Pekerja Media Menuntut Jaminan Sosial
Perusahaan media wajib memenuhi jaminan sosial karyawannya. Catatan LBH Pers, sebanyak 8 perusahaan media belum memenuhi kewajiban tersebut.
JAKARTA,KOMPAS -- Bertepatan dengan peringatan Hari Buruh se-dunia, sejumlah kelompok pekerja media yang tergabung dalam Forum Pekerja Media menyerukan perlunya pemenuhan jaminan sosial kepada seluruh pekerja media. Selama ini, masih ada perusahaan-perusahaan media yang tidak menjalankan kewajibannya memberikan jaminan sosial kepada karyawan.
Forum Pekerja Media yang terdiri dari Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan beberapa lembaga pers mahasiswa menyampaikan aspirasi mereka di sepanjang konvoi, mulai dari depan Gedung Dewan Pers, Tugu Tani, Patung Kuda, hingga depan Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika di Jakarta, Selasa (1/5/2018).
Dalam aksinya, mereka mengarak sebuah payung raksasa berwarna hitam yang menyimbolkan ungkapan duka terhadap maraknya pelanggaran jaminan sosial terhadap pekerja media. Di bagian depan arak-arakan, terpampang spanduk besar bertuliskan “Pekerja Media Sehat, Perusahaan Kuat”. Mereka juga membawa spanduk bertuliskan “Pekerja Media Sehat, Perusahaan Kuat: Tindak Pengemplang Jaminan Sosial Pekerja dan Jaminan Penuh untuk Pekerja Media”.
Selain itu, para peserta unjuk rasa juga menenteng poster-poster berisi aneka macam seruan, seperti “Pekerja Sehat, Berita Sehat”, “Gaji Lancar, Berita Faktual”, “Media: Say No To Hoax”, Tolak Pembungkaman Pers Kampus”, dan “Ruang Laktasi untuk Pekerja Media”.
Direktur LBH Pers, Nawawi Bahrudin mengungkapkan, LBH Pers tahun ini telah mencatat ada sekitar 8 perusahaan media yang melakukan pelanggaran jaminan sosial terhadap 15 pekerja media mereka.
Pola-pola pelanggarannya hampir sama, yaitu mereka memberikan jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, tetapi tidak memberikan jaminan BPJS Ketenagakerjaan.
“Perusahaan-perusahaan media yang melakukan pelanggaran baru memberikan jaminan BPJS Ketenagakerjaan setelah karyawan mereka mengadukan kasusnya kepada kami dan kami melakukan advokasi ,” paparnya.
Ketua FSPMI, Sasmito Madrim, menambahkan, pelanggaran pemberian jaminan sosial rupanya tidak hanya ditemukan pada perusahaan-perusahaan media nasional, tetapi juga perusahaan-perusahaan media asing.
“Praktik-praktik seperti ini melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS terutama pada Pasal 14 yang menyebutkan bahwa setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial. Demikian pula, Pasal 15 (1) Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti,” ucap Sasmito.
Perusahaan-perusahaan media asing seringkali menunjuk jurnalis-jurnalis tertentu di Jakarta maupun di kota-kota seluruh Indonesia sebagai kontributor lepas. Meski para jurnalis tersebut menjalankan perintah secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, namun perusahaan-perusahaan media asing tidak menyediakan fasilitas jaminan sosial kepada para kontributornya.
Tak berserikat
Praktik-praktik pelanggaran semacam ini terus-menerus berlangsung, salah satunya karena para pekerja media tidak memiliki posisi daya tawar yang kuat untuk menyuarakan aspirasinya. Ironisnya, wadah serikat pekerja yang semestinya menjadi medium tepat untuk menyampaikan suara mereka justru sulit tumbuh berdiri di perusahaan-perusahaan media.
Pertumbuhan media serikat pekerja media tidak sebanding dengan pertumbuhan perusahaan media di Indonesia.
“Dari 40.000-an media yang tercatat Dewan Pers, ternyata baru ada sekitar 40-an serikat pekerja media. Dari jumlah itu, yang terpantau aktif hanya 30-an serikat pekerja,” tambah Sasmito.
Selama tahun 2017, hanya ada 3 serikat pekerja media yang berdiri, yaitu Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) Jawa Tengah, SPLM Sulawesi Utara, dan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi). Tahun ini, satu lagu serikat pekerja media lahir, yaitu SPLM Jakarta.
Lahirnya beberapa serikat pekerja ini tergolong unik karena tidak muncul dari sebuah perusahaan tertentu, melainkan merupakan gabungan individu-individu dari sejumlah perusahaan media dan industri kreatif. Fenomena ini terjadi karena begitu sulitnya serikat pekerja tumbuh di perusahaan-perusahaan media di Indonesia.
“Kami meyakini keberadaan serikat pekerja di perusahaan media sebenarnya dapat menjadi mitra bagi perusahaan dalam memajukan perusahaan secara bersama-sama. Serikat pekerja media bisa menjadi teman bagi perusahaan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis yang mampu memompa produktifitas pekerja yang dapat bermuara kepada keuntungan kedua belah pihak,” tambah Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani.
Ke depan, tantangan perusahaan-perusahaan media semakin berat di tengah perubahan pesat industri media di era digital. Apabila para pekerja media tidak memperkuat diri dengan bergabung dalam serikat-serikat pekerja, maka mereka akan sulit memperjuankan diri jika sewaktu-waktu mengalami ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), pengurangan hak-hak karyawan, dan persoalan sengketa ketenagakerjaan lainnya.