20 Tahun Memori Kelam Krisis Moneter (2)
Karena keadaan makin memburuk, pada 8 Oktober 1997, pemerintah mulai meminta bantuan Dana Moneter International (IMF) untuk penyusunan program penanganan krisis.
Keputusan itu sempat memicu polemik dari pihak yang pro dengan pihak kontra. Pihak yang pro menilai, IMF diperlukan untuk memulihkan kestabilan ekonomi dan kepercayaan pada pemerintah, sementara pihak yang kontra menilai bantuan IMF itu bisa membebani Indonesia di masa mendatang.
Tulisan pertama: 20 Tahun Memori Kelam Krisis Moneter (1)
Pada 31 Oktober 1997, di Washington, IMF mengumumkan paket bantuan multilateral bernilai 23 milliar dollar AS yang menyertakan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia untuk membantu menstabilkan sistem keuangan Indonesia.
Dalam konferensi pers di Washington AS, Direktur Pelaksana IMF saat itu Michell Camdessus mengatakan, para donatur bilateral terdiri atas Australia, Cina, Hongkong SAR, Jepang, Malaysia, Singapura dan Amerika Serikat sudah menyatakan kesediaannya jika diperlukan bantuan dana tambahan.
"Hal ini diharapkan memulihkan kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia dan turut menstabilkan pasar keuangan regional," kata Camdessus.
Ia menambahkan, paket IMF terdiri dari 10 miliar dollar AS dalam bentuk fasilitas dana siaga (stand-by loan), Bank Dunia menyediakan 4,5 miliar dollar AS, dan Bank Pembangunan Asia 3,5 miliar dollar AS. Diperkirakan jumlah bantuan, termasuk penggunaan aset penting eksternal (subtansial external asset) Indonesia, sehingga seluruhnya mencapai 23 miliar dollar AS.
"Bantuan 23 miliar dollar AS ini adalah bantuan tahap pertama. Jumlah ini sama sekali tidak termsuk 20 miliar dollar cadangan Indonesia yang ada saat ini," katanya. (KOMPAS, 1 November 1997).
Meski sempat memberikan harapan menjadi obat penyembuh krisis, rupanya kondisi tak sesuai yang diharapkan. Menurut Boediono dalam bukunya “Ekonomi Indonesia: Dalam Lintasan Sejarah” (2016), bantuan IMF itu tidak langsung mengobati krisis karena beberapa sebab. Penyebab itu antara lain informasi mengenai kondisi perbankan yang tidak lengkap atau tidak akurat dan minimnya informasi mengenai utang luar negeri swasta.
Saat itu, dari informasi yang ada, diperoleh gambaran bahwa hanya sejumlah bank yang berukuran relative kecil yang benar-benar tidak sehat, sedangkan sisanya sehat atau sakit ringan. Padahal krisis likuiditas itu sudah lebih parah dari yang diperkirakan.
Begitu pula mengenai utang swasta yang jumlahnya tidak akurat. Tidak hanya itu, rupanya utang swasta ini tidak dalam skema lindung nilai. Artinya utang swasta itu membengkak karena pelemahan kurs.
“Kebutuhan akan devisa untuk membayar utang swasta pada waktu itu ternyata besar dan menentukan keberhasilan upaya untuk menyeimbangkan permintaan dan pasokan devisa,” ujar Boediono, wakil presiden RI periode 2009-2014.
Alih-alih membaik, kondisi malah makin memburuk. Krisis yang awalnya mendera sektor keuangan dan moneter mulai merebak ke sektor riil sehingga menjadi krisis ekonomi nasional.
Boediono mengatakan, kelangkaan likuiditas yang sudah dirasakan sejak awal krisis mempersulit pembiayaan usaha sehingga menghambat kegiatan sektor riil. Hal ini menyebabkan kemacetan sistem pembayaran yang kemudian menghambat transaksi bisnis. Akibatnya, produksi menurun dan mulai membuat pemutusan hubungan kerja.
Krisis yang awalnya mendera sektor keuangan dan moneter mulai merebak ke sektor riil sehingga menjadi krisis ekonomi nasional
Pada saat bersamaan, saat itu Indonesia tengah dilanda El-Nino yang membuat Indonesia disergap kemarau berkepanjangan. Saat itu produksi pangan dan pertanian merosot tajam. Keran impor pangan pun tidak bisa dibuka karena devisa semakin langka.
Keresahan terus merebak di masyarakat. Pada 12 Mei 1998, empat mahasiswa Universitas Trisakti tertembak dalam aksi di Jakarta. Dua hari kemudian pecah kerusuhan dan penjarahan di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Puncaknya presiden Soeharto turun dari jabatannya setelah 32 tahun berkuasa pada 21 Mei 1998.
Meski Soeharto turun, kondisi tidak serta merta langsung membaik. Pada 17 Juni 1998, kurs rupiah di pasar uang spot antarbank Jakarta ditutup pada Rp 16.900 per dollar AS. Posisi kurs terendah dalam sejarah Indonesia.
Kondisi membaik
Kondisi perekonomian baru membaik setelah pergantian presiden dari Soeharto kepada BJ Habibie. Perlahan muncul kestabilan politik. Kestabilan politik itulah yang membuat bantuan IMF bisa dilaksanakan.
Menghadapi kondisi hiperinflasi, Bank Indonesia memperketat kebijakan moneter dengan menaikkan Suku bunga SBI (jangka waktu satu bulan) dari 22 persen per tahun menjadi 45 persen per tahun pada Maret 1998, lalu 58 persen pada Mei 1998, dan 70 persen pada Agustus 1998.
“Kebijakan ini diterapkan untuk bisa mengerem laju kenaikan uag beredar sehingga psikologi masyarakat untuk memburu barang atau enggan memegang rupiah berbalik kembali normal,” ujar Boediono.
Kondisi perekonomian baru membaik setelah pergantian presiden dari Soeharto kepada BJ Habibie. Perlahan muncul kestabilan politik
Hasilnya cukup efektif. Rupiah yang sempat terpuruk ke titik terendahnya yakni 18 Juni 1998 di angka Rp 16.900, berhasil dijinakkan menjadi Rp 7.000 – Rp 8.000 per dollar AS pada Oktober-November 1998. Tak hanya itu, rentang kurs itu kemudian bertahan sepanjang 1999 yang artinya rupiah telah mencapai titik ekulibriumnya.
Inflasi yang meroket pada 1998 yakni 77,6 persen berhasil ditahan hanya menjadi dua persen pada 1999.
Namun, pertumbuhan ekonomi belum rebound ke posisi sebelum krismon. Krisis 1998 membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia jeblok di angka minus 13,1 persen. tahun berikutnya, pertumbuhan ekonomi baru bertumbuh 0,8 persen.
Meski belum sepenuhnya pulih, indikator-indikator ekonomi itu menunjukkan bahwa krisis sudah berakhir.
Pelajaran
Boediono mengatakan, banyak pelajaran yang bisa diambil dari krisis ekonomi 1998. Pelajaran terpentingnya adalah, krisis dalam dunia ekonomi sekecil apapun bila tidak ditangani dapat membesar menjadi krisis ekonomi yang bahkan merembet ke dunia politik dan memicu keresehan sosial di masyarakat.
Ia mengingatkan, di era globalisasi sekarang ini, kita harus menerima kenyataan bahwa gejolak dan gangguan ekonomi bisa datang sewaktu-waktu. Untuk itu pemerintah harus terus menerapkan prinsip dan kultur kehati-hatian. Dalam mengambil kebijakan juga harus melihat data yang akurat dan tujuan yang dicapai.
Demi mencegah krisis dan memperkuat pembangunan ekonomi, Indonesia perlu memperkuat ‘pertahanan’ ekonomi dengan memperkuat struktur ekonomi. Adapun struktur ekonomi yang riskan guncangan adalah kinerja ekspor yang rendah dan ketergantungan impor pada komoditas yang sifatnya strategis seperti pangan dan energi. Indonesia juga harus memperdalam pasar keuangan agar lebih kuat menahan gejolak.
Krisis sekecil apapun bila tidak ditangani dapat membesar menjadi krisis ekonomi yang bahkan merembet ke dunia politik dan memicu keresehan sosial di masyarakat
Selain itu pemerintah harus terus memonitor setiap saat perkembangan ekonomi dengan mencermati indikator-indikator ekonomi seperti defisit APBN, defisit sumber pembiayaan, rasio utang, utang dalam dan luar negeri baik swasta maupun BUMN. Selain itu perhatikan juga harga property, saham, surat utang pemerintah. Serta memperhatikan laju pertumbuhan kredit perbankan dan arahnya.
“Apabila indikator-indikator utama tersebut dapat selalu dijaga dalam batas aman, maka terciptalah semacam jangkar kestabilan yang menciptakan ketenangan di masa normal dan kesiapan yang lebih baik untuk mengatasi keadaan di masa krisis,” ujar Boediono.
Namun, apabila krisis tidak terelakkan lagi, jangan membiarkannya lepas kendali. “Mengambil langkah preventif apapun yang mungkin dilakukan, akan selalu lebih murah biayanya,” ujar Boediono.
Krisis ekonomi 1998 memberi pelajaran bahwa Indonesia jangan terlena dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Gubernur Bank Indonesia 1993-1998 Soedrajat Djiwandono dalam artikel “Kecil itu Indah: Pendekatan Eklektik untuk Memerangi Inersia” yang tertulis dalam buku “80 Tahun Mohammad Sadli: Ekonomi Indonesia di Era Politik Baru” (2002), mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi sejak 1970-an tidak saja menghasilkan kestabilan moneter, tetapi juga menutup kelemahan structural ekonomi, sosial, dan politik.
"Akan tetapi, pertumbuhan tersebut tidak menyembuhkan kelemahan yang ada. Konsistensi aspek makro-mikro, serta transparansi, akuntabilitas, dan governance manajemen perekonomian nasional yang merupakan tuntutan era globalisasi untuk menghadapi tingginya risiko, belum terbangun,” ujar Djiwandono.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani mengatakan, goncangan ekonomi sekecil apapun harus segera mendapat perhatian pemerintah dan harus segera ditanggulangi sebelum menciptakan dampak yang lebih besar.
"Dampak krisis finansial itu bias merembet ke sector riil. Kalau sudah begitu, krisis bisa merembet ke sektor politik, dan sosial," ujar Haryadi.