ahli teknik kelautan Institut Teknologi Bandung, Andojo Wurjanto, mengatakan, Pulau C, D, dan G yang sudah terlanjur dibuat memang sebaiknya dimanfaatkan. Salah satunya dengan kerja sama dengan pihak pengembang.
Menurut Andojo, pengembang pulau reklamasi harus bertanggung jawab kepada kelompok yang paling dirugikan, yaitu nelayan pesisir. Ketika pulau jadi, daerah pesisir akan semakin kotor dan rusak ekosistemnya.
Kerja sama yang dimaksud Andojo harus saling menguntungkan. Pihak pemerintah bisa menegosiasikan untuk pengembang agar dapat memberi tempat bagi rumah para nelayan di daerah terluarnya. ”Tidak bisa kalau masyarakat yang paling dirugikan tidak mendapat apa-apa,” katanya.
Pengamat tata kota Nirwono Yoga mengatakan, Pemerintah Jakarta sebaiknya menghentikan proyek pembangunan pulau reklamasi. Setelah itu, pulau yang sudah terlanjur jadi sebaiknya digunakan untuk hutan lindung ataupun fasilitas olahraga. ”Harus untuk kepentingan rakyat,” ujarnya.
Yoga mencontohkan, Pulau G yang terbengkalai tidak perlu diperbaiki. Kondisi yang ada sekarang sudah mencukupi untuk menjadi hutan lindung, bukan untuk komersial. (DD06)