Pemerintah Jelaskan Kembali Makna Reformasi
Minggu, 3 Mei 1998
Penjelasan Presiden Soeharto mengenai reformasi, yang bisa dijalankan sesuai Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1998, yakni tahun 2003 ke atas (Kompas, 2/5/1998), ternyata menimbulkan kegaduhan.
Pemberitaan di media massa, mengutip keterangan Menteri Penerangan Alwi Dahlan dan Menteri Dalam Negeri R Hartono, seusai pertemuan dengan Presiden, Wakil Presiden BJ Habibie, serta pimpinan lembaga negara dan organisasi sosial politik, menimbulkan kesan di masyarakat, seolah-olah Presiden tidak menghendaki reformasi.
Baca juga: Terungkapnya Penculikan Aktivis
Presiden pun memanggil Menpen dan Mendagri ke Istana Merdeka, Jakarta. Keduanya diminta meluruskan pernyataan mengenai reformasi dan penjelasan itu menjadi berita utama harian Kompas edisi 3 Mei 1998. Judul yang ditampilkan adalah ”Menpen dan Mendagri Jelaskan Kembali Reformasi”.
”Kami berdua ingin menjelaskan lebih lanjut pertemuan silaturahim kemarin. Rupanya ada sedikit kesalahpahaman,” kata Menpen Alwi Dahlan, yang didampingi Mendagri R Hartono di Istana Negara, Jakarta, Sabtu (2/5/1998), seusai peringatan Hari Pendidikan Nasional 1998 (Kompas, 3/5/1998).
Menurut Alwi Dahlan, dari pemberitaan media massa, Presiden seolah-olah tidak menginginkan reformasi sampai tahun 2003. Padahal, tidak demikian keinginan Presiden Soeharto. Pada silaturahim dan konsultasi itu, Presiden membuka pintu bagi munculnya berbagai langkah reformasi, baik di bidang ekonomi maupun politik.
Kami berdua ingin menjelaskan lebih lanjut pertemuan silaturahim kemarin. Rupanya ada sedikit kesalahpahaman.
Bahkan, terkait dengan reformasi bidang politik, Presiden justru menawarkan pemilu dengan sistem distrik, menggantikan sistem proporsional yang selama ini masih berlaku. Namun, perubahan itu memerlukan persiapan yang panjang.
Hartono menyebutkan, Presiden mengharapkan, untuk reformasi mendatang, yakni periode 2003 ke atas, yang antara lain menyangkut perubahan sistem pemilu, boleh dibicarakan mulai tahun 1998.
Baca juga: Reformasi Hanya Ada di GBHN
”Pembicaraan tentang reformasi mendatang itu bukan hanya dibolehkan, melainkan suatu keharusan sebagai warga negara,” ujarnya, saat itu. Alwi Dahlan menambahkan, untuk memproses suatu undang-undang (UU), diperlukan waktu paling tidak dua tahun.
Pembicaraan tentang reformasi mendatang itu bukan hanya dibolehkan, melainkan suatu keharusan sebagai warga negara.
Itu berarti sampai dengan tahun 2000. Setelah itu, organisasi sosial politik menyiapkan calon, tahun 2001 kampanye, dan tahun 2002 digelar pemilu dengan sistem baru.
Dalam pertemuan dengan wartawan di Istana Negara itu, Hartono, yang juga mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), tetap menebarkan peringatan. Siapa pun yang dinilai mengganggu stabilitas politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya, dalam upayanya menuntut reformasi, perlu tegas ditindak. Namun, ia tak menjelaskan, siapakah yang mendesakkan reformasi kepada pemerintah dan perlu ditindak itu.
Bersamaan dengan berita utama yang bersumber dari keterangan kedua menteri itu, harian Kompas pada tanggal yang sama di halaman satu juga menurunkan berita dengan judul ”Bentrokan Warnai Aksi Mahasiswa”.
Laporan ini berasal dari liputan tentang aksi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek), yang menggelar aksi keprihatinan di sejumlah kampus, yang berujung bentrokan dengan aparat. Kejadian serupa terjadi pula di Medan, Sumatera Utara. Bentrokan di beberapa daerah itu juga diwarnai dengan pembakaran serta perusakan kendaraan dan properti milik masyarakat.
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Marzuki Darusman pun mengingatkan, kekhawatiran banyak orang terkait terjadinya bentrokan antara mahasiswa dan aparat pun terbukti. Aksi mahasiswa yang menyuarakan keprihatinan atas kondisi bangsa terus berlanjut serta pada akhirnya bersama-sama menduduki Gedung MPR/DPR dan memaksa Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden.
Keprihatinan mahasiswa itu bukan hanya menyangkut situasi politik, hukum, dan penegakan hak asasi manusia (HAM), melainkan juga kondisi perekonomian nasional yang dilanda krisis. Akan tetapi, saat rakyat dilanda kesulitan, pemerintah justru berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik.
Keprihatinan mahasiswa bukan hanya menyangkut situasi politik, hukum, dan penegakan hak asasi manusia (HAM), melainkan juga kondisi perekonomian nasional yang dilanda krisis.
Sejumlah ekonom, seperti Mari Elka Pangestu, Faisal Basri, dan Kwik Kian Gie, mengingatkan, kenaikan itu bukan hanya menyumbang inflasi yang besar, melainkan juga dapat menimbulkan efek berantai yang kian memberatkan rakyat.
Namun, tampaknya pemerintahan Orde Baru tak terlalu mengindahkan peringatan ini, serta aksi keprihatinan dari mahasiswa. Reformasi yang bercirikan perubahan drastis untuk kebaikan tetap saja ditanggapi dengan kebijakan ”apa adanya”, seperti yang sudah diputuskan Presiden Soeharto dalam rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) VII ataupun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1998.
Kemarahan kaum muda dan kegelisahan rakyat, karena makin terjepit, tak disadari bisa berujung pada gerakan politik untuk mengganti penguasa. Memasuki hari ketiga Mei 1998, akhir masa kekuasaan Soeharto kian nyata tergambar.