Kurang Optimal, Penggunaan Dana Otsus Papua Akan Dievaluasi
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah membentuk sebuah tim khusus guna mendampingi pengelolaan dana otonomi khusus Papua. Tim dibentuk karena pengawasan pengelolaan dana dinilai masih lemah. Kejadian luar biasa atau KLB gizi buruk dan campak di Kabupaten Asmat, Papua, baru-baru ini dinilai merupakan salah satu dampak dari pengelolaan dana yang kurang optimal.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pembangunan Bina Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Diah Indrajati menyatakan, Kemendagri telah membentuk sebuah tim khusus (task force) pada 28 Januari kemarin. Tim bertugas mengawasi, membina, dan mengevaluasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat.
”Yang menjadi anggota pokok dari tim adalah tiga direktorat jenderal (ditjen) Kemendagri,” kata Diah, dalam acara Forum Merdeka Barat 9 bertema ”Memajukan Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat Papua” di Jakarta, Senin (29/1).
Turut hadir sebagai narasumber dalam acara tersebut Menteri Kesehatan Nila Moeloek dan Menteri Sosial Idrus Marham. Selain itu, hadir pula Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal Sabrar Fadhilah serta Deputi II Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategis Kantor Staf Presiden Indonesia (KSP) Yanuar Nugroho.
Tim khusus bertugas mengawasi, membina, dan mengevaluasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat.
Ditjen Pembangunan Bina Daerah (Bangda) akan merencanakan pembangunan daerah dan mengawal pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Ditjen Bina Keuangan Daerah (Keuda) bertugas membina dan mengevaluasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).
Selain itu, Ditjen Otonomi Daerah mengawal pelaksanaan otonomi khusus.
Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki otonomi khusus (otsus). Hal itu dijamin dalam Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, sebagaimana diubah dengan UU No 35/2008 tentang Penetapan Perppu No 1/2008 tentang Perubahan atas UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-undang.
Otsus memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah (pemda) menentukan program dan alokasi dana untuk membangun Papua dari segi fisik dan nonfisik sesuai budaya setempat.
Dalam Pasal 34 UU No 21/2001 disebutkan, sumber penerimaan pemda berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, pinjaman daerah, penerimaan sah lainnya, dan penerimaan provinsi dalam rangka otsus.
Penerimaan provinsi otsus terbagi menjadi dua, yaitu dana otsus sebesar 2 persen dari total dana alokasi umum (DAU) nasional selama 20 tahun dan dana tambahan infrastruktur. Penggunaan dana otsus dari DAU nasional difokuskan pada pembiayaan pendidikan dan kesehatan.
Otsus memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah (pemda) menentukan program dan alokasi dana untuk membangun Papua dari segi fisik dan nonfisik sesuai budaya setempat.
Selanjutnya dana otsus diperuntukkan 70 persen untuk Provinsi Papua dan 30 persen Provinsi Papua Barat. Provinsi Papua mengalokasikan dana 20 persen untuk provinsi dan 80 persen untuk kabupaten atau kota. Sementara Provinsi Papua Barat membaginya menjadi 30 persen provinsi dan 70 persen kabupaten atau kota.
Adapun dana tambahan infrastruktur merupakan hasil penetapan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan usulan daerah. Tujuan pengalokasian dana infrastruktur adalah sekurang-kurangnya dalam 25 tahun seluruh kota provinsi, kabupaten/kota, dan distrik sudah terhubung transportasi darat, laut, dan udara.
”Alokasi dana otsus untuk Papua meningkat dari tahun ke tahun,” ujar Diah. Pada 2017, dana otsus untuk Papua Rp 11,67 triliun, yaitu Rp 8,2 triliun untuk Provinsi Papua dan Rp 3,47 triliun untuk Provinsi Papua Barat.
Jumlah dana otsus meningkat pada 2018 menjadi Rp 12,3 triliun, yakni Rp 8 triliun untuk Provinsi Papua dan Rp 4,3 triliun untuk Provinsi Papua Barat.
Diah menyatakan, kasus krisis kesehatan di Asmat menjadi peringatan bagi pemerintah bahwa pengelolaan dana otsus belum maksimal meskipun anggaran meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah anak yang meninggal akibat KLB gizi buruk dan campak dari September 2017 hingga 28 Januari 2018 mencapai 71 orang (Kompas, 29 Januari 2018).
Nilai dana otsus pada 2018 mencapai Rp 12,3 triliun, yakni Rp 8 triliun untuk Provinsi Papua dan Rp 4,3 triliun untuk Provinsi Papua Barat.
Tim khusus akan segera mengevaluasi penggunaan dana otsus Papua agar tidak terjadi lagi kasus serupa. Evaluasi tersebut akan menentukan apakah sebenarnya dana otsus telah cukup atau perlu ditambah. Jika cukup, penggunaan dana akan dievaluasi.
Yanuar menambahkan, kasus KLB gizi buruk dan campak di Kabupaten Asmat merupakan puncak gunung es dari berbagai masalah yang ada di Papua. Oleh karena itu, kapasitas pemda harus ditingkatkan dalam jangka menengah berdasarkan Instruksi Presiden No 9/2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Pemerintah akan mendampingi pemda dan masyarakat melalui Kemendagri, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Pendampingan dilakukan dalam jangka waktu yang kontinyu, sekitar 3-5 tahun.
Selain pembentukan tim khusus, pemerintah juga akan meningkatkan kualitas dan akses kesehatan melalui Kemenkes dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Pemerintah juga akan meningkatkan konektivitas melalui Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perhubungan, dan sebagainya. Berbagai strategi yang membantu mengatasi masalah pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi juga akan dilakukan.
”Pendampingan untuk menyesuaikan program dengan budaya setempat, khususnya untuk intervensi penyediaan air bersih atau sanitasi,” ujar Yanuar. Menurut dia, pendampingan akan dilakukan berdasarkan berbagai indikator, di antaranya pemetaan sebaran Kartu Indonesia Sehat (KIS) serta jumlah guru dan puskesmas.
Diapresiasi
Staf Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli Papua (Pokja Papua) Methodius Kossay mengatakan, pembentukan tim khusus itu dibutuhkan. Akan tetapi, pemerintah tetap perlu melibatkan dan mempertimbangkan kepentingan masyarakat asli Papua dalam membuat kebijakan.
”Banyak program bagus, tetapi ketika sampai di lapangan tidak berjalan mulus,” ujar Methodius, yang juga menghadiri acara Forum Merdeka Barat 9 itu. Selain dengan pejabat daerah, pemerintah juga diminta untuk berkonsultasi dengan tokoh adat dan agama di Papua.
Hal tersebut, ujarnya, diperlukan karena alokasi dana sering tidak berjalan lancar karena beberapa pejabat dinilai tidak mengemban amanah untuk melayani rakyat dengan sepenuh hati. Selain itu, banyak oknum juga terlibat dalam pengelolaan dana otsus.
Uskup Agats Aloysius Murwito saat dihubungi menyatakan, kejadian di Asmat telah menjadi sebuah momen yang membuka mata semua pihak bahwa penderitaan masih terjadi. Pembentukan tim khusus dapat menciptakan mekanisme pengawasan baru dari pemerintah pusat.
Ia menyarankan agar pengawasan sampai di tingkat yang paling rendah, yaitu di kampung. Hal ini karena jumlah tenaga medis di Asmat telah mencukupi, tetapi tenaga mereka belum digunakan secara maksimal. (DD13)