JAKARTA, KOMPAS — Sebagai salah satu upaya mengembalikan kerugian negara, Komisi Pemberantasan Korupsi menyita 23 mobil dan delapan motor mewah milik tersangka Abdul Latif, Bupati Hulu Sungai Tengah (nonaktif) yang terjerat kasus gratifikasi, suap, dan tindak pidana pencucian uang. Sebagian dari kendaraan mewah itu didatangkan melalui jalur laut untuk dititipkan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Jakarta Utara dan sebagian lainnya disimpan di Rupbasan Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Delapan mobil mewah dan motor mewah berbagai merek itu mendarat di Dermaga 107, Pelabuhan Tanjung Priok, Senin (19/3) pukul 13.00, dengan menumpang kapal Serasi 3. Petugas dari unit Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) KPK membongkar dan mengawasi perpindahan aset sitaan itu sebelum dikirim ke Rupbasan Jakut.
”Tidak semua barang disimpan di Rupbasan Jakut. Sebab, ada juga barang sitaan KPK dari kasus gratifikasi, suap, dan TPPU tersangka ALA (Abdul Latif) ini yang disimpan di Rupbasan Banjarmasin. Nilai keseluruhan mobil sitaan yang jumlahnya 23 unit tersebut mencapai Rp 10 miliar. Namun, khusus delapan motor mewah yang disita KPK belum dihitung secara detail nilainya,” kata Vine Andalusia, petugas Labuksi KPK.
Kendaraan mewah yang dibawa ke Jakarta itu adalah delapan mobil yang terdiri atas BMW 640i Coupe warna putih, Toyota Vellfire 3G 2.5 A/T warna putih, Lexus tipe 540 4x4 A/T warna putih, Hummer/H3 jenis jep warna putih (dua unit), Jeep Rubicon model COD 4 pintu warna putih, jep Rubicon Brute 3.6 A/T warna putih, dan Cadillac Escalade 6.2 L warna putih.
Adapun untuk motor yang dibawa ke Jakarta berjumlah delapan unit, yaitu BMW Motorrad, Ducati, Husberg TE 300, KTM 500 EXT, dan Harley Davidson (empat unit).
Dalam penanganan perkara Abdul Latif, KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka kasus gratifikasi seusai operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada 4 Januari 2018. Ia diduga menerima fee dari proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Damhuri.
Abdul Latif menyimpan uang fee proyek hasil pemberian dari pihak swasta itu ke dalam rekening koran PT Sugriwa Agung senilai Rp 1,8 miliar. Uang itu diduga berasal dari penerimaan pada September-Oktober 2017.
KPK juga menyita uang Rp 1,8 miliar dari penerimaan pada 3 Januari. Selain itu, KPK juga mendapati ada transfer dari pihak swasta Rp 25 juta sebagai komisi untuk rekanan Abdul Latif di Kamar Dagang dan Industri Indonesia.
Namun, dari penyidikan yang dilakukan oleh KPK, Abdul Latif tidak hanya sekali itu saja menerima fee proyek. Ia diduga menerima fee dari berbagai proyek lainnya dengan kisaran 7,5 persen hingga 10 persen setiap proyek.
Menurut catatan KPK, Abdul Latif sedikitnya menerima gratifikasi Rp 23 miliar. Pemberian-pemberian itu diduga berlawanan dengan kewajiban atau tugas Abdul latif sebagai bupati.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, dalam pengembangan perkara ini pihaknya menemukan dugaan pencucian uang, antara lain dengan menyembunyikan, menyamarkan, dan membelanjakan uang hasil suap dan gratifikasi itu. Beberapa dari uang itu dibelanjakan untuk membeli sejumlah kendaraan mewah yang akhirnya disita KPK.
Jumat akhir pekan lalu, KPK menetapkan Abdul Latif sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU). ”Ia tidak hanya menjadi tersangka dalam kasus suap, tetapi juga gratifikasi dan TPPU,” kata Febri.
Perampasan aset
Pejabat yang korupsi atau menerima gratifikasi dan suap dipastikan tidak bisa lolos dari penegak hukum. Sebab, kendati mereka berhasil lolos atau tidak diketahui saat menerima uang dari hasil korupsi, tindak kejahatan itu tetap dapat terungkap dengan penerapan pasal gratifikasi dan pasal pencucian uang.
”Pada prinsipnya, setiap kekayaan hasil korupsi akan dirampas untuk negara,” kata Febri.
Manajer Departemen Riset Transparency International Indonesia (TII) wawan Suyatmiko mendukung upaya KPK menjerat tersangka suap dan gratifikasi dengan pasal TPPU. Bahkan KPK didorong lebih berani lagi menggunakan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
”Seharusnya KPK menerapkan UU TPPU dalam setiap kasus tipikor yang ditanganinya. Namun, dalam beberapa kasus, KPK belum cukup percaya diri menggunakan UU TPPU ini sehingga hanya mengandalkan Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor, berupa penggantian kerugian negara,” kata Wawan.
Padahal, jika KPK konsisten menggunakan Pasal 3 UU TPPU, menurut Wawan, hal ini bisa menjadi pintu masuk untuk memperberat hukuman bagi koruptor, termasuk memiskinkan mereka.
”Ke depannya, pembuat regulasi perlu memikirkan untuk mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset (Asset Recovery). Ini bisa menjadi peluang bagi KPK untuk mengembalikan kerugian negara dalam bentuk perampasan aset,” ujarnya.