Khofifah Vs Saifullah, Persaingan Kelompok Struktural dan Kultural
Jika benar Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur 2018 hanya diikuti dua pasang calon, Saifullah Yusuf-Abdullah Azwar Anas dan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak, berarti untuk ketiga kali Saifullah dan Khofifah bertarung di Pilkada Jatim.
Sebagai wakil gubernur petahana, Saifullah diuntungkan oleh keleluasaan gerak dan mungkin juga anggaran. Namun, sang penantang, Khofifah, yang menjabat Menteri Sosial Kabinet Kerja, juga memiliki keuntungan yang tidak sedikit.
Persoalannya, siapa yang bisa mengoptimalkan modal ”keuntungan” menjelang hingga pelaksanaan pilkada 27 Juni 2018 nanti? Khofifah dan Saifullah adalah kader yang sama-sama dibesarkan Nahdlatul Ulama (NU).
Khofifah menjabat Ketua Pimpinan Pusat Muslimat NU (organisasi perempuan di bawah NU) selama empat periode, sedangkan Saifullah yang mantan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) DKI mulai berkiprah di NU sebagai pengurus GP Ansor hingga sekarang menjadi salah satu ketua Pengurus Besar NU.
Persoalannya, siapa yang bisa mengoptimalkan modal ’keuntungan’ menjelang hingga pelaksanaan pilkada 27 Juni 2018 nanti? Khofifah dan Saifullah adalah kader yang sama-sama dibesarkan Nahdlatul Ulama.
Meskipun keduanya kader NU, ada sedikit perbedaan perjalanan keduanya dalam memimpin NU. Saifullah dikenal dekat dengan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, sementara Khofifah punya kedekatan dengan mantan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi. Semua warga NU, khususnya di Jawa Timur, tahu persis bagaimana kedua tokoh, yakni KH Said dan KH Hasyim, bersaing pada Muktamar NU di Jombang pada Austus 2015.
Saifullah, yang ingin mengamankan jabatan kedua KH Said, sejak awal mengampanyekan duet KH Mustofa Bisri dan KH Said Aqil Siroj. Muktamar diwarnai protes terkait peserta yang dibolehkan masuk arena hingga pengunduran diri KH Mustofa Bisri sebagai calon Rais Aam, digantikan KH Ma’ruf Amin.
Saifullah dikenal dekat dengan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, sementara Khofifah punya kedekatan dengan mantan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi.
Sebagai Ketua Panitia Muktamar, Saifullah dinilai berbuat tidak adil ketika peserta yang dianggap punya afiliasi dengan KH Hasyim Muzadi dipersulit masuk ke arena muktamar. Para pendukung KH Hasyim ini bermarkas di Pesantren Tebuireng, yang diasuh KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah).
Kalaupun KH Said memenangi persaingan, keretakan di tubuh NU sempat memanas dengan upaya menggugat ke pengadilan hasil-hasilnya. Namun, KH Hasyim sebagai tokoh yang dijagokan untuk menjadi Rais Aam oleh sebagian besar pengurus cabang NU di Jatim berusaha meredamnya. Sebagai tokoh panutan, KH Hasyim dan Gus Sholah meminta kepada pendukung mereka agar melupakan kejadian selama di muktamar.
Pilkada 2008
Pada muktamar di Jombang itu, hampir seluruh pengurus cabang NU kabupaten dan kota di Jatim mendukung pencalonan KH Hasyim untuk menjadi Rais Aam dan seperti diketahui Jatim merupakan daerah basis utama NU di Indonesia.
Meski akhirnya gagal maju menjadi calon Rais Aam, soliditas dukungan pengurus cabang kepada KH Hasyim, yang tidak mungkin lagi mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PBNU, tidak berubah.
Sebagai mantan Ketua Pengurus Wilayah NU Jatim, KH Hasyim mendukung Khofifah pada dua kali pilkada Jatim sebelumnya. Bahkan, pada pilkada pertama tahun 2008 santer diembuskan bahwa KH Hasyim ikut mencarikan dana untuk Khofifah. Tidak heran, jika pada dua pilkada Jatim sebelumnya, sebagian besar pengurus cabang NU di Jatim berjibaku untuk memenangkan Khofifah.
Sebagai Ketua Umum PP Muslimat, Khofifah berhasil meyakinkan pengurus Muslimat di kabupaten dan kota di Jatim untuk mendukungnya. Perpaduan kelompok struktural pengurus NU dan Muslimat di Jatim inilah yang membuat Khofifah yakin akan dapat memenangi persaingan.
Namun, Sukarwo yang sudah lebih dari 30 tahun menjadi pegawai di lingkungan Pemprov Jatim tahu betul bagaimana caranya ”menjinakkan” pengurus atau struktural NU. Memanfaatkan Imam Utomo yang waktu itu masih menjabat gubernur, Sukarwo bergerilya dan mengambil suara dari kantong-kantong kultural NU dengan menjadikan Saifullah Yusuf sebagai calon wakil gubernur.
Pada pilkada kedua, Khofifah kembali maju. Pada pilkada ini, kita kembali menyaksikan kelompok struktural yang mencoba meyakinkan warga Jatim untuk memimpin wilayahnya.
Sebaliknya, Sukarwo seolah ”dipaksa” untuk kembali menjadikan Saifullah sebagai calon wakil gubernur untuk dapat memenangi persaingan. Hasilnya, seperti kita ketahui, Khofifah kembali kalah dalam persaingan kedua ini.
Karier politik
Berbeda dengan dua pilkada sebelumnya, persaingan di pilkada ketiga ini akan sangat menentukan karier politik masing-masing. Khofifah tentu tidak mau kalah untuk ketiga kalinya, sementara Saifullah yang ”sabar” menunggu selama 10 tahun untuk dapat mencalonkan diri menjadi gubernur tak ingin melepas kesempatan ini. Dan, sekali lagi, persaingan keduanya tetap membawa nuansa pertarungan NU struktural dan NU kultural.
Sebagai wakil gubernur, Saifullah sejak jauh hari sudah menggarap jaringan kultural NU antara lain dengan mengunjungi hampir semua pesantren di Jatim, kecil maupun besar. Saifullah yang pandai bergaul gampang diterima para pengasuh pesantren. Dia tidak pernah lelah untuk mengunjungi setiap kegiatan di pesantren, sekecil apa pun bentuknya.
Di sisi lain, dukungan kelompok struktural terhadap Khofifah juga tidak berkurang, kalau tidak dibilang makin solid. Dengan jabatan sebagai Menteri Sosial, Khofifah hampir setiap pekan berkunjung ke Jatim, membawa program-program pemerintah hingga ke tingkat desa atau kelurahan.
Sebagai wakil gubernur, Saifullah sejak jauh hari sudah menggarap jaringan kultural NU antara lain dengan mengunjungi hampir semua pesantren di Jatim, kecil maupun besar.
Tidak diragukan lagi, Khofifah memiliki tim yang lebih banyak perempuan, yang cukup tangguh untuk tidak menyebut luar biasa. Mereka terus bekerja dari kampung ke kampung ”menjual” Khofifah lewat beragam cara, mulai dari arisan, madrasah, sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD), hingga SMA.
Saifullah selama ini mendapat dukungan dari Partai Kebangkitan Bangsa dan PDI-P, sementara Khofifah akan diusung Partai Golkar, Demokrat, dan Nasdem. Akan tetapi, dalam banyak pilkada, partai pendukung tidak terlalu memengaruhi pemilih. Mereka lebih tertarik melihat figur daripada partai pengusung.
Agak sulit menerka siapa yang bakal unggul pada pilkada serentak 2018 nanti. Kedua calon sama-sama memiliki keunggulan masing-masing sehingga beberapa pengamat mengingatkan bahwa calon wakil gubernur bisa jadi penentu kemenangan.
Tiga kluster budaya
Seluruh wilayah di Jatim bisa dibagi dalam tiga kluster budaya, yang masing-masing memiliki kecenderungan berbeda. Wilayah timur Jatim dikenal sebagai daerah Pandalungan yang secara geografis garis lurus ke selatan dari Pasuruan ke timur sampai Banyuwangi. Di wilayah ini, budaya Madura punya pengaruh cukup dominan.
Khofifah memilih Emil Dardak, Bupati Trenggalek, untuk menjadi pendampingnya. Emil yang berasal dari PDI-P dan mendapat dukungan Demokrat, diharapkan oleh Khofifah dapat merebut suara di daerah Mataraman, yang terpengaruh budaya Keraton Yogyakarta dan Solo.
Pada dua pilkada sebelumnya, untuk calon wakil gubernur pada pilkada 2008, Khofifah memilih Mudjiono (mantan Kepala Staf Kodam Brawijaya) dan pada pilkada 2013, ia memilih Herman Surjadi Sumawiredja (mantan Kepala Polda Jatim), yang dinilai tidak mencerminkan suara warga Jatim.
Daerah Mataraman punya afiliasi politik ke PDI-P yang masih cukup kuat. Begitu juga afiliasi ke Partai Demokrat, juga cukup kuat karena faktor mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, khususnya di eks Karesidenan Madiun. Saifullah dipasangkan dengan Abdullah Azwar Anas yang merupakan kader PDI-P untuk meraih dukungan dari Mataraman. Namun, ”pintu” masuk pasangan ini ke wilayah Mataraman sampai sekarang masih belum jelas benar kecuali lewat jalur PDI-P.
Kluster kedua meliputi Surabaya dan sekitarnya serta Malang dan sekitarnya. Budaya yang dominan di wilayah ini dikenal dengan budaya Arek, yang sangat egaliter. Daerah terakhir dikenal dengan nama Mataraman meliputi eks Karesidenan Madiun, Kediri, dan Bojonegoro.
Baik pasangan Khofifah maupun Saifullah tidak ada yang betul-betul dominan di salah satu dari ketiga kluster budaya ini. Dapat diduga, persaingan kedua pasangan di ketiga kluster ini akan cukup sengit. Itu tecermin dalam pemilihan calon wakil gubernur masing-masing.
Di wilayah budaya Arek, persaingan kedua pasangan ini akan cukup ketat meskipun Khofifah dinilai sedikit lebih unggul. Khofifah dinilai leih berpengalaman sehingga banyak orang menganggap Khofifah lebih menguasai persoalan dibandingkan Saifullah. Penilaian ini muncul karena rata-rata tingkat pendidikan di kluster ini lebih baik dibandingkan dua kluster budaya lainnya.
Meskipun gerakan dan aktivitas Muslimat cukup banyak di kluster budaya Pandalungan, Saifullah lebih intens masuk ke hampir semua pesantren di sini tanpa melihat besar kecilnya pesantren. Itu dilakukan Saifullah setelah menjabat wakil gubernur periode 2013-2018 hampir tiap hari. Wajar kalau Saifullah dinilai lebih unggul di kluster Pandalungan dibandingkan Khofifah.
Terkait pasangan masing-masing, Abdullah Azwar Anas juga dinilai lebih unggul dibandingkan Emil Dardak. Anas yang sudah tujuh tahun menjadi Bupati Banyuwangi dinilai oleh banyak orang berhasil membangun daerahnya. Selama menjadi bupati, Anas mendapat banyak penghargaan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, di samping yang berasal dari kalangan pesantren.
Abdullah Azwar Anas juga dinilai lebih unggul dibandingkan Emil Dardak. Anas yang sudah tujuh tahun menjadi Bupati Banyuwangi dinilai oleh banyak orang berhasil membangun daerahnya.
Sementara Emil Dardak baru setahun menjabat Bupati Trenggalek sehingga agak sulit mengukur keberhasilan program yang dicanangkannya. Namun, Emil punya keunggulan lain, yakni lulusan perguruan tinggi luar negeri dan pernah bekerja di lembaga internasional yang sangat bergengsi, Bank Dunia.
Agak susah memprediksi pasangan mana yang akan lebih unggul di Pilkada Jatim. Masing-masing memiliki keunggulan komparatif sehingga arena kampanye akan menentukan hasil akhir. Di arena kampanye akan terlihat seberapa jauh penguasaan masalah, kedekatan emosi, cara bicara, kesantunan, dan faktor penampilan lain akan ikut menentukan hasil akhir.
Agak susah memprediksi pasangan mana yang akan lebih unggul di Pilkada Jatim. Masing-masing memiliki keunggulan komparatif sehingga arena kampanye akan menentukan hasil akhir.