JAKARTA, KOMPAS — Di tengah merebaknya fenomena uang virtual, tingginya risiko dalam perdagangan aset digital ini harus disadari. Kenyataannya, sebagian orang berspekulasi tanpa bekal pengetahuan yang cukup. Sebagian lainnya lebih berhati-hati dan menakar kesanggupan mereka menanggung rugi dalam investasi ini.
Di Indonesia, uang virtual bukan alat pembayaran yang sah. Namun, uang virtual tetap marak diperdagangkan. Beragam motivasi melatari minat masyarakat membeli uang virtual. Banyak yang berharap mendapat imbal hasil tinggi dalam waktu singkat. Sebagian lagi memperlakukan uang virtual seperti investasi jangka menengah-panjang.
Banyak orang membeli uang virtual karena tergiur ajakan teman. Ada pula yang tertarik setelah lebih dulu mempelajari seluk-beluk uang virtual. Hal ini mengemuka dalam penelusuran Kompas pekan lalu hingga Minggu (4/2).
Situasinya mirip cerita orang main di kasino. Fluktuasi dan risiko berinvestasi dengan mata uang kripto sangat besar. Untung atau rugi terjadi kapan saja tanpa penyebab jelas.
Silviana (31), misalnya, membeli uang virtual sejak sebulan lalu. Mula-mula ia membeli bitcoin dan NXT karena jenis uang virtual itu pula yang paling banyak dipilih kawan-kawannya. Dalam hitungan hari, karyawan swasta ini menukar uangnya ke ignis, mata uang virtual lain, karena harga bitcoin dan NXT merosot. Beberapa hari kemudian, dia pindah ke ethereum. Sayangnya, justru setelah itu nilai ethereum turun, sedangkan nilai ignis naik.
”Situasinya mirip cerita orang main di kasino. Fluktuasi dan risiko berinvestasi dengan mata uang kripto sangat besar. Untung atau rugi terjadi kapan saja tanpa penyebab jelas,” ujar Silviana yang kini memantau pergerakan nilai uang virtual setiap hari.
Lain halnya dengan Putro (40). Ia sempat memiliki sekitar 9.000 bitcoin pada 2010 ketika harga uang virtual yang dirilis pada 2009 itu masih berkisar Rp 1.000-an. Bitcoin didapatkan Putro dari berjualan artefak virtual hasil kegemarannya bermain gim.
Pada 2011, ia pindah ke Kalimantan dan tak punya waktu bermain gim lagi. Sebagian besar bitcoin itu pun ia bagikan kepada teman-temannya. Tinggal tersisa sedikit yang ia simpan hingga saat ini.
Di tengah naik turunnya harga bitcoin saat ini, Putro lebih asyik mengamati. Ia tak ingin menaruh banyak uang dalam perdagangan uang virtual. Ia justru membeli ignis ketika uang virtual itu baru dirilis tahun lalu dan harganya masih nol. Ketika harga ignis terdongkrak hingga kisaran Rp 12.000 pada akhir 2017, Putro juga memilih tetap menyimpan uang virtual itu. Ia ingin lebih jauh melihat perkembangan uang virtual dan berinvestasi pada jangka panjang.
Buang uang
Adit (35), yang sehari-hari bekerja di industri komunikasi, juga mengatakan sudah menyadari bahwa fluktuasi ataupun risiko berinvestasi uang virtual terbilang tinggi. Selain itu, ia juga menjadi pemberi dana di salah satu aplikasi pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi.
”Sama seperti ’main’ di aplikasi tekfin pada umumnya. Aku selalu menganggap investasi cara baru sebagai ’membuang uang’. Artinya, aku sudah menyediakan dana dengan nominal tertentu yang aku sangat ikhlas apabila rugi ataupun hilang,” ujarnya.
Pesan senada disampaikan Ihsan (25) yang berinvestasi uang virtual sejak masih belajar di luar negeri, dua tahun lalu. Saat ini, ia menyimpan sekitar 20 jenis uang virtual. Ketika harga bitcoin meroket akhir 2017, ia sempat menarik dan menukarkan sebagian uang virtual itu.
”Ibaratnya, saya sudah balik modal plus imbal hasil. Itu saya keluarkan dulu dari uang virtual,” ujar Ihsan. Kemudian, ia menyisihkan uang sekitar 10-25 persen dari gaji tiap bulan untuk berinvestasi kembali di uang virtual.
”Main di uang virtual sebaiknya hanya sebatas kemampuan kita menanggung kalau uang sejumlah itu hilang, dikalikan dua. Misal batas kesanggupan kita kehilangan uang Rp 5 juta, ya, maksimal investasi Rp 10 jutalah. Sebab, biasanya kalau merosot, ya, terpangkas sejelek-jeleknya 50 persen,” tutur Ihsan.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Eni V Panggabean berpendapat, uang virtual itu berisiko dan rentan penggelembungan. Risiko ini timbul antara lain karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab dan menjadi administrator. Tidak ada pula penanggung jawab aset yang mendasari harga uang virtual sehingga harga uang virtual sepenuhnya ditentukan oleh pasar.
Selain itu, belum ada kepastian hukum pada perdagangan uang virtual. Akibatnya, jika sewaktu-waktu terjadi kerugian, tak ada pihak yang menangani keluhan masyarakat.