DPD Cari Pola yang Tepat Mengevaluasi Perda dan Raperda
Oleh
A Ponco Anggoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dewan Perwakilan Daerah masih mencari pola yang tepat dalam memantau serta mengevaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah. Sebab, tugas baru DPD itu bisa melahirkan konflik kewenangan antarlembaga yang justru akan membuat bingung pemerintah daerah.
Tugas DPD memantau dan mengevaluasi rancangan peraturan daerah (raperda) dan perda disebutkan di Pasal 249 Ayat (1) Huruf j Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPD (MD3), yang diundangkan pertengahan Maret lalu.
DPD kemudian menerjemahkan pasal itu ke dalam Tata Tertib (Tatib) DPD. Tatib semula akan disahkan pada awal April ini. Namun hingga kini, Panitia Khusus (Pansus) Tatib DPD masih mencari pola yang tepat.
Ketua Pansus Tatib DPD Ajiep Padindang di Jakarta, Kamis (5/4/2018), mengatakan, pansus memahami evaluasi raperda dan perda telah dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan pemerintah provinsi (pemprov). Kemendagri mengevaluasi raperda atau perda yang dikeluarkan pemprov, sementara pemprov mengevaluasi raperda atau perda kabupaten/kota.
”Rekan-rekan di DPD, juga pimpinan DPD, sudah mewanti-wanti agar DPD tetap pada fungsi pengawasan. Tak hanya itu, DPD diharapkan menjadi jembatan pusat dan daerah dalam mencari solusi atas peraturan yang dinilai bermasalah,” jelasnya.
Dengan demikian, wacana sementara yang berkembang di pansus, evaluasi dimaknai sebatas mengawasi raperda dan perda. Ketika dijumpai masalah di raperda atau perda, misalnya, hal itu akan dibahas oleh alat kelengkapan DPD baru yang untuk sementara bernama Panitia Urusan Legislasi DPD. Untuk membahasnya, panitia mengundang Kemendagri dan pemda yang menyusun raperda atau perda. Dari hasil pembahasan, panitia mengeluarkan rekomendasi yang bisa ditujukan ke Kemendagri atau pemda terkait.
Wacana sementara yang berkembang di pansus, evaluasi dimaknai sebatas mengawasi raperda dan perda
Namun di luar itu, ada pula yang menginginkan agar rekomendasi DPD bersifat mengikat, artinya wajib dilaksanakan oleh Kemendagri atau pemda. Ini supaya rekomendasi yang dikeluarkan oleh DPD tidak dianggap angin lalu. ”Hanya saja untuk ini tidak mudah, masih kami cari caranya karena UU MD3 tidak menyebutkan hal itu,” katanya.
Hati-hati
Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Kristen Satya Wacana, Umbu Rauta, mengingatkan agar DPD hati-hati dalam menerjemahkan tugas baru tersebut. Pasalnya jika salah, justru bisa menimbulkan konflik kewenangan antarlembaga, khususnya antara pemerintah pusat dan DPD. Tidak hanya itu, pemda bisa menjadi bingung dan justru mengadu kedua lembaga itu. Ini berpotensi terjadi saat hasil evaluasi atas raperda atau perda oleh Kemendagri dan DPD ternyata berbeda.
DPD hati-hati dalam menerjemahkan tugas baru tersebut. Pasalnya jika salah, justru bisa menimbulkan konflik kewenangan antarlembaga, khususnya antara pemerintah pusat dan DPD
”Kemendagri dan DPD bisa konflik karena masing-masing mengklaim pihaknya paling benar. Kemudian korbannya pemda. Pemda bingung mau ikut rekomendasi yang mana,” katanya.
Oleh karena itu, dia mengusulkan agar rekomendasi tetap dikeluarkan oleh Kemendagri. DPD bisa saja mengevaluasi, tetapi hasil evaluasi tetap disampaikan ke Kemendagri. Hasil evaluasi DPD ini sifatnya sebatas rekomendasi. Hanya saja, Kemendagri tetap harus memperhatikannya karena yang dilakukan DPD dalam kerangka DPD menjalankan fungsi pengawasan pada pemerintah.
”Jadi evaluasi hanya keluar dari satu pintu, yaitu pintu Kemendagri. Tidak keluar dari dua pintu, DPD dan Kemendagri, yang justru bisa membuat bingung pemda,” katanya.
Pintu keluar evaluasi hanya dari pemerintah pusat karena aktivitas pemda berada dalam pengawasan pusat. Jika DPD diberi tugas memantau dan mengevaluasi, tugas itu harus dimaknai sebagai upaya DPD untuk membantu pemerintah pusat.
Selain itu, Umbu mengingatkan agar tugas evaluasi DPD tidak dimaknai bahwa DPD bisa membatalkan perda. Ini mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi bahwa pembatalan perda merupakan kewenangan Mahkamah Agung. ”Hanya bersifat rekomendasi agar pemda meninjau kembali perda yang dikeluarkannya dengan cara melakukan revisi atau pencabutan perda,” katanya.