Reformasi Hanya Ada di GBHN
Sabtu, 2 Mei 1998
”Presiden Soeharto: Reformasi Politik Tahun 2003 ke Atas”. Begitulah judul berita utama harian Kompas edisi Sabtu, 2 Mei 1998. Berita itu dilengkapi dengan foto besar pertemuan Presiden Soeharto dan Wakil Presiden BJ Habibie dengan pimpinan lembaga negara dan organisasi sosial politik.
Dalam pertemuan itu, Presiden Soeharto seolah-olah menjawab pertanyaan dari masyarakat mengenai pentingnya reformasi untuk menyelamatkan negeri ini.
Sejak Soeharto terpilih kembali menjadi presiden pada Pemilu 1997, sejumlah kalangan sudah mempertanyakan interpretasi terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang memungkinkan seseorang dipilih sebagai kepala negara/kepala pemerintahan berulang-ulang. Bahkan, Soeharto sempat diusulkan menjadi presiden seumur hidup.
Aktivis prodemokrasi ... berkeinginan ada pembatasan masa jabatan presiden, selain presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Sejumlah kalangan, yang disebut aktivis prodemokrasi di Indonesia, berkeinginan ada pembatasan masa jabatan presiden, selain presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ini yang diartikan oleh rakyat sebagai reformasi. Namun, Soeharto yang memimpin negeri ini sejak tahun 1966 dengan memegang Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), lalu dikukuhkan sebagai presiden dalam Sidang Umum MPRS tahun 1967, mengartikan reformasi politik sebagai perubahan-perubahan dalam bidang sosial politik, yang sudah terjadi sejak sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945.
Presiden Soeharto menggarisbawahi agar pemikiran tentang reformasi itu dibicarakan dalam rambu-rambu konstitusi, bersifat konstruktif, serta tidak mengganggu kepentingan umum dan stabilitas nasional. ”Presiden menegaskan, kalau ada yang tidak mau mengerti mengenai konstitusi ini, yakni bahwa reformasi itu harus dilakukan tahun 2003 ke atas, dan harus melalui MPR, maka itu akan dihadapi dengan suatu tindakan,” kata Menteri Penerangan Alwi Dahlan (Kompas, 2/5/1998).
Arti reformasi
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan reformasi sebagai ’perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara’. Bahkan, KBBI memberikan contoh ”reformasi politik” adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan dalam bidang politik dalam suatu masyarakat atau negara. Sementara dalam berita utama harian Kompas 20 tahun silam, Presiden Soeharto menyatakan, tidak pernah menutup reformasi…. Tapi untuk saat ini telah disepakati bahwa amanat-amanat reformasi itu sudah ada dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1998, yang akan berlaku sampai tahun 2003. Dengan demikian, reformasi berikutnya dapat dipersiapkan untuk tahun 2003 ke atas.
Silaturahim dan konsultasi di Bina Graha itu, yang menjadi berita utama harian ini, selain dihadiri Presiden dan Wapres, antara lain juga diikuti Ketua MPR/DPR Harmoko serta empat wakil ketua MPR/DPR, yakni Abdul Gafur, Fatimah Achmad, Ismail Hasan Metareum, dan Syarwan Hamid. Selain itu, hadir pula pimpinan Golkar Ny Siti Hardiyanti Rukmana dan Ary Mardjono, pimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Soerjadi dan Buttu Hutapea, pimpinan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Aisyah Amini dan Zarkasi Nur, serta sejumlah menteri dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Peserta silaturahim itu tak kurang dari 54 orang, termasuk pimpinan fraksi-fraksi di MPR dan DPR.
Presiden mengingatkan, lima tahun ke depan dan masalah krisis yang dihadapi sekarang perlu stabilitas nasional dan stabilitas politik.
Menurut Menpen, Presiden Soeharto mengharapkan reformasi itu tak datang darinya, tetapi dari DPR. Pemerintah akan membantu dengan tim ahli. Reformasi juga akan dilakukan terhadap lima undang-undang (UU) politik dan sistem pemilu. Sistem proporsional, yang kini juga masih berlaku, akan digantikan dengan sistem distrik. Namun, Menteri Dalam Negeri R Hartono menyebutkan, pimpinan parpol menolak usulan pemerintah itu karena tidak mempunyai kader yang berkualitas dan berkemampuan di daerah.
Dalam pertemuan itu, Hartono, yang mengutip Presiden Soeharto, menyiratkan adanya krisis. Hal ini terungkap dalam pernyataannya, yaitu Presiden dalam silaturahim ini mengingatkan, lima tahun ke depan dan masalah krisis yang dihadapi sekarang perlu stabilitas nasional dan stabilitas politik. Bila ini tidak bisa dipelihara, akan menimbulkan kesulitan pada pelaksanaan pembangunan dan pengembalian kepercayaan.
Dari pernyataannya, tampaknya saat itu Presiden Soeharto sudah merasakan adanya krisis politik dan kepercayaan rakyat kepadanya yang semakin menurun. Namun, ia tak segera menjawab, dengan mengartikan reformasi yang dituntut oleh rakyat itu sebagai upaya atau langkah drastis dan segera untuk melakukan perbaikan. Soeharto, meskipun mengetahui persoalan yang ada, justru mengartikan reformasi seperti evolusi. Perubahan secara perlahan-lahan dan alamiah. Bahkan, bisa ”ditunda” hingga setelah tahun 2003, sesuai GBHN.
Kondisi inilah yang diyakini semakin membuat masyarakat kehilangan harapan serta kehilangan kepercayaan kepada pemerintahan Orde Baru sehingga memuncak menjadi aksi dan gerakan reformasi. Gerakan yang dimotori oleh mahasiswa itu, dan diikuti dengan aksi mundur dari sejumlah menteri dan pejabat negara, membuat Soeharto akhirnya lengser dari jabatan Presiden.
Selain tak tepat mengartikan tuntutan reformasi dari rakyat, akhir masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto diyakini juga dipercepat kehadirannya karena kegagalan menjawab keresahan masyarakat terkait kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik serta pengungkapan kasus orang hilang.
Berita terkait rencana kenaikan harga BBM dan listrik, serta upaya Panglima ABRI untuk mengungkapkan tabir kasus orang hilang melalui pembentukan tim pencari fakta, juga menjadi berita di halaman 1 harian Kompas edisi 2 Mei 1998. Tuntutan reformasi pun terus bergerak.