Kepala Daerah Petahana Mengorupsi untuk Biaya Kampanye
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama dua minggu Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tiga bupati yang hendak bertarung dalam pemilihan kepala daerah serempak tahun ini. Mereka diduga menggunakan dana korupsi untuk biaya kampanye.
Selasa (13/2) malam, Bupati Subang Imas Aryumningsih ditangkap di rumah dinasnya oleh penyidik lembaga antirasuah itu. Ia diduga melakukan transaksi terkait dengan kewenangan perizinan. Ada uang ratusan juta rupiah disita penyidik KPK.
Sebelumnya, KPK menangkap dua bupati petahana yang juga hendak bertarung di pilkada 2018, yaitu Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko dan Bupati Ngada Marianus Sae (Kompas, 12/2).
Democratic Governance Department Manager Transparency International Indonesia Teguh Setiono berpandangan, dana hasil korupsi tersebut akan digunakan untuk persiapan kampanye pada pilkada 2018.
Para bupati petahana itu berusaha mencari modal untuk kampanye pilkada 2018.
”Mereka berusaha mencari modal untuk kampanye pilkada 2018 dan mencari keuntungan untuk mengembalikan biaya kampanye yang sudah mereka keluarkan pada pilkada sebelumnya,” kata Teguh saat ditemui di Jakarta, Rabu (14/2).
Menurut Teguh, kekuasaan yang mereka miliki selama menjabat bupati akan mempermudah untuk memanipulasi anggaran.
Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, penyebab maraknya kepala daerah terjerat kasus korupsi karena adanya perilaku partai politik (parpol) yang koruptif. Parpol meminta mahar politik kepada kandidat dalam pilkada dan hal ini memicu politik berbiaya tinggi.
Donal mengatakan, perilaku tamak dari sejumlah kepala daerah menyebabkan mereka tergiur untuk korupsi. Selain itu, perilaku masyarakat turut memicu keinginan kepala daerah korupsi, misalnya meminta uang dalam kampanye.
Perizinan akan mudah dimanipulasi dan dikorupsi karena tidak terlihat secara kasatmata.
Teguh menyoroti kasus korupsi pada Imas terkait dengan perizinan. Menurut Teguh, perizinan akan mudah dimanipulasi dan dikorupsi karena tidak terlihat secara kasatmata. Berbeda dengan pengadaan barang yang dapat dipantau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan penegak hukum.
”Korupsi pada perizinan sulit terdeteksi karena butuh pemetaan dari berbagai sektor,” kata Teguh.
Ia menambahkan, korupsi pada perizinan akan terlihat ketika tidak ada sinkronisasi di antara berbagai sektor dan terkesan tumpang tindih.
Menurut Donal, korupsi pada perizinan ada dua bentuk. Pertama, kepala daerah akan mempersulit perizinan tersebut. Kepala daerah akan memberikan izin jika ada uang pelicin.
Kedua, kepala daerah akan memberikan izin dengan cara melanggar rencana tata ruang wilayah yang telah disepakati demi keuntungan pribadi.
Pembenahan
Untuk mencegah keinginan kepala daerah korupsi, dibutuhkan peran aktif pemerintah dan masyarakat. Donal menyebutkan, sistem di dalam partai harus dibenahi untuk mengurangi korupsi.
Undang-undang pemilu sudah dibenahi berkali-kali, tetapi undang-undang tentang parpol tidak pernah dibenahi dengan serius.
”Undang-undang pemilu sudah dibenahi berkali-kali, tetapi undang-undang tentang parpol tidak pernah dibenahi dengan serius,” ujarnya.
Menurut Donal, perbaikan dalam sistem pemilu akan sia-sia jika parpol masih mencari pendanaan dari calon peserta pemilu untuk kepentingan parpol tersebut.
Menurut Teguh, KPK harus berkolaborasi dengan pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengawasi sehingga dapat meminimalkan peluang terjadinya tindak pidana korupsi.
”Meskipun KPK hanya ada di Jakarta, pesan antikorupsi dapat sampai ke seluruh daerah di Indonesia,” ucap Teguh.
Ia menambahkan, kolaborasi tersebut akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada kinerja KPK untuk memberantas korupsi. Hal tersebut dapat mengurangi pandangan negatif kepada KPK yang terkesan tebang pilih dalam menindak pejabat yang terlibat tindak pidana korupsi. (DD08)