BBM dan Blunder Politik Soeharto
5 Mei 1998
Di tengah tekanan krisis ekonomi, sosial, dan politik di Tanah Air, Jenderal Besar (Purn) Soeharto mengambil langkah politik berani. Harga bahan bakar minyak dinaikkan. Bahkan, tidak seperti biasanya, pengumuman kenaikan harga BBM dilakukan siang hari oleh Menteri Perhubungan Giri Suseno serta Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto.
Akibatnya, kemacetan lalu lintas terjadi di sejumlah wilayah di Jakarta. Harian Kompas yang terbit pada 5 Mei 1998 melukiskan amarah warga. Secara dramatis harian ini menuliskan bagaimana paniknya warga Jakarta.
Baca juga: Terungkapnya Penculikan Aktivis
Harian ini menulis, ”Panik! Begitu diumumkan kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) Senin (4/5) siang, Jakarta dan kota besar lainnya di republik ini langsung panik. Pompa-pompa bensin diserbu. Antrean panjang dan berlapis-lapis terbentuk di mana-mana. Di Ibu Kota, kemacetan nyaris terjadi di seluruh wilayah. Ihwal serupa juga terjadi di Bogor, Tangerang dan Bekasi. Jakarta pun lumpuh. Siang yang berawan kehitam-hitaman seperti menjadi tanda hujan akan turun terasa menjadi sangat panas”.
Harian Kompas yang terbit pada 5 Mei 1998 melukiskan amarah warga. Secara dramatis harian ini menuliskan bagaimana paniknya warga Jakarta.
Kelumpuhan Jakarta berlangsung lama. Mulai sekitar pukul 12.00 WIB, beberapa saat setelah harga BBM yang baru diumumkan, hingga menjelang tengah malam, menjelang berlakunya harga baru. Orang masih juga berupaya mendapat ”jatah” dengan harga lama. Di mana-mana tampak wajah-wajah kelelahan. Wajah-wajah kusam yang sangat berharap masih mendapat ”bagian” dan tidak sia-sia ikut antre berjam-jam. ”Ini adalah sebuah perjuangan di masa sulit sekarang ini,” kata sejumlah warga yang ditanya mengapa harus ikut berlelah-lelah dalam antrean.
Ada tiga berita kenaikan harga BBM dan kenaikan tarif transportasi di harian Kompas. Berita utama harian Kompas, 5 Mei 1998, tegas dan keras, ”Harga BBM dan Tarif Listrik Naik, DPR Menolak”. Foto utamanya menggambarkan mobil-mobil antre bensin di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Sejumlah anggota DPR menolak keputusan sepihak Presiden Soeharto untuk menaikkan harga BBM.
”F-PDI menolak kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik,” kata Ketua Fraksi PDI Budi Hardjono. Tak kalah kerasnya, Saleh Khalid dari Fraksi PPP mengatakan, ”Daya beli rakyat yang sudah lemah akan semakin lemah. Dan ini bisa menimbulkan kemarahan rakyat,” kata Saleh.
Di mana-mana tampak wajah-wajah kelelahan. Wajah-wajah kusam yang sangat berharap masih mendapat ”bagian” dan tidak sia-sia ikut antre berjam-jam.
Anggota Komisi VIII DPR dari Golkar, Eki Sjachrudin, bersuara tidak kalah kerasnya. ”Saat ekonomi rakyat sedang ambruk, kenapa harus diberi beban lagi. Tampaknya pemerintah lebih peduli menolong konglomerat daripada menyubsidi kepentingan rakyat banyak,” kata Eki yang kemudian dikutip melanjutkan, untuk membantu swasta, pemerintah rela melakukan negosiasi terhadap penjadwalan utang.
Untuk kesalahan pengelola bank, pemerintah rela mengucurkan dana talangan lewat kredit likuiditas Bank Indonesia sebesar Rp 103 triliun, bahkan untuk menyehatkan bank-bank pemerintah masih menyediakan dana Rp 14 triliun lagi. ”Sementara kekayaan para konglomerat yang berutang dan pengelola bank yang nakal tetap aman-aman saja di luar negeri, tidak tersentuh tangan pemerintah. Ini benar-benar crisis of trust. Negara dijalankan tanpa amanah. Pemerintah menganggap masyarakat tidak tahu adanya kebocoran dan pemborosan-pemborosan yang dilakukan,” ujar Eki.
Baca juga: Pemerintah Jelaskan Kembali Makna Reformasi
Menaikkan harga BBM di tengah krisis ekonomi dan sosial boleh jadi merupakan blunder politik yang dilakukan pemerintahan Soeharto. Atau Soeharto sendiri mendapatkan masukan yang tidak sepenuhnya benar dari para pembantunya. Mengumumkan kenaikan harga BBM di siang hari—yang ini tidak lazim, biasanya diumumkan malam hari—tetaplah menjadi pertanyaan. Apakah ini merupakan kesengajaan untuk terciptanya situasi politik yang matang untuk terjadinya reformasi politik?
Menaikkan harga BBM di tengah krisis ekonomi dan sosial boleh jadi merupakan blunder politik yang dilakukan pemerintahan Soeharto.
Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto mengatakan, implikasi sosial yang mungkin timbul dari kenaikan harga BBM bukan menjadi urusannya. Meski demikian, kemungkinan timbulnya reaksi dari masyarakat akan diantisipasi menteri yang lain. ”Bidang tugas saya sebagai menteri teknis melakukan penghitungan, sedangkan dalam dimensi yang lebih luas lagi saya kira telah dikoordinasikan dengan menteri lain,” kata Kuntoro menjawab pers waktu itu.
Tajuk Rencana harian Kompas, Selasa, 5 Mei 1998, bersuara keras. Dalam Tajuk Rencana berjudul ”Membayangkan Kesulitan yang Dihadapi Setelah Kenaikan Harga BBM”, harian ini menulis, ”…kita menangkap, keberatan dari pihak-pihak tertentu itu bukan karena mereka tidak memahami kendala keuangan yang tengah dihadapi pemerintah. Tapi, lebih oleh sebab kekhawatiran mereka akan dampak beratnya pada kehidupan ekonomi masyarakat, dan bahkan lebih jauh lagi, karena kenaikan harga BBM sudah dinilai berpotensi untuk menjadi sumber instabilitas baru pada kehidupan bernegara. Begitu nyaringnya tuntutan masyarakat agar pemerintah mengambil langkah-langkah ke arah penurunan harga aneka barang dan jasa, jelas merupakan arah yang berlawanan dari kebijakan harga BBM…”.