Bahasan Kewenangan Uji Materi Satu Atap Tunggu Tahun Politik Berlalu
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usulan untuk menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang mengadili uji materi peraturan perundang-undangan, baik yang setingkat undang-undang maupun di bawahnya, masih harus menunggu tahun politik yang berlangsung selama 2018-2019 berlalu.
Pasalnya, amandemen konstitusi yang mengatur kewenangan MK dan Mahkamah Agung tentang uji materi itu tidak mungkin dilakukan di dalam suasana pemilihan umum yang dinamika politiknya sangat tinggi.
Usulan menjadikan kewenangan pengujian materi peraturan perundang-undangan di bawah satu atap, yaitu agar menjadi kewenangan MK sepenuhnya, mencuat di dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-4 di Universitas Negeri Jember, November 2017.
Usulan itu mengemuka setelah peran pengujian materi terhadap peraturan perundang-undangan yang saat ini dilakukan oleh dua lembaga peradilan yang berbeda, yaitu MK untuk undang-undang (UU) dan aturan setingkat UU, serta MA untuk peraturan di bawah UU, dinilai tidak lagi efektif.
Uji materi yang diselenggarakan MA tidak memberikan kesempatan bagi semua pihak untuk didengarkan pendapatnya dan persidangan uji materi itu pun dilakukan tertutup.
Terlebih lagi banyak keluhan dari masyarakat pencari keadilan yang merasakan uji materi peraturan di bawah UU yang diselenggarakan MA tidak memberikan kesempatan bagi semua pihak untuk didengarkan pendapatnya. Persidangan uji materi itu pun dilakukan tertutup.
Berbeda dengan sidang uji materi di MK yang mengundang semua pihak untuk didengarkan pendapatnya dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur, Bayu Dwi Anggono saat dihubungi dari Jakarta, Senin (22/1), mengatakan, usulan penyatuan kewenangan uji materi di bawah MK itu telah diusulkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai bagian dalam rencana amandemen UUD 1945.
Amandemen UUD 1945 itu harapannya tidak hanya terbatas pada isu-isu yang berupaya didorong oleh MPR, misalnya, dengan pembentukan dokumen haluan negara semacam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), tetapi juga perkembangan terbaru dalam dunia ketatanegaraan.
”Usulan untuk menyatuatapkan kewenangan uji materi di MK harus dilakukan dengan mengamandemen Pasal 24A UUD 1945. Sebab, kewenangan MA menguji peraturan di bawah UU itu diatur di dalam konstitusi. Namun, dalam kondisi tahun politik saat ini, usulan itu belum bisa diimplementasikan saat ini. Usulan itu kemungkinan baru akan ditindaklanjuti oleh MPR setelah pemilu usai,” kata Bayu.
Selain mengubah kewenangan MA, untuk memuluskan rencana menjadikan kewenangan uji materi di bawah MK, harus pula dilakukan dengan mengubah ketentuan di dalam Pasal 24C. Pasal 24C mengatur kewenangan MK menguji UU.
Selama usulan untuk menjadikan MK lembaga peradilan satu-satunya yang menangani uji materi, menurut Bayu, MA memiliki kewajiban meningkatkan pelayanan terhadap publik menyangkut uji materi aturan di bawah UU.
Jangka waktu penanganan uji materi di MA yang hanya 14 hari dinilai tidak mencukupi untuk memberikan pertimbangan mendalam. Berbeda dengan jangka waktu penyelesaian uji materi di MK yang tidak diberi batasan waktu.
”Uji materi di MA yang hanya memberikan waktu 14 hari itu tidak cukup. MA idealnya merevisi ketentuan mengenai batas waktu itu di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011, yakni dengan menetapkan adanya pemeriksaan pendahuluan sebelum memasuki batas waktu 14 hari tersebut,” kata Bayu.
Ketua MA Hatta Ali, akhir pekan lalu, mengatakan, pihaknya tidak berkeberatan dengan adanya usulan untuk menjadikan MK sebagai satu-satunya lembaga pengadil norma peraturan perundang-undangan.
MA tidak berkeberatan dengan adanya usulan untuk menjadikan MK sebagai satu-satunya lembaga pengadil norma peraturan perundang-undangan.
”Saya sama sekali tidak keberatan dengan usulan itu. Sebab, itu akan sangat membantu dalam mengurangi beban perkara di MA. Dalam setahun, lebih dari 15.000 perkara yang harus ditangani MA dan ratusan di antaranya adalah perkara uji materi. Jika memang MK akan dijadikan lembaga satu atap dalam melakukan uji materi, hal itu tentu akan memberikan dampak berarti bagi penanganan perkara di MA,” ujarnya.
Beban perkara yang besar itu pula yang menjadi salah satu alasan MA tidak bisa menyelenggarakan sidang uji materi secara terbuka. ”Jika semua sidang uji materi dilakukan secara terbuka, saya tidak bisa membayangkan berapa banyak orang yang akan datang dan akibatnya yang timbul apabila penanganan perkara itu tidak diberi batasan waktu,” kata Hatta.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah menambahkan, pihaknya berupaya meningkatkan pelayanan terhadap pencari keadilan dalam uji materi, antara lain dengan rencana revisi Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2011 yang mengatur uji materi di MA.
”Kami telah mengajukan draf revisi peraturan MA itu. Awalnya, MA diberi waktu 14 hari untuk menuntaskan penanganan uji materi itu. Namun, di dalam revisi peraturan MA itu, kami mengusulkan agar waktunya ditambah menjadi 30 hari sehingga ada waktu lebih leluasa bagi hakim dalam mempertimbangkan setiap pendapat, termasuk ahli dan saksi,” katanya.
Draf revisi perma itu, kata Abdullah, telah dikirimkan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. ”Draf itu belum disetujui oleh Kemenkumham. Kalau sudah disetujui, revisi perma itu akan langsung ditandatangani oleh Ketua MA,” ujarnya.