Biaya Tinggi Pilkada Jadi Pemicu Korupsi Kepala Daerah
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya biaya pemilihan kepala daerah di Indonesia yang antara lain dipicu oleh mahar calon ke partai politik menjadi penyebab maraknya kepala daerah ditangkap KPK karena menerima suap dan gratifikasi.
Selain biaya politik yang tinggi untuk menjadi kepala daerah, pengawasan yang minim dari proses tata kelola pemerintahan daerah juga ikut menyebabkan kepala daerah tergoda melakukan korupsi.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), ada korelasi antara semakin maraknya korupsi yang dilakukan kepala daerah dan banyak kesempatan korupsi dari pengadaan barang dan jasa serta minimnya pengawasan.
Terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono Suharli Wihandoko bersama ajudannya di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (3/2). Nyono diduga menerima suap terkait proyek pengadaan barang dan jasa di daerahnya.
Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri menyatakan, korupsi yang dilakukan kepala daerah tidak dapat dilepaskan dari dua aspek. Pertama, tingginya biaya pilkada, termasuk uang mahar kepada partai politik (parpol) dan biaya pemenangan. Mahar parpol dan biaya pemenangan bisa bersumber dari yang bersangkutan ataupun pengusaha yang meminjamkan.
”Penyebab yang lain adalah sifat serakah dari kepala daerah,” kata Hendri, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (4/2). Kepala daerah, lanjut Hendri, cenderung ingin agar biaya tinggi yang dia keluarkan selama kampanye bisa kembali saat dia menjabat. Padahal pengeluaran selama proses pilkada, termasuk saat kampanye tak sebanding dengan pemasukan resmi sebagai kepala daerah.
Kepala daerah pun, menurut Hendri, jadi tergoda melakukan korupsi dengan menyalahgunakan wewenangnya, seperti jual beli proyek dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Beberapa sering mematok jatah 7-15 persen dari total nilai sebuah proyek pada kontraktor yang ingin mendapatkan proyek tersebut.
Kesempatan lain untuk korupsi dapat melalui penggelapan pajak dan retribusi daerah. Daerah dengan pajak dan retribusi daerah yang tinggi kerap membuat kepala daerah bekerja sama dengan birokrasi lokal untuk memanipulasi angka.
Ranah lainnya yang dikorupsi adalah perizinan usaha, terutama dari sektor pertambangan dan perkebunan, mutasi dan promosi pejabat eselon daerah, pengadaan barang dan jasa, serta pengelolaan aset.
”Berdasarkan catatan kami, Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki banyak kasus korupsi,” ujar Hendri. Banyaknya kasus operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK di daerah itu menunjukkan, banyak praktik korupsi transaksional yang terjadi di Jawa Timur.
Ia menilai, kesempatan untuk melakukan korupsi di Jawa Timur terbuka lebar karena memiliki jumlah pemerintah daerah (pemda) terbanyak. Sementara tata kelola masih belum bagus. Selain itu, Indonesia secara umum masih memiliki budaya permisif terhadap korupsi.
Penangkapan kepala daerah yang terbaru akibat kasus korupsi adalah Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono Suharli Wihandoko. Ia ditangkap setelah diduga menerima sejumlah uang dari pihak swasta terkait dengan pengadaan proyek di Kabupaten Jombang.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, KPK melakukan operasi tangkap tangan di sejumlah tempat terpisah. Tim KPK juga sedang mencari pihak swasta yang diduga menyuap bupati.
Sebelumnya, sejumlah kepala daerah di Jawa Timur juga ditangkap KPK. Mereka adalah Bupati Pamekasan Achmad Syafii, Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, dan Wali Kota Mojokerto Masud Yunus. (DD13)